7 Juni 1898–telah terbit surya tenggelam kemarin lusa, memancarkan pijar lampu neon membercandai mata seekor Mayat Ballerina, "Sudah cukup tidurnya, bangunlah 'tuk bugenvill jingga yang kehausan itu!" Lucretia bergegas menilik angka-angka jumawa dalam list keseharian. Seekor mayat Balleria itu telah lahir kedua kalinya sebagai penganut pisau dapur yang hilang iba karena tersiasati oleh magma dari mulut merapi Bastiaan. "Sudahlah, kamu apa adanya sudah membuatku jatuh cinta," rayu yang coba mengabu-abukan segelintir politik cinta yang dianutnya.
"Aku rela terjebak di dalam opera tanpa penonton dan aku sudi bermain di ranah yang telah laju dari langkahku yang terpatah sering." Lucretia tak bergeming dari cecar caci cerca hatinya yang bising. Dari dokar pikun ia melambung harap—melaju pelan menuju Ratu Emma. Dari hentak-hentak sepatu kuda, angin berderu, pun kicau burung sepanjang jalan taklagi mengusiknya. Mayat Ballerina itu asyik menilik balik tentang Leidseplein; hujan pijar di pilar Stadsschowburg, Marie yang memutar, sayap Mikael, jua jempol kaki yang rindu nyeri kala menjadi tumpuan.
Lorong gelap beriring derap sepatu, suasana dingin menyelimuti panasnya hati, pun lebam membasah darah biru itu tak nampak nyata tersebab siasat politikus Ballerina telah berlaku dalam lakonan tipu daya budak hamba. "Kau lapar, Tuan? Akan kukupaskan apel merah dari pisau cantikku yang kehausan pewarna merah sebagai balasan surat untuk CATTIAMU." Sorot mata itu taklagi bersahabat, seekor binal di atas ranjang hanya menelan saliva. "Tenang, Tuan, Ayah mengajariku memperbaiki kursi meja makan, bukan membuang dan menggantinya secepat kilat." Jemari lentik Mayat Ballerina mengusap pelan kaki Bastiaan yang seperti kursi patah dari cerita Ayahnya.
Kamis, 15 Februari 2024.
Karya: Phi
KAMU SEDANG MEMBACA
Kumpulan Cerpen Komunitas Pencinta Bahasa Dan Sastra
Short StoryKumpulan Cerpen Anggota Komunitas Pencinta Bahasa Dan Sastra Selamat Membaca