7. Awal yang Baru

141 31 1
                                    

"Tak semua yang terluka tak pantas bahagia, terkadang bahagia itu hadir di saat yang tepat."

Perihal masa lalu yang tak bisa dirubah, sedangkan masa depan menantimu untuk berbahagia. Sejak awal Kala tahu jika hadirnya adalah sebuah kesalahan masa muda kedua orang tuanya. Mereka saling melemparkan tanggung jawab untuk mengasuhnya, alhasil dirinya ditelantarkan seperti anak yang tak memiliki orang tua. Bukan tak berusaha untuk memperbaiki, hanya saja lelah rasanya berjuang jika tak pernah dihargai. Sejak hari di mana dirinya dititipkan di rumah nenek, maka dihari itulah terakhir kalinya dirinya bertemu kedua orang tuanya. Mereka telah hidup bahagia dengan masing-masing keluarganya, tapi hanya dirinya yang tak pernah dianggap ada.

Beberapa hari sebelum hari pernikahannya tiba, Praba menanyakan tentang walinya. Jujur saat itu Kala berharap sang ayah bisa menjadi walinya. Hanya saja dirinya benar-benar tak tahu di mana keberadaan pria yang menjadi ayah kandung itu. Untuk kali pertama dirinya berani mendatangi ibunya dan menanyakan tentang keberadaan ayah kandungnya. Ya seperti yang bisa diduga dirinya hanya berakhir mendapatkan makian. Apa yang bisa diharapkan. Praba sudah menawarkan untuk mencari keberadaan ayahnya, hanya saja dirinya menolak. Karena tahu akan berakhir dengan pengusiran. Dengan hati yang tercabik Kala pun menerima jika menggunakan wali hakim.

"Kamu yakin diwakilkan oleh wali hakim, saya bisa mencari keberadaan ayahmu," tutur Praba.

Kala mengangguk, "Saya rasa lebih baik diwakilkan oleh wali hakim saja, karena saya sudah bisa menebak akan berakhir sama."

"Saya bisa membuat mereka berkata iya jika kamu mau," tawar pria itu.

"Tidak perlu Mas, itu hanya membuang-buang waktu. Saya lebih baik mereka tidak hadir dibanding harus menyumpahi saya dengan makian."

Praba pun dengan sigap menggenggam tangan Kala, ditatapnya dengan lekat-lekat, "sekarang kamu tidak lagi sendiri, ada saya yang akan jadi pelindung kamu."

"Terima kasih sudah hadir dalam hidup saya, Mas."

Senyum kecil itu terbit di bibir Praba, hatinya entah merasa hangat mendengar ucapan gadis ini. Kali pertama dalam hidupnya, dirinya dibuat tersipu oleh gadis bermata sendu ini. Karena dia, dirinya memutuskan untuk menikah. Sebelumnya pernikahan adalah list paling terakhir yang akan dirinya lakukan. Namun, saat bertemu dengan perempuan ini rasanya seperti terpanggil untuk menjadi bagian dari hidupnya. Nyatanya benar semesta seolah memberinya jalan untuk mewujudkan mimpinya. Kini tinggal selangkah lagi mereka akan menjadi keluarga, harapnya mereka bisa menciptakan sebuah kehangatan dalam keluarga. Hal yang tak mereka dapatkan dari orang yang bernama keluarga.

Untuk menghibur suasana hati Kala, Praba mengajaknya untuk berkunjung ke kebun coklat milik Hardi. Sekaligus mengundang pria itu untuk hadir sebagai saksi di pernikahannya dua hari lagi. Nampaknya gadisnya ini senang, matanya terus memandang hamparan pohon yang tampak rindang. Senang rasanya melihat senyum di wajah calon istrinya kembali terpancar.

"Kamu bisa mengelilingi kebun jika ingin," tawar Praba.

"Apakah boleh?" tanya Kala antusias.

"Tentu saja, tidak ada yang melarangmu. Kamu bisa berkeliling dahulu, nanti saya akan menyusul."

Gadis itu mengangguk, sedangkan Praba pun langsung pergi menemui Hardi. Setelah memastikan Kala aman tentunya. Orang-orang diperkebunan selalu menatapnya penuh ketakutan, namun dirinya selalu abai. Namun hari ini tatapan mereka seolah penasaran ada gerangan apa dirinya datang dengan seorang perempuan. Praba sengaja membuat mereka bertanya-tanya, suruh siapa penasaran.

"Firasatku selalu tidak enah kalau kau datang kemari," celetuk Hardi.

"Aku akan menikah."

"Loh bocah edan, gak ridok bocah semprul iki. Kon nikah mbek sopo, ojo ngawur kon," seru Hardi penuh umpatan.

Ruang BersamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang