Panas

477 34 2
                                    

"Niel, nanti kamu pulang aku anter ya."

"Eh ga perlu, kak. Aku bisa pulang sama Sean atau sama Jarrel kok, atau pesen taksi online aja." Jovaniel tersenyum padanya, ia takut dirinya akan hanya membuat sang senior kerepotan.

Helaan napas kecewa terasa menyakitkan bagi Jovaniel, ia tak tega sudah menolak ajakan sang senior. Merasa tak enak hati, Jovaniel meraih tangan Satya yang melemas, ia menggenggamnya hingga perlahan mengusapnya.

"Kak, don't be like this. Eum.. oke aku ikut kakak, tapi kakak ga keberatan kan?" Satya kembali menatap wajah Jovaniel, ia tersenyum hingga tak sengaja terkekeh pelan melihat wajah Jovaniel yang begitu menggemaskan.

"Ga sama sekali, Niel. Anyways, panggil nama aja ya gausah pake kakak, kita hampir seumuran."

"But you're a senior, that's why aku manggil kakak. Apalagi kita belum sedeket itu, kan?"

"I don't mind, Niel. Mulai sekarang, kamu panggil aku pake nama aja, gimana?"

Satya tersenyum, tangannya bergerak dengan lembut mengusap kepala Jovaniel. Setelah persetujuan dari Jovaniel, Satya mengajaknya untuk makan bersama saat jam kuliah telah selesai.

Entah perasaan apa yang Satya rasakan, ia merasa begitu senang saat di samping Jovaniel. Ia tak berhenti untuk tersenyum saat mengobrol dengannya, ia memutuskan untuk mengajaknya Kencan yang ia katakan sebagai makan malam biasa.

Seperti yang ia inginkan, ada kebahagiaan di hati Satya. Rasanya seperti ingin terus bersama Jovaniel kapanpun saat ia bertemu dengannya. Namun, Satya tak menyadari ada seorang yang sedang menguping pembicaraan mereka.

Tak peduli apapun yang terjadi di sekitarnya, Satya menggenggam tangan Jovaniel dan menariknya untuk pergi ke suatu tempat.

Jovaniel hanya pasrah mengikuti setiap langkah Satya. Namun, pikirannya tak karuan, bukan karena hatinya tersentuh sebab perlakuan Satya, tetapi ada rasa yang mengganjal di hatinya. Jovaniel memang cukup peka terhadap sekelilingnya, hatinya tak begitu tenang sebab merasakan sesuatu yang aneh.

Satya merasa ada yang aneh dengan sikap Jovaniel, ia membuyarkan lamunannya dengan sedikit menggoyangkan tangan Jovaniel yang masih ia genggam sedari tadi.

"Kamu gapapa? Kok bengong?"

"Hah? Oh, i-iya kak aku gapapa."

"Ck, didn't i tell you? jangan panggil kak."

Keduanya saling menatap hingga beberapa detik, tak ada satu katapun yang keluar dari mulut mereka hingga tanpa Jovaniel sadari, tatapan Satya mulai turun ke bibirnya. Perlahan, Satya melangkah maju agar tubuh Jovaniel menyentuh dinding.

Kedua kaki Jovaniel pun melangkah mundur untuk sedikit menjauhkan jaraknya pada Satya, namun semua akan sia-sia sebab punggungnya sudah menyentuh dinding, ia kembali menatap Satya.

Tangan Satya berada tepat di samping kepala Jovaniel, ia terus menatap mata Jovaniel dengan intens hingga kembali turun ke bibirnya.

Wajahnya perlahan bergerak maju, matanya tak henti untuk menatap bibir kenyal Jovaniel. Namun, ia terkejut saat Jovaniel menutup bibirnya dengan tangannya, Satya memundurkan kepalanya.

Fuck, this is not the right time. Batin Satya

Keadaan canggung itu membuat Jovaniel menundukkan kepalanya, ia tak berani mengangkat kepalanya bahkan untuk menatap Satya pun ragu.

"My bad, aku ga akan panggil pake kak lagi." Dengan nada lembutnya, Jovaniel memberanikan dirinya untuk kembali menatap Satya.

Sebuah anggukan kecil dari Satya membuat Jovaniel kembali tersenyum. Satya menatap Jovaniel dengan penuh rasa bersalah, tak seharusnya ia bertindak begitu cepat.

You're Mine, JovanielTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang