Setelah berpisah dengan Angga, Raga melipir menuju salah satu tempat makan sederhana di pinggir jalan. Waktu di pergelangan tangannya sudah menunjukkan jam 2 siang, dan perutnya terakhir kali diisi tepat jam 2 siang kemarin.
Sambil menunggu pesanannya, Raga mengambil ponselnya dari dalam saku. Ia mencari sebuah nomor, lalu meletakkan ponsel itu di telinganya.
"Halo, Bang," sahut suara diseberang.
"Halo, Nek. Rola mana? Raga mau ngomong dong,"
Terdengar suara berisik diseberang sampai akhrinya sebuah suara membuatnya tersenyum.
"Halo, Abang?" Rola, adik bungsunya itu terdengar merengut.
"Hai, selamat ulangtahun Rola cantik," kata Raga. "11 tahun umurnya sekarang, udah gede banget. Pasti makin cantik."
Rola menghela napas. "Abang juga selamat ulangtahun ya. Tahun ini, Rola ulangtahun sendirian lagi."
Raga menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap langit-langit agar air matanya tidak tumpah. Duh, air mata sialan. Kenapa sih gue sering sentimen gini? Batinnya keki. Ia buru-buru tertawa kecil, agar nada suaranya tidak berubah.
"Iya, nggak papa ya pisah dulu. Nanti akan ada saatnya kita rayain ulangtahun bareng kayak dulu lagi. Oh iya, udah beli kue belum? Tahun ini harusnya beli kue rasa apa ya? Sebentar..." Rony mengambil buku notes kecil dari tasnya, mencari-cari sebuah halaman.
"Strawberry cake."
"Strawberry cake."
Raga dan Rola sama-sama terdiam beberapa saat ketika mereka menyebutkan kue itu berbarengan, lalu disusul dengan tawa kecil.
"Udah beli kuenya? Enak?" tanya Raga.
"Nggak beli, tapi Nenek tadi pagi bikin kue bolu strawberry seloyang. Kuenya kayak marmer cake, tapi adonannya pakai warna strawberry dan bukan cokelat. Enak, tinggal setengah," papar Rola, suaranya tidak terdengar sedih lagi. "Abang beli kue apa?"
Raga mengetuk-ngetuk jarinya. Sejujurnya, harga strawberry cake disini cukup mahal, tapi ia tidak mungkin bilang itu ke adiknya yang masih SMP.
"Hmm, sebenarnya Abang belum beli kue apa-apa. Belum sempat ke bakery dan cari kue karena dari pagi tadi Abang ada urusan. Abang juga lagi diet sih, ngurangin gula. Kalau Abang beli kue, nanti yang makan siapa? Masa Abang sendiri?" Raga menutupi kebohongannya dengan mengatakan hal itu.
Rola tidak menjawab apa-apa. Tapi, langkah kakinya terdengar menjauh.
"Rola? Rola?" Panggil Raga berkali-kali. "Rola kamu nggak marah, kan, Abang belum beli kue?"
Raga hampir mematikan ponselnya dan hendak ingin menelfon ulang ketika didengarnya suara langkah kaki kembali mendekat. "Abang bisa video call?"
Raga menyalakan fitur video call dan terpaku melihat Rola.
"Lihat, ini kue buatan Nenek. Tinggal setengah..." Rola menatap kue di loyang itu dengan wajah ragu. "Hmm, anggap aja setengahnya ini kue Abang. Abang masih ingat bau kue strawberry yang suka dibuat Mama kan? Baunya sama kayak gitu."
Raga hanya bisa diam.
"Maaf ya, Rola makan kue ini sendirian. Harusnya yang ulangtahun nggak perlu beli kue sendiri, tapi Abang jadi harus nyari-nyari kue. Nanti kalau kita tinggal bareng, kita cari kue ulangtahun kita sama-sama ya."
Aduh, anak ini. Batin Raga kesal. Kenapa harus ngomong kayak gitu? Gue jadi malu kalau harus nangis di rumah makan Padang ini.
"Iyaa, anak cantik. Eh, Rola udah traktir teman-temannya belum? Tadi Abang udah transfer uang ke Nenek buat Rola makan bareng sama teman-teman." Raga kembali mengganti topik.
