Happy Reading🤍🫶🏼
“Udah makan siang, Ze?” tanya Fira, senior Zeandra, suaranya ramah namun terdengar sedikit khawatir. Aroma wangi kari ayam dari kotak makan siang Fira menguar, mengusik perut Zeandra yang memang sudah keroncongan.
Zeandra tersenyum, lesung pipitnya yang manis menambah daya tarik wajahnya. “Oh, aku bawa bekal, jadi aku makan di sini aja. Masih ada beberapa laporan yang harus aku selesaikan,” jawabnya, jari-jari lentiknya masih menari di atas keyboard. Cahaya laptop menerangi wajahnya yang serius, kontras dengan tumpukan dokumen di mejanya yang seakan menantang untuk segera diselesaikan.Fira mengangguk mengerti. “Kamu ini, Zea. Kerjaan mulu. Yaudah kalo gitu aku makan siang dulu, ya. Jangan lupa makan nanti!” Ia melambaikan tangan sebelum meninggalkan Zeandra yang masih asyik bergelut dengan komputernya, suara ketikan keyboard menjadi iringan kesendiriannya di ruangan yang mulai sepi.
Bekerja sebagai asisten pemasaran di perusahaan ini memang sesuai dengan jurusan kuliah Zeandra, namun itu tidak membuatnya merasa nyaman. Zeandra adalah seorang perfeksionis, ambisius, dan selalu menunda makan siangnya sampai pekerjaannya selesai, atau setidaknya sudah separuh jalan. Ia merasa belum puas jika masih ada satu pun tugas yang belum terselesaikan.
“Zea,” panggil Dito, bos Zeandra, suaranya terdengar dari balik pintu ruangan. Bayangan tubuh tinggi Dito dengan setelan jas abu-abu khas eksekutif itu terlihat samar di balik kaca pintu. Zeandra, yang tengah berkutat dengan spreadsheet di layar komputernya, menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab.
“Iya, Pak,” jawabnya sopan, suaranya terdengar sedikit gugup. Ia merapikan rambutnya yang sedikit berantakan karena seharian berkutat dengan pekerjaan.
“Pekerjaanmu sudah selesai?” tanya Dito, langkah kakinya terdengar mendekat. Aroma parfum mahal tercium samar-samar.
“Hampir, Pak. Ada apa?” tanya Zeandra, sambil menyesuaikan kacamatanya yang sedikit melorot di hidungnya. Jantungnya berdebar sedikit lebih cepat.
“Sore ini, bisa pergi ke Bandung? Ada beberapa pekerjaan mendesak di kantor cabang sana, dan sepertinya kamu satu-satunya yang free,” kata Dito, menatap Zeandra dengan tatapan yang sulit diartikan.
“Saya, Pak? Bisa,” balas Zeandra, suaranya sedikit gemetar. Perjalanan mendadak ke Bandung? Ini sungguh di luar dugaan.
“Baik. Selesaikan pekerjaanmu dengan cepat. Nanti kamu akan diantar dengan mobil kantor,” instruksi Dito singkat, lalu berbalik dan meninggalkan ruangan, meninggalkan Zeandra dengan perasaan campur aduk.
Zeandra ragu-ragu sejenak. “Saya bisa pakai mobil saya, Pak. Kebetulan saya bawa mobil,” tawarnya, suaranya masih sedikit gemetar.
Dito hanya mengangguk singkat tanpa menoleh, langkah kakinya menghilang di balik pintu. Zeandra menghela napas panjang.
Setelah menyelesaikan semua tugasnya—spreadsheet terakhir ditutup dengan kepuasan, email terakhir dibalas dengan rapi—Zeandra bangkit dari kursinya. Ia meregangkan tubuh, meredakan sedikit pegal di bahunya setelah berjam-jam duduk. Perjalanan ke Bandung menanti. Senyum tipis terkembang di bibirnya; ia selalu merasa bersemangat setiap kali harus mengunjungi kantor cabang di kota itu. Bandung, Kota Kembang, memiliki tempat istimewa di hatinya.
Ia melirik jam tangannya. Waktu menunjukkan pukul 15.00 WIB. Dengan cekatan, ia memasukkan laptop dan beberapa berkas penting ke dalam tas kerjanya. Aroma parfum kesayangannya, sejenis floral yang lembut, menyertainya saat ia berjalan menuju lift. Ia membayangkan pemandangan Gunung Tangkuban Perahu yang gagah dari kejauhan, dan aroma kopi susu khas Bandung yang akan menyambutnya nanti.

KAMU SEDANG MEMBACA
A Journey Of Love (REVISI)
ChickLitSemuanya berawal ketika Zeandra dipindah tugaskan ke Bandung, yang mengubah kehidupannya secara drastis. Hidupnya menjadi sangat epik ketika ia harus berurusan dengan atasannya yang menurutnya annoying. Adu mulut seringkali memecah ketenangan, membu...