Bagan O2 : Lian Sakit

18 2 15
                                    

"TOLONG DONGGG!!!!" Suara menggelegar milik Hanif sudah biasa terdengar ke segala penjuru indekos.

"Lu gak bisa apa, ya, gausah teriak-teriak pagi buta gini? Kayak monyet aja, lu!" sewot Radit.

Hanif yang sedang mengaduk sop ayam di panci mendelik tak terima. "Ya lagian urang sibuk masak, lu pada cuma diem doang kagak ada bantu-bantu nya,"

Radit mendengkus. "Ya lu bisa minta tolong baik-baik 'kek, yang enak gitu. Bocah gemblung."

Kali ini Hanif tidak menjawab, hanya mendumel pelan agar tidak terdengar oleh Radit. Hanif dan Radit ini layaknya Tom and Jerry di dunia nyata, kadang Hanif yang jadi Tom kadang juga Radit yang jadi Tom. Segimana mood mereka aja lah.

"Pagi-pagi udah berisik. Malu kedenger tetangga," kata Miko. Miko datang menghampiri Hanif dan Radit yang masih saling mendumel dalam diam.

"Kayak bocah."

Hanif dan Radit sontak melirik kearah Chandra yang sepertinya habis mandi. Terlihat dari rambutnya yang masih basah.

"Sok-sokan lu bocah ngatain kita begitu. Keringin dulu noh rambut lu, udah kayak abis kena badai aja. Pake tuh hairdryer di kamar gue," ujar Radit.

Chandra hanya cengengesan lalu kabur menuju kamar Radit untuk mengambil hairdryer.

Miko hanya geleng-geleng kepala. Udah jadi makanan sehari-hari semenjak mereka tinggal satu atap.

Oh iya, ini adalah tahun ke-2 mereka berada di atap yang sama. Jadi sudah cukup mengenal satu sama lain tanpa adanya rasa canggung. Dimulai dari Jaero dan Jiano yang ngekost di sini, dilanjut Miko, Chandra, Radit dan terakhir Lian.

"Lian mana, deh? Biasanya dia yang ambil alih dapur," celetuk Miko.

Di Kostan 7 mereka berbagi tugas yang berbeda. Seperti Lian yang bertugas untuk menjadi koki, Hanif dan Chandra bagian laundry, Jiano dan Radit bagian kebersihan dan Jaero dia jadi teknisi yang segala bisa. Tapi tetap saja, mereka selalu melakukan itu dengan bersama. Tanpa melihat siapa yang seharusnya melakukan ini atau siapa yang melakukan itu.

"Lian sakit," jawab Jaero yang baru saja terlihat.

"Lah? Perasaan tadi malem dia masih aman-aman aja dah." ucap Hanif. Dia heran karena semalam, Hanif dan Lian masih mabar pubg sampe jam setengah satu malam.

"Gak tau, sih. Tadi gua ke kamar Lian ambil casan laptop. Pas dia buka pintu kamar mukanya pucet banget, gua pegang jidatnya, panas." jelas Jaero.

"Eleuhh.. Suruh makan dulu aja, Ro. Kuat gak kalau disuruh kesini? Kalau nggak dianterin aja makanannya ke kamar."

"Gua tanya dulu bentar." Jaero pergi kembali menuju kamar Lian.

Di dapur, Hanif mematikan kompor dan mengambil ponselnya yang ia letakan di meja makan. Tangannya lihai menekan nomor telepon yang akan dituju. Nomor Ambu.

"Halo, assalamu'alaikum, Ambu."

"Waalaikusalam, aya naon A? Tumben nelepon Ambu?"

"Ini si Lian sakit. Obat-obatan di kotak udah pada abis."

"Astaghfirullah. Panas pisan, a? Ambu kesitu atu yah,"

"Ambu kesini sama si Abah. Jangan sendiri,"

"Sumuhun, suruh makan aja dulu, A. Kedap deui Ambu kesitu,"

"Oke. Ini udah disuruh makan da. Tiati ya, Ambu."

"Iya, udah Ambu mau jalan kesitu. Assalamu'alaikum"

"Waalaikusalam,"

"Ambu ke sini?" tanya Miko. Hanif mengangguk. "Iya."

Satu AtapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang