1

33 4 12
                                    

Selasa, 19 September 2023.

Apakah semua orang di dunia ini setuju bahwa pembacaan surat wasiat dan pembagian warisan harus dilakukan sesegera mungkin? Bahkan jika kuburan si mendiang bahkan belum kering? Bahkan jika kasur si mendiang belum dingin? Bahkan jika kue bekas dimakan si mendiang masih berada di kulkas?

Aku tidak tahu apa pendapat semua orang di dunia ini, dan aku tidak perlu tahu. Tapi orang-orang terdekat Sarah tampaknya berprinsip ‘semakin cepat, semakin baik’, terbukti dengan berkumpulnya suami, adik perempuan, dan kawan-kawan Sarah di ruang kerja suaminya.

“Tapi, buat apa dia ada di sini?” Alexander Arsmith menunjukku menggunakan dagunya—gerakan angkuh yang sudah tak asing lagi di mataku. Akuntan butik yang rambutnya sudah beruban itu memang tidak pernah bersikap sopan kepada siapa pun. Tapi dia tidak perlu terlalu jujur begitu, meskipun aku juga menyadari bahwa kehadiranku di sini sangatlah tidak wajar.

“Nanti kau akan tahu,” jawab Edmund Lockart—sang pengacara—sembari mengambil dokumen yang berada di dalam tas kulitnya. “Kalian semua akan tahu.”

Antonin Gazda, suami tercinta yang ditinggalkan oleh mendiang Sarah Gazda, menarik napas dalam-dalam, lantas menyandarkan kepalanya pada sandaran sofa tunggal yang didudukinya. Dari wajahnya, kusimpulkan bahwa kepalanya sama sekali tidak kosong. Antonin memang bukan tipe orang yang bisa membiarkan otaknya berhenti bekerja. Entah dia memikirkan istrinya yang tiba-tiba pergi, atau beban finansial butik yang tiada habisnya, atau tagihan listrik yang semakin menggila. Apa pun itu, Antonin Gazda tidak terlihat tenang. Ya, tentu saja, tidak akan ada suami yang tenang jika istrinya tiba-tiba sakit parah dan meninggal dunia pada usia tiga puluh empat tahun.

“Antonin Gazda!” Edmund mulai mengabsensi kehadiran orang-orang yang dianggap harus hadir dalam pertemuan.

Antonin mengangkat tangan kanannya sebagai isyarat bahwa dia sudah hadir.

“Sonja Adler?” Edmund melanjutkan.

“Ya,” sahut gadis berambut cokelat kepirangan berpotongan bob yang duduk di sampingku. Dia jelas jauh lebih muda daripada Sarah, tapi hanya tiga tahun lebih tua dariku. Dia sangat sehat dan bugar, sehingga aku berpikir, jika ibuku melihatnya, ibuku pasti akan berkata bahwa tubuh Sonja Adler akan sangat cocok untuk mengandung dan melahirkan banyak anak. Ah, pemikiran yang memuakkan.

“Carlisle Donoghue?” Edmund mencari ke sekeliling ruangan, dan mengangguk ke sudut ruang kerja.

Aku sudah tidak asing lagi dengan Carlisle Donoghue. Selama Sarah sakit, Carlisle selalu datang secara rutin maupun mendadak untuk memeriksa keadaan Sarah. Dia adalah dokter yang sangat kompeten, dan Antonin sungguh sangat bijaksana karena telah memilihnya sebagai dokter pribadi keluarga Gazda, terlepas dari fakta bahwa Antonin memang telah berteman dengan Carlisle sejak sangat lama.

“Alexander Arsmith?” Edmund melanjutkan, kemudian menoleh pada Alexander yang duduk di sebelah kirinya.

Buat apa lu nanyain kehadiran gue?” sahut Alexander dengan ketus, “Emangnya lu buta?”

“Avital MacAvram?” Edmund tetap melanjutkan proses absensi, mengabaikan ucapan kasar Alexander kepadanya.

“Hadir,” sahutku seraya mengangkat tangan kananku dan melambai-lambaikannya pada Edmund.

“Kita mulai saja kalau begitu.” Edmund mengangguk, lebih kepada dirinya sendiri ketimbang kepada hadirin di ruangan itu. “Dalam surat wasiat bermaterai, yang ditulis dan ditandatangani oleh Nyonya Sarah Gazda sepekan sebelum wafatnya beliau, beliau memutuskan bahwa: Satu, seluruh aset bawaan yang dimiliki oleh Nyonya Sarah Gazda sebelum menikah, termasuk di dalamnya adalah rumah dan tanah warisan orang tuanya di Radengreen Regency, mobil Yaris berwarna hitam produksi perusahaan Toyota, motor Vario berwarna merah produksi perusahaan Honda, dan perhiasan-perhiasan pribadi di dalam kotak kayu mahoni, diwariskan kepada adik perempuannya; Nona Sonja Adler.”

Sonja menatap Edmund tanpa mengatakan apa pun. Wajahnya merah dan basah oleh air mata. Matanya sudah mulai bengkak, sampai-sampai Carlisle meninggalkan sudut ruangan demi bisa memberikan sebuah saputangan kepadanya.

“Dua,” lanjut Edmund, membuat perhatian seluruh hadirin kembali padanya, “seluruh harta benda yang dihasilkan di dalam pernikahan, termasuk di dalamnya adalah mobil Mercedes-Benz E 250 berwarna hitam, motor Vespa berwarna turquoise produksi perusahaan Piaggio, sebuah bangunan ruko di Grandfroot City, perhiasan-perhiasan pribadi di dalam kotak perunggu, seluruh barang mewah dari jenama-jenama ternama, dan seluruh uang yang ada di dalam rekening giro Nyonya Sarah Gazda di Bank Central Oceania, diwariskan kepada suaminya; Tuan Antonin Gazda.”

Antonin mengangguk, lantas memejamkan mata dan kembali bersandar pada sofa tunggalnya.

“Tiga,” sambung Edmund, “satu set perhiasan emas yang dibeli di Arab Saudi diwariskan kepada Dokter Carlisle Donoghue, atas jasanya dalam merawat Nyonya Sarah Gazda selama beliau terbaring sakit.”

Carlisle membuat tanda salib sebagai penghormatan, yang kuyakini dilakukannya untuk Sarah.

“Empat,” Edmund terus berbicara, “satu tas kulit ular yang dibeli di Indonesia dan sepasang sepatu kulit rusa yang dibeli di Rusia, diwariskan kepada Tuan Alexander Arsmith, atas kesetiakawanannya selama ini.”

“Makasih, Sarah, ternyata lu gak pelit-pelit amat,” ucap Alexander, disusul dengan cium jauh yang diarahkannya ke langit. Lebih tepatnya langit-langit.

“Lima.” Edmund berhenti sejenak, menatap seluruh hadirin sebelum mendaratkan matanya padaku. “Seluruh isi perpustakaan pribadi Nyonya Sarah Gazda, dan seluruh pakaian, sepatu, serta aksesoris yang bukan berasal dari jenama kelas atas, diwariskan kepada Nona Avital MacAvram, atas dedikasinya kepada keluarga Gazda selama empat tahun terakhir.”

“Apa-apaan itu?!” Alexander langsung angkat bicara bahkan sebelum Edmund sempat menelan ludah. “Dia cuman pembantu! Bisa-bisanya dia dapet semua baju dan aksesoris Sarah, sedangkan gue yang bisa disebut sebagai temannya malah cuman dapet satu tas dan sepasang sepatu!”

“Tenanglah, Bung!” Carlisle berusaha menepuk-nepuk pundak Alexander dengan lembut. “Tas kulit ular dan sepatu kulit rusa harganya sangat mahal, ‘kan?”

“Omong kosong!” sembur Alexander pada Carlisle dengan berapi-api. “Harga semuanya paling-paling cuma sepuluh juta ruper! Sedangkan semua baju, sepatu, dan aksesoris Sarah kalo dijual di thrift shop bisa-bisa dapet lebih dari dua puluh juta ruper! Memang cuma setara gaji gue selama sebulan lebih dikit, tapi kan mendingan daripada warisan yang nilainya gak sampai satu kali gaji gue kerja di butik suaminya.”

“Seharusnya kau sudah puas karena istriku mau menyisihkan sedikit untukmu, salamander sialan,” geram Antonin. “Kalau kau bukan sahabatku, kau malah mungkin tidak akan mendapatkan apa-apa.”

“Tujuh!” seru Edmund dengan lantang, meminta perhatian dari seluruh hadirin sekali lagi.

“Masih ada?” Sonja mengernyit.

“Satu set perhiasan mutiara yang dibeli di Indonesia diwariskan kepada Tuan Edmund Lockart, atas jasanya sebagai pengacara keluarga Gazda sejak awal mula butik House of Gazda didirikan,” cerocos Edmund. “Delapan, seluruh isi surat wasiat ini tidak dapat diganggu gugat. Tertanda, Sarah Heldin Adler Gazda.”

Atas surat wasiat yang tak dapat diganggu gugat itu, ruang kerja Antonin Gazda menjadi riuh oleh perdebatan-perdebatan sengit. Alexander masih mengeluhkan bagiannya yang ‘cuma itu’. Antonin pun terheran-heran karena istrinya mau repot-repot memberi warisan untuk orang-orang selain keluarganya. Sonja terus berlinang air mata dan histeris. Edmund tetap berusaha menjaga amanat terakhir Sarah di tengah desakan Antonin dan Alexander. Sementara Carlisle berusaha menengahi semua orang.

Sedangkan aku termenung. Pakaian, sepatu, dan aksesoris pelengkap mulai dari topi, kacamata, sampai pernak-pernik, tentunya bisa kupakai sendiri. Atau mungkin akan kujual beberapa kalau aku memang benar-benar butuh uang. Namun, mengenai isi perpustakaan pribadi, mau kuapakan buku-buku sebanyak itu?

.
.
.

-Bersambung ....

.
.
.
.
.

-Ema Loka.

The Secret of InheritanceTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang