HARI ITU

47 4 1
                                    

Alunan instrumental piano Canon in the major itu menghiasi pendengaran para tamu undangan, mereka duduk berjejer di atas kursi berwarna peach, suasana di dalam sana penuh dengan warna merah serta peach yang menghiasi hampir sudut interior gedung tersebut, banyak rangkaian bunga didekat altar, membius banyak pasang mata untuk menatap lurus kedepan, dimana kini ada seorang mempelai laki-laki yang tengah menunggu mempelai wanitanya untuk menghampirinya.

Sosok pria itu bernama Gareskha Norawit. Pria dengan setelan tuxedo hitam yang membalut tubuh kekarnya dengan sempurna itu menampilkan senyuman terbaiknya untuk menyambut wanita yang sebentar lagi akan menjadi pendamping hidupnya. Ia mengulurkan tangannya dan di sambut hangat oleh wanita itu. Gare menuntunnya untuk pergi ke atas altar bersamanya, ingin mengucapkan janji suci untuk mengikat mereka selamanya.

Awalnya segalanya terlihat lancar, tak ada apapun yang mengganggu acara itu, hanya saja sebelum sang Mempelai wanita ingin mengucapkan bagiannya, pintu ruangan itu terbuka, menampilkan sosok pemuda dengan setelan jas berwarna biru. Pemuda itu adalah adik sang mempelai wanita. Ia berlari naik ke atas altar dan berdiri di tengah-tengah sorotan tajam orang tuanya yang tak habis pikir pada kelakuan putranya tersebut.

"Pernikahan ini tidak bisa dilakukan."

Mendengar hal itu sontak saja semua orang menjadi heran, apalagi kedua orang yang hampir melaksanakan upacara pernikahan tersebut.

"Ini tidak lucu Fay, cepat minta maaf lalu pergi.
Keterlaluan sekali kau mau menghancurkan pernikahanku."

Sang Kakak menatap kesal Adiknya seraya mengatakan hal tadi, karena Fayyaz selalu datang dan membawa masalah. Ia membenci pria itu sebab selalu berulah, bahkan tak jarang membuat keluarganya malu, yang Fayyaz bisa hanya menyusahkan, kedua orang tuanya pun tak menyukai Adiknya itu.

"Ini sungguhan, jangan menikah dengan pria itu."

"Kenapa? Apa alasannya?"

Fayyaz  mengeluarkan sesuatu dan menunjukkannya pada sang Kakak, "Aku hamil."

"Hah? Jangan bercanda? Lalu meskipun kau hamil, apa hubungannya dengan pernikahanku?"

Tangan Fayyaz menunjuk ke arah pria di samping Kakaknya, "Tentu saja, karena dia Ayah dari Anak yang aku kandung."

"Kau pikir aku percaya padamu?"

"Tanyakan sendiri padanya, pernah atau tidak dia tidur denganku? Jika dia pria sejati dia akan mengakui kesalahannya, kalau tidak ya aku tidak masalah, semua orang di sini bisa melihat pria macam apa yang akan kau nikahi itu."

Fayyaz menampilkan wajah datarnya dan tersenyum miring ke arah pria yang berada disamping Kakaknya, membuat Gareskha menatapnya dengan tajam, akan tetapi Fay tak memperdulikannya, memasang wajah seolah ia tak melakukan kesalahan apapun.

"Apa yang dia katakan memang benar..," satu tamparan mendarat pada Gare, "tapi tunggu dulu, ini tidak seperti yang kau bayangkan...."

"Tidak seperti yang aku bayangkan? Kau mengkhianatiku dengan adikku sendiri?"

"Tidak. Bukan seperti itu."

"Sudahlah mengaku saja." Fay melipat kedua tangannya di dada, tanpa ada rasa bersalah sedikitpun.

"Dia menjebakku! Pria licik itu memasukkan sesuatu pada makanan yang kau berikan, kau pikir aku sudi melakukan hal seperti itu dengan seorang pria?"

"Intinya sama saja."

"Aku tidak bermaksud melakukannya, jangan seperti ini."

Wanita itu menyerahkan bunga yang dirinya genggam pada Gareskha , lalu turun dari atas altar, membuat kedua orang tuanya terkejut melihatnya, wanita itu menangis di bahu Ibunya, membuat suasana menjadi cukup gaduh.

Meskipun pandangan kedua orang tuanya itu menusuk, tetapi itu tak menggetarkan kedua kaki Fay  untuk berpijak, ia tetap berdiri di sana tanpa melakukan apapun, akhirnya kedua keluarga itu berunding sampai memutuskan satu kesepakatan, karena nama mereka sudah sama-sama tercoreng hari ini.

Gare menolak. Ia tidak menerima apa yang Ayahnya katakan padanya, bahkan berniat untuk pergi, akan tetapi kemudian ia mau tak mau melakukannya, berdiri di atas altar pernikahan bersama dengan seseorang yang sama sekali tak dirinya harapkan. Sungguh Gare kesal, bahkan muak dengan keadaan ini, ia benar-benar menatap Fay sangat tajam seolah ingin membunuh pria itu.

"Kita lihat saja berapa lama kau akan bertahan."

Fay  hanya tersenyum, lalu mengangkat kedua bahunya tak acuh, "Kita lihat pula sampai kapan kau akan terus menolakku?"

Fay  hanya tersenyum, lalu mengangkat kedua bahunya tak acuh, "Kita lihat pula sampai kapan kau akan terus menolakku?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

To be continue gak nih ?? Vote komen dong bestiii

PLEASE BE MINE !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang