Realita

2 0 0
                                    

"Gue kemarin abis perawatan di klinik seberang, abis 2 juta lebih, mahal sih tapi worth it. Muka gue jadi lebih bening, kan?"

Sama seperti malam yang lalu, setiap selesai penutupan kafe, para staf biasanya berkumpul sejenak hanya sekedar mengistirahatkan tubuh yang pegal-pegal setelah lelah seharian bekerja.

Seperti malam ini, mereka berkumpul setelah membereskan kafe dari mulai menyapu, membereskan dan membersihkan meja hingga mencuci piring.

Tak ada office boy di sini, jada semua karyawan bahu membahu untuk membersihkannya. Biasanya topik demi topik obrolan akan dibahas oleh mereka dari mulai membicarakan menu makan malam, pelanggan kafe yang ngeselin hingga pelanggan kafe yang ganteng dan sering mencari Ara.

Di atas topik itu semua ada satu topik yang selalu tak Ara sukai, yaitu topik flexing pencapaian dalam hidup.

Mungkin mereka bukan bermaksud flexing hanya sekedar membagi kebahagiaan telah melakukan hal yang disukai dengan hasil jerih payahnya atas nama self reward.

Tak ada yang salah memang, namun Ara merasa bahwa dalam topik pembicaraan itu hanya hidupnya yang terlihat paling menyedihkan.

"Gimana, Ra, muka gue semulus muka lu, kan?" Ara memutar bola matanya, menatap penuh perhatian pada Gladis yang bercerita bahwa dia habis melakukan perawatan di sebuah salon.

Walau menurut dirinya perubahan yang dibicarakan wanita bermata sipit itu belum terlihat, namun Ara hanya mengangguk mengiyakan.

"Gue juga pernah tuh perawatan di klinik yang terkenal itu loh, yang suka di endorse selebgram, gue kira bagus, eh tahunya biasa aja. Jangan ketipu deh sama selebgram." Bella tak kalah hebohnya menyahut ucapan Gladis, di antara yang lain memang hanya wanita itu yang paling update soal gosip para artis dan selebgram.

Jangan tanya bagaimana bisa karena memang semua sosial media wanita itu mengikuti para selebgram yang terkenal.

Meski dia berkata seperti itu, namun esoknya Ara yakin Bella akan tetap membeli barang-barang yang diendorse oleh para selebgram favoritnya itu.

"Eh iya anjir, gue pernah kan beli baju harga Rp200.000 an, gue kira bagus tahunya bahannya panas banget. Kapok gue!"

Tanpa minat, Ara dengan acuh mendengarkan semua perkataan rekan kerjanya. Menenggak kopi Americano buatan Fadil, lidahnya terasa pahit seketika.

Mungkin bukan kopi tersebut yang terasa pahit ketika diteguk, tapi kenyataan yang dihadapi lah yang terasa sangat pahit, bahkan jauh lebih pahit dari kopi pelanggan langganan kafe yang selalu minta 8 shot espresso.

Ara terkadang heran dengan pelanggan tersebut tapi juga tak mampu melakukan apapun karena memang selera tiap orang berbeda. Duduk meluruskan kaki dengan tumpuan kursi yang sudah di sejajarkan, Ara memijat kakinya pelan.

Hampir 8 jam berdiri, betis serta kakinya terasa sangat kebas. Tak lupa wanita itu juga memijat bahu serta lehernya bergantian.

Ara ingin istirahat untuk sejenak saja, tapi apa daya keadaan justru meminta sebaliknya.

"Ara, lo ikut, kan, acara outing ke Lembang minggu depan? Masa sih lo tiap tahun nggak pernah ikut? Harusnya nih ya ada denda buat siapapun yang nggak ikut, soalnya kalo boleh jujur gue juga males banget ikut acara begituan." Ujar Gladis yang seolah tengah menyudutkan Ara.

"Bukannya gue nggak mau, tapi gue udah ada job buat foto produk piyama. Nggak enak gue kalo di cancel gitu aja. Bisa-bisa gue nggak bakal dapet job lagi." Tak lagi berselonjor, wanita itu kini tegap berdiri hendak menaruh gelas kosong bekas minumannya.

"Nggak adil lah gila aja, masa tiap tahun lo selalu diijinin buat nggak ikut sih? Masa jadwal part time lo selalu bentrok sama acara kafe. Aneh banget!"

Ara hanya menghela napas lelah mendengar penuturan gadis berusia jauh lebih tua darinya itu. Bukan hanya Gladis, Ara tahu benar bahwa ada banyak karyawan yang menghujatnya. Ada banyak karyawan kafe yang juga tak menyukainya.

Namun entah tidak nyaman atau bahkan rasanya sudah sangat muak dengan segala drama yang ada, sekali lagi Ara hanya mampu berkata dalam hati, 'Yaudah biarin aja, gue niat kerja di sini'

"Gue nggak tahu, kalo gue bisa milih gue juga pengen banget ikut acara outing. Tapi sayangnya gue beneran nggak bisa kali ini, maaf banget, ya." Kakinya tak juga melangkah sebab cercaan tak habis-habis dilontarkan untuknya.

"Enak banget jadi Ara, kesayangan bos mah bebas. Mau ngapain aja juga sesuka hati dia." Protes Bella dengan nada yang sangat meremehkan.

" Asal kalian tahu, gue juga pengen banget ikut acara outing. Gue pengen kaya kalian jalan-jalan, pergi ke mall bahkan pergi healing. Tapi gue nggak bisa. Gue pengen sehari aja istirahat tanpa perlu mikirin penghasilan gue bulan ini cukup nggak, ya, buat kebutuhan gue sama ibu dan kedua adek gue?" Kesabarannya sudah habis detik itu juga. Dia sudah tak bisa lagi menahan semua amarah yang selama ini dipendam olehnya.

"Kalo lo mau tukar posisi jadi gue, ayo dah sini tukar posisi. Biar gue yang ikut outing lo yang jadi gue kerja pontang panting buat biaya kebutuhan ibu dan biaya sekolah adek. Lo nggak berhak urusin kehidupan gue yang bahkan nggak punya sedikitpun andil di hidup gue." Ara berlalu begitu saja dari hadapan Gladis, Bella, dan juga Fadil yang terlihat kaget mendengar penuturannya barusan.

Selama ini memang banyak yang meremehkan si kasir kafe yang sering mendapat pujian dari sang pemilik kafe. Tak jarang rumor tak mengenakkan tersebar luas di kalangan karyawan kafe.

Ara tidak tuli, dia sering mendengar ada yang menggosipkannya bahwa dia merupakan seorang sugar baby si pemilik kafe.

Bahkan ada yang mengatakan bahwa dia merupakan wanita simpanan dari si bos, Ara tak habis pikir, bagaimana mungkin pikiran manusia itu sangat picik?

Lebih daripada itu, selain tekanan dari rekan kerja yang didapatkannya dia juga sudah banyak menerima perlakuan tidak mengenakan dari para pelanggan.

Ada yang sering menggodanya, ada juga yang kadang melakukan beberapa pelecehan seksual, memang hanya sebatas memegang bahu hingga mengelus tangannya. Walau begitu tetap saja hal itu membuatnya tidak nyaman. Ara marah, dia ingin sekali keluar dari tempatnya bekerja, namun hanya di sini dia mendapatkan gaji yang cukup besar.

Berkat negosiasinya yang cukup ahli karena sering mendapat job pemotretan dari klien, dia bisa mendapatkan gaji UMR meskipun setelah bekerja selama kurang lebih 2 tahun.

Keluar dari rest room dan bergegas pulang tanpa berpamitan. Ara melangkahkan kakinya dengan tergesa tanpa menoleh sedikitpun, tangannya meremas tali tas dengan kuat menahan semua perasaan luka yang kini menyelimuti di hati.

Khusus malam ini, wanita itu ingin pulang lebih larut dari biasanya, hanya sekedar berkeliling kota jakarta menikmati pemandangan kota dengan lampu kelap kelip dan juga kemewahannya. 

LabirinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang