Hari ini aku akan kembali menemui Abel, seperti biasa. Satu jam sebelum shift kerjaku di cafe habis, Mattin sudah setia mengisi salah satu meja di cafe, gak lupa memesan segelas soy coffe yang gak tau sejak kapan jadi menu favorit dia.
Aku gak tahu kapan tepatnya dia mulai rajin nongkrong di chifon untuk nunggu shift kerjaku habis.
Sesekali di sela kegiatan kerjaku, aku melirik Mattin, dan entah kebetulan atau tidak tapi setiap aku mlirik untuk mengetahui apa yang sedang dia lakukan pandangan kami selalu tak sengaja bertemu.
Setelah ganis datang untuk meneruskan shiftku, aku bergegas ke belakang untuk bersiap pulang.
Belum sempat aku menarik knop pintu ruang karyawan, Ega menahan tanganku.
"titip tanyain dong sama siapa tuh namanya? Martin?"
"Mattin."
"Iya itu, gak pegel apa sejam melototin lo mulu," katanya. "lo kebelakang aja dia pelototin pintunya, dahsyat emang."
"Emang iya?"
"Iya, sampe mau keluar tuh bola mata gue liat-liat" Ega melotot memeragakan apa yang ia lihat.
"kalo anime keluar lope lope itu dari mata dia." Kali ini kedua jarinya membentuk love di depan matanya.
Aku hanya tersenyum simpul, lalu meninggalkan Ega di depan pintu.
☆☆☆
Kita sudah sampai di rumah abel, selama perjalanan tadi kita hanya melontarkan obrolan tak beraturan. Mattin juga sempat berhenti di depan apotik setelah dia tak sengaja melihat tanganku yang melepuh akibat tersiram air panas di cafe tadi.
Aku dan Matin jalan beriringan menuju kamar Abel. Rumah cukup sepi hari ini, kalau biasanya akan ada beberapa art di bawah kali ini tidak.
Mattin mengetuk pelan pintu kamar Abel, "Lagi bete dia dari pagi."
Tak lama Abel membuka pintu dan menuntunku untuk masuk, "sini kak Mima," bisa ku dengar nada yang menandakan kalau suasana hati dia memang kurang baik hari ini.
"Aku boleh gak?" Tanya Mattin.
"Boleh." Jawab Abel, kali ini Mattin tak harus memaksa Abel lebih dulu agar dibiarkan masuk ke dalam kamarnya.
"Duluan aja deh mau ganti baju dulu, gerah." Setelahnya Mattin pergi meninggalkan aku dan Abel.
aku dan Abel masuk ke dalam kamar yang hari ini agak berantakan, seperti biasa aku taruh tas dan gantung jaketku di gantungan belakang pintu kamar Abel.
"Abel lagi agak sedih hari ini," Abel kembali bersuara setelah aku mendudukan tubuhku di atas karpet bercorak bunga matahari.
Aku mengelus pelan rambut hitam Abel, "mau cerita gak sama kak Mima?"
"Papa dapet kabar kalo nenek uti sakit, besok papa sama mama mau pergi jenguk nenek uti tapi Abel gak diajak," jelas Abel, bisa ku lihat wajah kecewa Abel disana.
"Abel kan besok masih sekolah, mungkin papa sama mama gak mau Abel bolos jadi Abel gak bisa ikut." Kataku mencoba memberi pengertian.
"Tapi kan Abel juga mau tau keadaan nenek uti." Kali ini aku lihat mata Abel mulai berkaca-kaca.
"Coba abel ngobrol lagi sama papa dan mama nanti malem, kasih alesan kenapa Abel pengen banget ikut."
"Abel coba nanti."
"Tapi kalau papa sama mama tetep jawab gak bisa Abel gapapa ya?" Kataku hati-hati.
Dan benar saja, mata Abel kini makin memerah menahan tangis.
"Kalo Abel gak pergi, besok kak Mima ajak jalan sepulang sekolah. Mau?" Tanyaku berusaha memperbaiki suasana hati Abel.
Abel mengangguk, "tapi Abel tetep tanya mama sama papa dulu," kata Abel yang aku angguki.
"Masih sedih?" Tanya Mattin yang entah sejak kapan berdiri di ambang pintu, pakaiannya kini terlihat lebih santai dengan hanya mengenakan celana boxer hitam dan kaus putih polos.
"Gimana kalo kita main dokter-dokteran?" Usul Mattin yang tak kunjung mendapat jawaban dari Abel.
Abel mengangguk, "aku jadi pasiennya, kak Mima jadi dokternya."
Mattin yang tak kunjung diberi peran menoleh, "aku jadi pacarnya dokter aja."
"Nggak, kamu jadi suster."
"Suster kan cewek, Abel."
"Yaudah kamu dokter, kak Mima suster."
"Aku pacarnya suster aja," kali ini aku cubit pelan tangannya.
Dia meringis sambil tertawa, "yaudah aku dokter, susternya Abel aja."
"Kamu ngatur banget."
"Kak mima jadi pasiennya aja soalnya dia beneran sakit," Mattin meraih tanganku hati-hati, "nih liat."
"Kenapa ini kak mima?" Tanya Abel sambil mengelus pelan tanganku.
"Kena air panas, suster." Kataku mulai memainkan peran.
"Ini darurat, kita harus obati." Kali ini Mattin.
Setelah itu Abel mencium luka di tanganku membuatku terdiam tapi kemudian tersenyum.
"Kok main cium-cium sih, Abel?" Tanya Mattin.
"Mama kalo ada luka suka minta dicium aja, katanya bikin sembuh."
Mattin mengangguk lalu hampir ikut mencium tanganku, tapi Abel dengan cepat menahan bibir Mattin dengan telapak tangannya.
"Kamu gak usah."
Mattin pasrah lalu mengeluarkan seauatu dari saku celananya, "nih obat beneran," katanya menyerahkan salep yang tadi ia beli.
"Aku yang olesin ya," kata Abel lalu dengan perlahan mengoleskan salep luka bakar ke atas lukaku.
Lamunanku terpecah saat Mattin berjalan melewatiku lalu tangannya mengelus pelan rambutku, "ke kamar dulu, ya."
Apasih, kenapa pipiku jadi panas begini.
Aku kembali berfikir apa yang membuat Mattin bersikap seperti ini, tapi aku gak menemukan jawabannya.
Ahh! Aku ingat, sejak Mattin datang ke kostku tempo hari. Lebih tepatnya semenjak Jidan mengira kalau Mattin adalah pacarku. Mattin jadi berprilaku seolah-olah dia memang pacarku. Aneh kan, lebih aneh lagi aku yang gak menolak sikap dia.
Oh iya satu lagi, Mattin benar-benar memberikan uang sebesar 200 ribu kepada Jidan, dia juga menambahkan note "kalo udah pacaran beneran, gue tambahin" masih aku ingat mukanya Mattin setengil apa waktu itu. Dan berakhirlah Jidan yang gak pernah absen bertanya soal hubunganku dengan Mattin setiap hari.
Ting!
☆☆☆
Aku kelamaan gak update, maaf ya temen-temen🫂
KAMU SEDANG MEMBACA
I Only Have Eyes For You ; mark
Fanfiction"I'll show you the best version of falling in love"