Terlihat Rola meletakkan kue loyangnya dengan wajah sedih. "Aku nggak jadi traktir teman-teman, karena ternyata mereka juga nggak ada yang ingat ulangtahunku. Mereka nggak peduli ternyata, jadi buat apa aku peduli harus traktir atau enggak."
"Tapi, makasih ya Abang karena udah kirim uangnya."
Raga merasa hatinya sedikit tertusuk. "Abang peduli kok sama ulangtahun Rola. Gini aja, Rola traktir Nenek sama Kakek, ya? Ajak makan diluar? Nanti kalau uangnya kurang, Rola minta Nenek telfon Abang, yaa. Pokoknya, di hari ulangtahun Rola, Rola harus makan enak. Ya?"
_________________________________________________________
"Halo, Rey?" Raga membuka percakapan.
"Maaf Bang, ini Willy. Rey lagi tidur," jawab suara di seberang sana. Willy, adalah teman sekamar Rey di asrama kampus. Raga cukup mengenalnya, karena update kehidupan Rey selalu ada kata "Willy".
"Gue lagi makan siang sama Willy, Bang."
"Gue beli peralatan kuliah sama Willy, Bang."
"Gue lagi nunggu Willy, Bang."
Walaupun Rey laki-laki, Raga merasa sepertinya penting untuk mengetahui kemana saja Rey pergi dan dengan siapa dia pergi. Dan, sejauh ini, sepertinya hanya Willy teman dekat Rey.
Rey, adik pertamanya itu sebetulnya anak yang cukup introvert. Dia hanya terbuka dengan keluarganya saja, terutama Raga dan adik-adiknya. Raga bukannya tidak menyadari itu. Dari dulu sejak mereka duduk di bangku sekolah, Raga merasa Rey adalah orang yang paling sulit bergaul dibandingkan 2 adik perempuannya. Terkadang, Raga merasa risih juga jika Rey sedikit-sedikit harus "menempel" dengannya bagaikan lem dan prangko. Terlebih lagi Raga pun seorang introvert yang sering kebingungan ketika ada di tengah keramaian. Tapi, karena Rey, Raga akhirnya sedari kecil memberanikan diri terlihat nyaman di depan banyak orang agar Rey merasa terlindungi.
"Gimana Rey, Will?" tanya Raga.
"Kacau, Bang," Willy terdengar seperti menggaruk-garuk kepalanya. "Rey makan nggak mau, minum nggak mau, berdiri nggak bisa. Hampir 2 jam sekali ngigau. Badannya panas tinggi dan napasnya masih sesak. Tadi kita disini udah coba cari pinjaman alat uap, sekarang sesaknya mendingan..."
Raga menggoyang-goyangkan kakinya tanpa henti. Tangannya hampir basah karena keringat. Gue harus apa? Batinnya berulang kali. Khawatir sudah pasti. Membayangkan Rey meringkuk kesakitan disana tanpa keluarga sudah cukup membuat Raga stres. Pasalnya, Rey seringkali sakit bukan karena faktor makan atau apa, tapi karena pikiran.
"Gue boleh ngomong nggak, ya, ke Rey? Tolong bangunin aja, nggak papa."
Willy seperti berbisik-bisik di telinga Rey.
"Rey, bangun, abang lu nelpon."
Rey langsung membuka matanya detik itu juga. Dilepaskannya alat uap yang menempel di hidungnya. Seketika ia menangis.
"Bang, gue nggak kuat," tangisnya sesak. "Gue mau pulang. Mau pulang ke Indonesia. Gue nggak kuat disini, Bang..."
Raga terkejut. "Kenapa Rey? Kenapa tiba-tiba mau pulang?"
"Gue mau pulang...Pokoknya mau pulang...Nggak ada yang peduli sama gue disini Bang. Gue mau pulang. Gue kangen rumah, kangen adik-adik."
Raga menghela napas. Rola, Rey, keduanya bilang tidak ada yang peduli dengan mereka. Padahal kalau mereka mau melihat lebih dekat, orang yang sangat peduli dengan mereka adalah dirinya, abang mereka satu-satunya.
YOU ARE READING
APARTEMEN 4 PINTU
Teen FictionDi setiap keluarga, anak pertama harus jadi anak yang paling diandalkan, yang bisa melindungi adik-adiknya, yang bisa jadi pemimpin, yang kelak harus bisa menjadi wali dan wakil jika adik-adiknya terluka atau disakiti. Tapi, anak pertama tidak bisa...