Aku memilih untuk menutup kotak milik Dipta tanpa berani mencari tahu lebih lanjut tentang apa-apa yang ia simpan. Hasratku untuk meneruskan pencarian bukti musnah sudah. Kenangan-kenangan masa lalu kami bersama Mahesa Dipta malah terus-menerus bermain di kepalaku. Mungkin lain waktu akan aku lanjutkan lagi, setelah perasaan-perasaan sedih di hatiku pergi.
Salah satu kenangan yang terus membekas dalam ingatanku adalah ketika pertama kali aku bertemu Mahesa Dipta. Saat itu tugas sekolahku sedang tidak berada dalam level manusiawi. Hafalan juga sedang menumpuk. Berkali-kali kucoba untuk menyimpan di dalam memori otak beragam angka tahun perjanjian pasca kemerdekaan dari buku sejarah. Namun, bagaimana bisa berhasil jika di depanku Livia sedang berlenggak-lenggok menari mengikuti irama lagu sambil berkaca. Jika ini menyangkut angka-angka pertidaksamaan linear, aku tidak peduli Livia akan berjingkrak diiringi musik sekeras apa pun. Semua dapat kuselesaikan dengan mudah.
Kuputuskan untuk pindah ke kursi bambu di halaman belakang agar lebih dapat berkonsentrasi. Sama saja ternyata. Danu, tetangga kami, sedang ramai bermain bola di tanah kavling kosong yang bersebelahan dengan rumahku. Sial, ke mana lagi aku harus mengungsi, sementara esok pagi-pagi sekali ulangan sejarah akan berlangsung di jam pelajaran pertama.
Isi Perjanjian Linggar Jati sudah hampir melekat di otakku saat sebuah benda mendarat di kepalaku dengan begitu cepat. Benar saja. Tak sampai tiga puluh detik berlalu saat aku menyadari bahwa yang menimpukku adalah sebuah bola kaki, wajah-wajah bocah lelaki tersebut sudah mengintip dari balik tembok pagar.
Sengaja kupasang wajah marah saat melihat sosok Danu muncul sembari meringis kecil. Aku cepat berdiri sembari menginjak benda bundar tadi dengan kaki kiri. Kukatakan saja agar Danu meminta bola itu kembali lewat pintu depan. Dengan demikian, ia harus melewati beragam interogasi Ayah dan repetan Ibu atas batang-batang mawarnya yang sering patah terkena tendangan bola yang sering melintas dari sebelah.
Aku masih berkacak pinggang saat Danu memberi isyarat pada salah seorang temannya agar bergantian membujukku untuk melempar saja bola itu kembali pada mereka. Dan, saat itulah untuk pertama kalinya aku melihat Mahesa Dipta. Ia tersenyum tipis sambil menggaruk kepalanya bingung. Entah apa yang ia lakukan padaku. Yang aku tahu, tanganku yang tadinya bertumpu menunjukkan kuasa, perlahan jatuh lunglai di sisi tubuh. Bola kaki yang tadinya tergeletak pasrah di bawah kaki, mungkin langsung bersorak gembira setelah akhirnya naik tahta dalam pelukanku. Aku memeluk bola kaki itu sembari berusaha meredakan debar jantungku saat mendengar suara Dipta mengenalkan namanya.
Mungkin teman-temannya yang menunggu di belakang sudah mulai gelisah. Beberapa kali Dipta mencoba menenangkan mereka sambil memberi isyarat dengan jari telunjuk di ujung bibirnya. Aku hampir saja tertawa saat itu. Ternyata Jenderal yang diutus untuk bernegosiasi, malah berbalik terpikat oleh sang Ratu pemilik kerajaan.
Rasa kesalku akan bekas tendangan bola di kepala perlahan mereda. Aku mulai terbius oleh perbincangan yang dilontarkan Dipta. Dia bertanya aku kelas berapa dan sedang belajar apa. Bertanya siapa namaku malah setelah beberapa pertanyaan setelahnya. Lihai sekali caranya membujuk. Menurut Dipta, jika aku bersedia mengembalikan bola tersebut, ia akan mengajariku cara menghapal yang mudah untuk pelajaran sejarah.
Pertahananku mulai goyah. Bagaimana mungkin aku bisa jatuh percaya pada pemuda yang baru aku kenal satu kali lewat tembok belakang rumah. Sementara sebagian besar anak lelaki di komplek ini adalah musuh bebuyutanku.
Bola di pelukan sudah beralih ke ujung jariku, hanya perlu satu hentakan untuk melemparnya kembali melewati tembok pagar. Di saat yang sama, saat bola itu melayang ke arah Dipta, ia bahkan tidak mempersiapkan lengannya untuk menangkap. Sorot matanya beralih tiba-tiba pada suara langkah yang datang mendekat dari dalam rumah.
Mulanya, aku tahu itu adalah sebuah reaksi keterkejutan. Semua orang yang awalnya hanya mengenal salah satu dari kami, pasti akan tertegun ketika yang lain memunculkan diri di saat yang bersamaan. Menjadi anak kembar akan selalu menarik perhatian. Saat itu aku bisa melihat dengan jelas bola mata Dipta bergantian menatapku dan Livia. Seolah membandingkan, seolah mencari persamaan.
Dan, ketika pandangannya lebih sering berlabuh pada Livia, aku tahu kembaranku itu sudah berhasil memenangkan persaingan untuk menjadi Ratu di hati Dipta.
-----
Foto yang kutemukan di dalam kotak di lemari Dipta sejatinya tidak seperti itu. Harusnya Livia juga ada di sana. Sepertinya Dipta menggunting lembar foto itu sehingga hanya menyisakan potretku dan dirinya.
Foto itu diambil saat kami sekeluarga mengantarkan Dipta ke stasiun kereta untuk berangkat ke Jogja. Ayah Dipta saat itu sedang ditugaskan ke luar kota selama enam bulan, dan ibunya sudah meninggal setahun lalu. Selama dua belas bulan setelah kululusannya, hampir separuhnya Dipta habiskan di rumah kami. Saat itu Dipta sudah kehilangan semangat untuk melanjutkan pendidikan sejak kepergian sang ibu. Ayahlah yang terus memotivasinya hingga Dipta mau mencoba lagi mengikuti ujian seleksi masuk perguruan tinggi.
Dipta banyak berdiskusi denganku perihal memilih jurusan. Ia senang sekali menggambar. Aku menyarankan agar ia mengambil jurusan yang berkaitan dengan hobinya tersebut. Jika hobi dijadikan pekerjaan, biasanya tidak akan membosankan. Dipta lalu memutuskan untuk mengambil pilihan pada Fakultas Seni & Desain dengan jurusan lanjutan desain interior.
Saat itu aku sudah duduk di kelas satu SMA, jadwalku sudah padat dengan beragam ekstra kurikuler. Dipta kerap menantiku pulang bersama pensil dan kertas gambarnya di halaman belakang. Kadang jika gitar yang ada di tangannya, sudah pasti akan ada Livia yang duduk di sampingnya. Dengan sabar ia akan mengiringi Livia bernyanyi sampai kembaranku itu bosan dan berhenti, baru kemudian Dipta membawa lembaran-lembaran soal try out yang ia kerjakan hari itu untuk dikoreksi olehku berdasarkan kunci jawabannya.
Sering kutemukan Dipta tertidur beralas karpet di depan televisi saat menjelang dini hari aku terbangun untuk mengambil minum. Buku-buku dan lembar soal berserakan di sekitarnya. Terkadang kusempatkan untuk membangunkannya dan menyuruhnya pindah ke kamar Lian. Namun, seringnya Dipta hanya membuka matanya sebentar dan beranjak malas ke atas sofa untuk melanjutkan tidurnya.
Dipta yang meminta Lian memotret kami bertiga menjelang kereta yang akan ia tumpangi datang. Livia berdiri di samping kanan Dipta dengan ciri khasnya bergayut manja, sedang aku hanya bisa berdiri kaku di sebelah kirinya. Dipta memeluk bahu Livia dengan lemah lembut. Sementara di sisi sebelah, Dipta merangkulkan tangannya yang berat di bahu tipisku sehingga leherku terasa hampir tercekik. Terkadang aku merasa Dipta tidak akan pernah bisa memandangku sebagai seorang perempuan.
Aku ingat itu. Saat kereta datang , Dipta memeluk Livia bagaikan seorang pemuda yang akan meninggalkan seorang kekasih, sementara ia hanya mengacak rambutku dan memindahkan di kepalaku topi yang ia kenakan sebagai tanda perpisahan. Aku tidak akan pernah melupakan kalimat terakhir yang Dipta bisikkan sebelum ia memasuki gerbong kereta.
“Jaga Livia baik-baik selama aku tidak ada.”
Sejak saat itu aku paham, Dipta hanya mengganggapku sebagai sahabat kecilnya, sementara Livia kekasih hatinya.
TAMAT
KAMU SEDANG MEMBACA
SEBUAH RUANG UNTUK DUKA
Ficción GeneralKehilangan selalu menjadi duka paling sempurna yang tercipta pada manusia. Seberapa dalam luka tergantung seberapa besar kapasitas lapang dada pada diri seorang manusia. Dan bagiku, kehilangan punya sebuah ruang untuk Duka.