🐡VITO Bab 32 : Satu Fakta Terbongkar🐡

36 7 0
                                    

⚠️WARNING! INI HANYA CERITA FIKTIF BELAKA. KALAU ADA KESAMAAN DALAM NAMA DAN TEMPAT KEJADIAN, MOHON DIMAAFKAN. SAYA SAMPAIKAN SEKALI LAGI, CERITA INI HANYA FIKTIF!⚠️

Guys, votenya dong! Jgn jadi silent readers anjay.

Kalo ada yg blm vote, vote dulu yaa sayang💕 🔪

___

Pada intinya, tujuan seseorang telah tertera di depan mata, bagaimana mereka harus mengambil langkah selanjutnya atau keputusan yang harus diputuskan segera. Di dalam tujuan tersebut masih ada banyak pilihan, antara perihal rumit meliputi.

Nampaknya, semua berpengaruh kepada akal sehat. Entah itu tentang demi kebaikan pribadi, maupun yang berdampak buruk pada orang lain yang bersangkutan atau tidak sekalipun. Semua perbuatan jelas memiliki ganjaran setimpal selayaknya sulit menolak hukum alam.

Mau dipuja atau dicium api marahnya, Tuhan tetaplah Tuhan. Sekali berkehendak memberikan balasan untuk para pembangkang, melawan dan menantang kekuasaannya. Bahkan tidak mensyukuri nikmat yang diberikan.

Dunia ini fana. Seperti manusia. Sementara, tak kekal, dan bisa di lenyapkan kapan Tuhan mau. Jika berandai-andai pula, semua berakhir sia beserta di ikuti dosa. Itulah yang tercantum permanen di benak salah satu pria.

Matanya terlalu letih kala mengingat kejadian kelam. Dirinya tak pantas mendapatkan anugerah terindah dari Tuhan. Seolah memang diberikan kesempatan untuk bertobat, sejenak dirinya tertawa kecil bernada miris.

Kadang kala dia terlihat agamis, terkadang pula tampak sekali pendosa. Wajah tampan tidak bisa membuat seseorang masuk ke dalam surga. Di tempat suci itu khusus berisi manusia bijak dan baik sebenarnya ditempatkan.

Bukan tempat manusia sepertinya, berlimpah dosa, di masa lalu ataupun sekarang.

Setir mobil mengarah ke arah kiri jalan tiba-tiba, membuat beberapa pengemudi di belakang mengumpat sembari meng-klakson cukup nyaring di telinga. Dia memandang lurus jalan raya berpemandangan lautan luas.

Dia takut. Harus berapa banyak skenario menenangkan diri sendiri? Semua hanya berujung khayalan berisi sampah. Mengharapkan ketentraman setelah bangun dan mau sekeras apapun sosok itu tidak akan mungkin atau pernah memaafkan.

Dia mengusap kasar rambutnya. "Nanti aku harus berkata apa? Semua terlalu menyakitkan, untuk sekedar berkata."

Suaranya terdengar rasa frustasi melanda, padahal dengan percaya dirinya dia membulatkan tekad guna bertemu teman lama kembali. Kini malah semua optimis memudar.

"Zale ... bagaimana cara agar kau memaafkan aku, kawan? Aku ingin kita seperti dulu!" monolognya.

Kemudian dirinya menyandarkan tubuhnya pada kursi kemudi dan menengadahkan kepala sambil menutup sebagian wajah menggunakan salah satu tangan. Dia bergumam, "Tampaknya Tuhan memberiku jalan menuju surga lewat dirimu. Mendapatkan kata maaf secara tulus, serta berdamai dengan keadaan tenang tanpa khawatir saling mengkhianati."

Dimitri menarik tangannya lalu mengulum bibir bawahnya. Beberapa detik dirinya memejamkan mata dan terbuka lebar, merubah tatapan jadi penuh keyakinan terhadap situasi yang nantinya dihadapi.

"Aku harus yakin Zale mau memaafkan aku. Tuhan pasti mempercayakan ini semuanya padaku!" serunya seolah-olah habis memberikan semangat kepada dirinya sendiri.

Lantas Dimitri melanjutkan perjalanan menuju kediaman wanita setengah paruh baya bernama Pamela. Dirinya mengetahui jikalau Zale memang ikut tinggal di sana. Terakhir di ingatannya, Zale meratapi nasibnya sendirian di pinggiran pantai.

Menunggu kesialan menimpa tanpa Dimitri mau menemani. Permasalahan mereka masih ambigu di sini, selalu mengarah ke segala arah, menunjuk jawaban yang kurang tepat. Anehnya Dimitri berharap Zale lebih baik lupa ingatan saja ketimbang harus melupakan masa lalu, atau jati diri sesungguhnya dengan kurun waktu singkat.

Di lain tempat, di waktu yang sama.

Pergelangan tangannya dicekal kuat, seraya gadis itu menggelengkan kepala mengarah langsung ke pria di hadapannya sekarang. Terakhir dirinya ingat pria ini pulang dalam keadaan terluka menghiasi beberapa bagian tubuhnya.

