BAB 1 RUANG DUKA

44 2 0
                                    

Perkenalan

Guru mata pelajaran: Isni Nurvaidah S. Pd.

Penanggung Jawab:
Ridho Yasin Hilmi

Tim Penulis:
Lisna Nurfia Santi
Nurul Melani
Andri
Daniel Muhammad Alfarizi

Tim Editor:
Neng Widiantina
Hengki Hermawan
Dimas Pauji
Cahyo Sugihti

Tim Desain:
Wivi Wilianita L
Asep Mulyana
Rivan Alfarizi
Rizal Maulana Yusup
Rival
Rizli Ariza Oktavianus

Tim Publish:
Nina Azizah
Sendi Herdiansyah
Egi Fahrezi
Tedi Misbahudin
Yamin
Dephil Heliana Putra

Ruang ini satu jam yang lalu masih terlihat ramai. Orang-orang datang bergantian dengan mayoritas berpakaian hitam. Ada yang menangis, ada yang berempati seperlunya, ada pula yang berbincang dan tertawa di kursi-kursi di bawah tenda. Sebagian malah memanfaatkan suasana untuk bertemu kerabat lama.

Hari ini adalah hari penguburan Livia, perempuan yang lahir ke dunia sepuluh menit lebih cepat dariku. Livia wafat seminggu setelah proses persalinan bayinya, meninggalkan seorang makhluk mungil yang baru saja tertidur setelah berjam-jam kugendong dengan kain batik milik Ibu.

Pandanganku berkeliling setelah kuletakkan bayi yang belum bernama itu di tempat tidur kecilnya. Di luar sana, Ayah sedang menegur beberapa orang anak lelaki yang mencoba mencabuti bunga-bunga plastik dari deretan papan ucapan duka di depan rumah. Bunda tengah mengutipi sisa gelas plastik yang berserakan di halaman. Lian, si bujang bungsu, kelihatan mengobrol dengan raut wajah terpaksa menanggapi ocehan salah seorang kerabat Ayah yang sudah lanjut usia.

Semua orang berusaha mengatasi kesedihan masing-masing atas kepergian mendadak ini. Termasuk aku, juga lelaki muda yang duduk sendiri di sofa memandangi ponsel dalam genggamannya.

Dia Mahesa Dipta teman masa remaja kami, cinta pertamaku, suami Livia. Satu-satunya yang aku tertawakan dari jalan hidupku selama dua puluh lima tahun terakhir. Dari sekian banyak kesempatan bagiku dan Livia untuk berebut hal yang sama, mengapa harus Dipta yang menjadi objeknya.

Untuk ukuran seorang lelaki yang baru saja kehilangan istri yang dicintai, raut wajah Dipta terlampau datar. Meskipun sejak tadi kerutan di dahinya tidak kunjung hilang, tapi tak sekali pun aku melihat dia menangis. Tidak seperti Ayah, yang aku masih ingat jelas bagaimana beliau tersedu-sedu, menjelang pemakaman ibu kandung kami belasan tahun lalu. Namun, bukankah lelaki paling pintar menyembunyikan isi hati? Mungkin saja saat ini Dipta sedang berusaha keras menyimpan luka yang berdarah-darah jauh di dalam sana.

"Aku belum melihat Kak Dipta makan apa pun sejak pagi." Lelaki itu menengadah lalu mematikan layar ponselnya saat kuhampiri dengan sepiring kecil kue bolu di tangan. "Jangan sampai asam lambungnya naik."

"Thanks, Lira." Ia mengambil sepotong dan mulai mengunyah pelan. "Selera makanku hilang."

"Aku seduhkan teh panas, ya," tawarku tulus, masih tetap berdiri di sisi sofa menunggu persetujuannya.

"Boleh," jawabnya. "Tanpa gula, please."

Masih sempat kulihat Dipta merebahkan kepalanya pada sandaran sofa sebelum kutinggalkan ke dapur. Ponselnya tak lagi dipegang. Ia hanya menatap ke atas ke arah langit-langit ruang tamu. Pasti ia lelah. Kami semua lelah satu minggu ini, sejak Livia dinyatakan koma sampai pihak rumah sakit mencatat waktu kematiannya.

Aku tidak dapat dengan cepat menemukan letak teh celup di tempat biasa. Dapur ini sudah banyak berubah sejak aku memilih pindah ke Palembang. Mungkin setelah aku dan Livia tidak lagi menetap di sini, Bunda lebih bebas untuk menata rumah sesuai keinginannya. Lian pun mulai indekos di Bandung sejak masuk kuliah.

Dua tahun lalu saat Livia resmi menikah dengan Dipta, aku tanpa berpikir panjang memutuskan untuk menerima tawaran pekerjaan di sebuah perusahaan kontraktor di sana. Tetap berada di Jakarta akan semakin mengoyak sayatan di hatiku setelah gagal memenangkan Dipta dari Livia. Tidak, bukan memenangkan, karena kami tidak pernah bersaing untuk mendapatkan Dipta. Aku cukup tahu diri bahwa aku bukan pesaing yang pantas jika lawannya adalah Livia kembaranku. Sejak kepindahanku, baru kali ini aku kembali setelah Ayah mengabarkan kondisi Livia yang semakin memburuk.

Mahesa Dipta hanya lebih tua tiga tahun dariku dan Livia. Aku mengenalnya sejak ia dan keluarganya menjadi penghuni baru di kawasan perumahan kami. Umurku masih tiga belas waktu itu. Belum cukup dewasa, tapi mata dan hatiku sudah cukup cerdas untuk mengerti bahwa yang aku rasakan pada Dipta adalah cinta pada pandangan pertama. Cinta yang juga berbalas, sayangnya panah itu mengarah pada seorang perempuan berwajah sama, yang menjiplak semua yang diriku punya.

"Kak Dipta, tehnya sudah siap." Dipta membenahi posisi duduknya saat menyadari kehadiranku.

"Thank you, Lira." Suara itu terdengar parau.

Sudah kata terima kasih yang entah ke berapa kali ia ucapkan untukku hari ini. Terima kasih telah mengambil cuti panjang untuk pulang ke Jakarta, terima kasih telah menjaga bayinya yang masih merah, terima kasih telah terus berada di sisi Livia hingga akhir hayatnya.

"Pegang di sisi ini, cangkirnya panas sekali," ujarku mengingatkan.

Sengaja kuputar badan cangkir agar Dipta dapat meraih sisi pegangannya. Ia menyeruput perlahan, mengulangi dua kali, lalu meletakkan cangkir teh di atas meja di depan sofa. Aku merasa sangat bodoh mengapa masih berdiri, menunggui, dan memandangi lelaki itu seperti ada sebuah kewajiban yang mengharuskan.

"Istirahatlah dulu, Kak," saranku karena terlalu iba melihat kondisi Dipta saat ini. "Kak Dipta juga butuh tidur."

Lingkaran hitam di bawah matanya cukup menjelaskan kualitas tidur Dipta yang kurang seminggu ini. Kelopak matanya juga menebal, pasti karena menahan kantuk berhari-hari. Lelaki itu mengusap wajahnya dengan sebelah tangan, lalu tersenyum getir saat sepasang matanya mengarah padaku.

"Aku akan pulang." Dipta memandangku dengan tatapan sangat letih.

"Kenapa harus pulang?" cegahku. "Kak Dipta bisa istirahat di sini, di kamar Lian."

"Rumahku dan Livia tidak terlalu jauh dari sini," jelasnya dengan sopan. "Aku istirahat di rumah saja, di sini terlalu ramai. Mudah-mudahan Ayah mengizinkan."

Memang Ayah yang meminta agar jenazah Livia di bawa ke sini sebagai rumah duka. Bukan tanpa pertimbangan. Melihat kondisi Dipta yang begitu terpuruk, rasanya tak mungkin lelaki itu sanggup mengurus semua keperluan penguburan. Dipta anak tunggal, orang tuanya pun sudah tidak ada. Keluarga besarnya juga tidak berdomisili di Jakarta. Rumah yang mereka tempati saat baru pindah ke lingkungan ini, sudah lama dijual sejak papanya meninggal.

"Aku titip bayi itu, Lira." Dipta mengangguk padaku saat ia bangkit dan berpamitan. "Besok pagi aku datang lagi."

Kupandangi punggung Dipta yang berjalan lunglai sampai ia berhenti saat berpapasan dengan Ayah. Beliau menepuk-nepuk bahu Dipta dan memeluknya, Entah apa yang keduanya bicarakan. Dua lelaki yang sama-sama pernah kehilangan istri tercinta. Butuh bertahun-tahun bagi Ayah sampai beliau mau membuka hatinya lagi pada wanita lain, hingga akhirnya Bunda hadir di keluarga kami.

Aku sempat punya pikiran ini dulu ketika aku tahu bahwa Dipta melamar Livia. Apakah jika Livia tidak ada, apakah jika aku tidak terlahir kembar, maka Dipta akan jatuh cinta padaku? Pikiran yang sempat menghantuiku selama setahun sejak pernikahan mereka itu, kini terpampang di depan mata. Namun, andai takdir dapat diubah, aku ingin Livia tetap hidup untuk mengurusi Dipta dan bayi mereka.

Jangan kuatirkan aku, karena aku bisa bertahan dengan lukaku. Raut terpuruk di wajah Dipta lebih terasa perih dibandingkan goresan di hatiku yang entah sampai kapan akan sembuh.

SEBUAH RUANG UNTUK DUKA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang