"Annastasya, dengar baik-baik. Apa pun yang terjadi nanti, tetap diam dan jangan bersuara. Tinggalkan tempat ini tanpa diketahui oleh siapa pun, bahkan jika itu seekor semut di rumah ini. Paham?!"
Sekelebat ucapan itu terngiang di kepalanya, membuat remaja berusia dua belas tahun yang sedang mengendap-endap keluar rumah melalui gerbang kecil di taman belakang rumah menggeleng pelan. Dia menghela napas pelan. Memeluk lebih erat tas pemberian dari sang ibu sebelum memberi titah untuk meninggalkan rumah. Dengan perasaan was-was, dibukanya gerbang tersebut setelah memastikan tidak ada yang melihat.
"Nona Daisy, sudah datang?"
Daisy tersentak ketika melihat pria paruh baya berdiri di sisi kiri pintu gerbang. Tidak jauh dari tempat laki-laki itu berdiri terdapat sebuah mobil sedan. Daisy mengernyit sambil menelan ludah susah payah dengan jantung berdetak kencang. Dia takut, itu utusan Ayahnya untuk menyeretnya kembali pulang. Tidak! Demi apa pun, dia tidak ingin kembali ke rumah apa pun alasannya.
"Saya utusan Nyonya Arini, untuk membawa Nona ke tempat yang lebih aman."
Ucapan itu tidak serta merta membuat Daisy merasa tenang.
"Apa buktinya?"
Laki-laki Itu mengulas senyum simpul, sebelum menarik lengan baju kirinya menampilkan sebuah gelang dengan ukiran rumit dan hiasan kelopak bunga Daisy di bagian tengah.
"Yang terpilih, tidak akan salah dengan pilihannya."
Daisy membuang napas lega. Lelaki ini benar-benar utusan ibunya-Arini.
Selama dalam perjalan Daisy tidak membuka suara atau bertanya banyak hal. Dia hanya berucap ketika mereka berhenti di rest area untuk makan dan beristirahat. Hingga empat belas jam menempuh perjalanan, mobil mereka akhirnya tiba di depan sebuah rumah minimalis. Seorang perempuan seusia dengan Arini menyambut kedatangan mereka dengan senyum lebar.
"Akhirnya kalian sampai juga."
"Lho, kok, cuma berdua? Katanya mau datang bertiga," ucapnya lagi setelah celingukan ke sana sini.
"Terjadi sesuatu di luar dugaan."
Perempuan itu mengangguk, lalu mengucapkan terima kasih. Diajaknya Daisy untuk masuk ke dalam.
"Yang di sebelah sana itu, rumah kamu. Nah, yang cat putih di sebelah kirinya itu rumah Pak Razi, yang ngantar kamu tadi dan yang akan ngurus keperluan kamu sekolah di sini. Dengan kata lain, beliau wali kamu mulai hari ini."
Daisy tidak menyahut dengan kata-kata. Sebaliknya, dia hanya mengangguk mengerti.
"Kita ke rumah tante dulu, ya. Kamu pasti lapar. Selain itu, Tante juga mau ngenalin anak Tante sama kamu. Tante jamin, kamu pasti suka sama dia."
Nyatanya, ucapan Alina-perempuan yang menyambutnya ketika tiba tadi, tidak terealisasikan sama sekali ketika perempuan itu memanggil anaknya.
"Jihan, sini, nak. Mama mau kenalin kamu sama seseorang."
Melihat bocah berusia kisaran sembilan tahun muncul di balik tirai kerang dengan seekor kucing dalam dekapannya, Daisy mengernyit. Bisa-bisanya anak itu santai sekali mendusel hidungnya di bulu kucing tersebut. Daisy yang melihatnya saja, sudah gatal pangkal hidungnya.
Daisy tidak terlalu menyukai kucing. Apalagi, kalau sampai memeluk seperti apa yang dilakukan oleh Jihan. Dia bukan anti. Terkadang sesekali dia juga suka mengelus bulu kucing yang ada di sekolahnya dulu. Dia juga suka melihat tingkah lucu kucing-kucing yang ada di sosial media. Tetapi, kalau sampai mendusel dan memeluk, dia dengan tegas akan mengatakan, tidak! Bulu-bulu kucing itu akan membuat hidungnya terasa gatal dan mudah bersin. Memang tidak terlalu parah, namun tetap mengganggu kegiatannya. Untuk itulah, sebisa mungkin dia menjaga jarak dengan hewan tersebut.
Alina-ibunda Jihan, menatap mereka berdua dengan heran. Pasalnya, tidak ada satu pun dari dua anak manusia beda usia ini yang berniat mengulurkan tangan. Masing-masing dari mereka bergeming di tempatnya masing-masing.
Alina menghela napas. "Jihan, ayo salaman sama kakaknya."
Jihan yang sedang asyik dengan kucing dalam gendongannya menoleh ke arah sang ibu. Jihan menggeleng Pelan. "Nggak mau, Ma, nyeremin! Mukanya kayak mau nelan orang."
****
Setelah makan malam dengan Alina dan Jihan, Daisy kembali ke rumah yang akan dia tempati mulai hari ini dan seterusnya. Rumah minimalis dengan dua kamar dan satu lantai itu, nampak luas karena tidak banyak furniture di dalamnya. Bahkan, di ruang tamu hanya ada dua sofa tunggal dan satu meja bundar berukuran kecil. Tidak ada lemari hias, atau sederet pernak pernik serupa patung kristal dan sejenisnya. Pada bagian kamar, hanya ada single bad dan lemari dua pintu untuk menyimpan pakaian. Sementara di kamar lainnya, hanya ruangan kosong tanpa barang apa pun di dalamnya.
"Lumayan." Dia bergumam dengan mata terpejam erat. Rasanya, seperti baru saja menjalani kehidupan ratusan tahun. Semua hal yang terjadi hari ini, seperti sesuatu yang sulit dia telan sekaligus. Terlalu berat, dan menyiksa.
Malam itu, dia habiskan dengan banyak berpikir. Bagaimana hari-harinya setelah ini, atau bagaimana jika ayahnya menemukannya dan menyeret dia kembali ke dalam neraka itu. Rasa takut, dan cemas menjadi teman hingga kantuk menyerang dan kedua mata itu terpejam menuju alam mimpi.
Daisy tidak pernah membayangkan, bahwa paginya akan disambut oleh keheningan yang terasa mencekam. Ini baru satu hari, tetapi rasanya dia seolah telah merasakan kesunyian itu seumur hidupnya. Mengusap wajah, disibaknya selimut yang dia pakai ketika tidur. Daisy turun dari ranjang menuju kamar mandi yang berada di area dapur. Perempuan itu berhenti sejenak, menatap sekeliling sebelum melanjutkan langkah menuju kamar mandi.
"Rumah baru, lingkungan baru, teman baru. Bagaimana? Kau senang?"
"Ya, dan tidak," ucapnya setelah memasang sabuk pengaman dan duduk dengan nyaman.
"Paman mengerti, pasti sulit bagimu beradaptasi di lingkungan seperti ini. Oh, benar. Kau sudah bertemu dengan Jihan?"
"Ya, sudah."
"Bagaimana menurutmu, bukankah dia anak yang menyenangkan?"
Daisy mengernyit samar. Ingatannya terlempar saat pertamakali dia bertemu dengan Jihan. "Ya, dia anak yang unik." Tidak, dia menyebalkan.
Razi mengangguk dengan senyum di bibirnya. "Paman sudah menduga. Kau pasti akan menyukai Jihan."
"Tidak untuk sekarang." Kalimat itu hanya tertahan di pikiran dan tidak keluar melalui bibirnya.
Lima belas menit berlalu, mobil yang mereka tumpangi berhenti di depan SMP negeri setempat. Daisy membuka sabuk pengaman, berpamitan lalu mencium punggung tangan Pak Razi sebelum keluar dari mobil memasuki gerbang.
Di tengah-tengah aula sekolah, dia terdiam sejenak. Menatap sekeliling sembari menghela napas pelan. Dunia baru, kehidupan baru. Tidak ada lagi embel embel putri tertua Wiguna dalam namanya. Sekarang, dan di masa mendatang dia hanya seorang Daisyra Annastasya. Sosoknya, bukan lagi Annastasya yang selalu menjaga sikap dan menjaga martabat keluarga. Sekarang, dia hanya Daisy.
Seringai tipis terukir di sudut bibirnya, sebelum menghilang dalam beberapa detik. Wajahnya berubah tanpa ekspresi. Langkahnya yang tenang, seolah menanti hal apa yang akan dia alami di masa mendatang.