Ia mengeratkan tangan beralih pada genggaman. Mencoba menarik si pria agar menjauh dari bibir pantai. Ini adalah hal membahayakan, jika dia masuk ke dalam air, maka kekhawatirannya terealisasikan. Belum lagi akan ada kejadian yang belum mereka ketahui nanti.

"Berhenti, jangan nekat masuk ke dalam air!" tegas Jemma bersuara lantang.

"Kembali Zale. Kau harus pulang," bujuk Jemma perlahan.

Zale berusa mengatasi dengung itu saat Jemma mengeluarkan suara di telinganya, senandung indah tiba-tiba saja terdengar begitu indah menenangkan, dan membuatnya ingin mencari tahu lebih banyak. Sayangnya, Zale hampir kehilangan kesadaran.

Brugh!

Zale terduduk lemas memandang sinis ke arah lautan lepas. "Akan aku lenyapkan kau, Mirdin!" desisnya.

Jemma mengusap lembut punggung Zale. "Tenangkan dirimu, jangan terbawa emosi."

Pria itu menoleh lambat. Menatap wajah Jemma membuat Zale menghela napas kasar, berkali-kali dirinya dipermainkan oleh makhluk sama dan Jemma jadi khawatir sendiri tanpa arti. "Aku tidak selemah itu, tenang saja, emosi ku juga masih sanggup ku kontrol."

Sedangkan Jemma mengangguk mengerti dan membantu Zale untuk bangun, karena terdengar suara Tom berteriak memanggil namanya. Zale yang diseret kembali pulang ke rumah pun menurut saja.

"Ini foto yang Nona minta," imbuh Tom menjulurkan tangannya.

Jemma menerima foto tersebut, jantungnya berdetak kencang tatkala matanya melihat siapa di dalam foto. Itu tampak tak asing bagi Jemma. Anehnya ia seperti mengenali bayi di gendongan sang ibu.

Ibunya tergambar bahagia karena hadirnya seorang bayi. Walau tidak mengetahui siapa ayahnya, Pamela tetap menorehkan kasih sayang lewat perhatian yang dia beri. Sungguh sosok ibu tegar menghadapi segala permasalahan.

Jemma beralih memandang sang ayah, tangannya memberikan foto itu kepada Zacharias. Di mata terlihat familiar, namun masih agak samar. Jikalau Zacharias sendiri langsung membuka matanya lebar-lebar seraya menatap bergantian sebuah lembar foto dan Jay.

Jay belum tahu situasi rumit apa yang dirinya hadapi. Dia melihat sendiri tangan sang ayah gemetar bak orang tengah terserang efek asam lambung.

"Wanita itu, wanita itu sungguh iblis!" hina Jemma bergumam dan didengar oleh semua orang termasuk Jay.

Ia tak habis pikir, bagaimana semua kejahatan dijalani begitu lancar selama belasan tahun. Dapat diketahui pasti ada tangan lain membantu. Jemma mengungkapkan, "Bersyukurlah, Jay. Kita bukan anak kandung wanita rendahan itu."

"Jemma—"

"Jemma benar. Kau memang adiknya, namun, Myra bukanlah Ibu kandung kalian." Jay sangat pening dengan sang ayah ikut membuka suaranya, lalu selama ini hanya dirinya saja yang tidak tahu? Jay mendengus kasar setelah memijat pangkal hidungnya.

Mendadak suasana jadi senyap akibat Jay merenung sendirian. Dia bingung, mau senang atau sedih, dia tak tahu harus berekspresi seperti apa. Tidak pandai baginya harus menampilkan banyak ekspresi di saat dirinya sendiri benar-benar tidak tahu apa-apa.

"Aku tak mengerti," cetus Jay menyuarakan isi pikiran.

"Myra bukan ibu kandung kita berdua, Jay. Dia merekayasa semua bukti kelahiran dirimu dan diriku!" jelas Jemma.

Jay mengatupkan mulutnya. Ini bagaikan mimpi di siang bolong, semuanya terlalu mendadak. Jay hampir sulit mencerna ungkapan sang kakak yang berbicara serius. Benarkah Myra bukan ibu kandungnya?

Lantas mau apa wanita itu memalsukan semuanya, demi sesuatu kebohongan tak berarti. Jemma— ia harap Myra mendapatkan ganjaran atas apa yang dia lakukan. Banyak korban menderita dan sengsara karena perbuatan kejinya, dia adalah manusia laknat bagi Jemma.

Mau itu kepada dirinya atau adiknya sekalipun, Jemma berharap Myra dibalas setimpal oleh Tuhan. Perbuatannya tidak bisa dimaklumi. Dia terlalu jahat dan pantas menderita karena perbuatannya di masa lalu.

Jemma, ia mengepalkan tangan kuat membayangkan wajah menjijikkan mantan sang ibu palsu. Ia membencinya sampai ke darahnya sekalipun!

Sebab, Myra harus membayar mutlak penderitaan keluarganya!

To be continued ....

Voices In The Ocean : Cursed Man, Zale Merville [End] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang