PROLOG

5 3 0
                                    

"Seele!, kamu dengar apa yang saya ucapkan, atau tidak!" Bentak seorang wanita, yang berdiri dengan angkuhnya di depan pintu kamar seele. Namun alih-alih mendengar pembicaraan wanita itu, seele lebih asyik mengerjakan tugas sekolahnya.

"Memang ya, anak dan suami sama saja! Sama-sama tuli kalau diajak ngobrol!" Wanita itu, menghentikan kakinya dan membanting pintu kamar Seele. Seele hanya sedikit melirik wanita itu, dan menghela nafasnya.

Wanita tadi adalah ibu tiri Seele. sebelum menjadi ibu tiri Seele, wanita itu dulunya seorang pemandu karaoke di suatu bar, ayahnya jatuh cinta pada pandangan pertama dengannya. Setelah itu ayah Seele, mengajaknya menikah.

Ibu kandung Seele sudah lama meninggal setelah melahirkan Seele, itu juga yang membuat jarak antara Seele dengan ayahnya. Sedari kecil Seele di rawat oleh bibinya, namun sekarang pun bibinya sudah tiada. Ia benar-benar sendirian di rumah besar ini, dan merasa kesepian.

***

“Gara-gara kamu! saya jadi kehilangan istri saya! Dasar tidak berguna, mati saja kau!” bentak lelaki paruh baya itu, membuat Seele sesak nafas dan terbangun dari tidurnya kepalanya berdenyut denyut, mimpi buruk itu selalu mengejarnya setiap ia terlelap.

Jam masih menunjukkan pukul 01.50 WIB, ia terpaksa untuk tetap terjaga dengan membaca buku di ranjang tidurnya sambil menanti pagi tiba. Hal ini sering ia lakukan setiap harinya, alih-alih meminum obat tidur namun jika ia merasa begitu lelah ia terpaksa meminum obat tidur dengan dosis tinggi.

Ia begitu lelah menjalani kehidupannya, tapi dia harus tetap hidup hanya untuk mewujudkan mimpinya, di dunia yang begitu menyebalkan. Dia memiliki jalannya sendiri untuk membalas perlakuan keluarganya yang begitu semena-mena terhadapnya.

Seele tersenyum kecil menatap lautan bintang di angkasa, dia bertekad untuk menjadi pribadi yang lebih baik di tengah-tengah keluarga yang tidak bisa di bilang keluarga.

***

"Aku yakin, ayah mu sebenarnya mencintai mu." Pemuda itu menepuk kepala Seele dengan senyuman yang memenangkan.

"Hanya saja, seseorang akan sedikit kesulitan untuk menyampaikan perasaannya. Kamu juga, cobalah untuk sedikit berbincang-bincang dengan ayahmu." Pemuda itu tersenyum hangat.

"Kalaupun tidak, masih ada aku dan teman-teman lainnnya. Ingat Seele kami mencintai mu."

Seele tersenyum mendengar kata-kata itu, itu bagaikan sebuah mantra penenang baginya. Ia menyandarkan kepalanya pada pundak pemuda itu.

"Terimakasih, kak." Katanya dengan tulus.

"Untuk apa?"

"Untuk semua yang pernah kakak lakukan, Aku merasa lebih baik sekarang."

Pemuda itu tersenyum dan mengecup dahi Seele dengan mesra.

"Aku hanya melakukan sedikit, selebihnya kan di kamu, kamu yang berjuang untuk diri mu sendiri. Begitu juga aku."

Seele tersipu karena kedekatan mereka, hatinya melembut. Dia sama sekali tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Perasaan di cintai seseorang sangat membebaninya.

"Jangan tinggalkan aku ya kak."

"Aku tidak janji."

Seele mengangguk mengerti, ia pun memeluk pemuda itu dengan erat. Sebenarnya ia sangat takut kehilangan, tapi manusia itu datang dan pergi. Dia sudah bisa hidup dengan kesendirian, tapi kali ini saja bisakah dia berharap untuk ini pemuda itu.

"Jangan terlalu mencintai apapun yang ada di dunia ini, kau tau kan, semuanya akan hilang."

Seele mengangguk mengerti, namun alih-alih mengendurkan pelukannya ia semakin memper erat pelukannya pada pemuda itu, pemuda itu pun akhirnya hanya diam saja membiarkan Seele memeluknya.

"Kau memang keras kepala seperti ayah mu ya." Kata pemuda itu terkekeh kecil, dan membalas pelukan Seele.

***

Seele VollereiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang