Memang benar jika ada yang mengatakan wajah bayi akan terus berubah-ubah sampai ia menemukan parasnya sendiri. Saat pertama kali aku bertemu dengan mahluk mungil ini, aku bahkan tidak yakin ia adalah buah cinta Dipta dan Livia. Tak sedikit pun susunan di wajahnya yang tembam menjiplak hidung tinggi Dipta atau pun mata indah Livia. Namun, kemarin pagi saat memandikannya, aku terpana melihat betapa garis hidung dan dahinya sangat mirip Dipta. Dan pagi ini, usai memakaikan kain bedungnya, Muffin sempat membuka matanya sedikit. Saat kami bertatapan, aku seperti sedang menatap Livia yang sedang tersenyum kepadaku.
Ya, aku memanggilnya Muffin, kuambil dari nama kue buatan Ibu yang menjadi kesukaanku dan Livia. Hingga hari ini, belum ada satu orang pun berniat memberikannya sebuah nama. Semua orang masih terlalu larut dalam kesedihan masing-masing. Ayahnya hanya datang di sore hari selepas pulang dari kantor. Melihat sebentar, lalu kembali ke rumahnya sendiri. Aku pernah meminta Dipta mencoba menggendong Muffin, tetapi lelaki itu langsung menolak. Dipta bilang ia belum terbiasa memegang bayi kecil.
Dulunya aku mengira Dipta akan menjadi seorang ayah yang berjiwa kebapakan. Ternyata tidak demikian. Meskipun sebenarnya aku berharap semoga dugaanku salah. Mungkin rasa sedih masih menguasai hati Dipta. Mungkin juga lelaki itu malah menyimpan dendam pada buah hatinya yang telah menjadi penyebab kematian sang istri tercinta. Aku memilih tidak memedulikan. Dipta sudah dewasa. Tanpa istri pun ia bisa mengurus dirinya sendiri. Yang aku khawatirkan justru Muffin. Jika cutiku habis, siapa yang nanti akan merawatnya? Bunda mungkin sudah tidak mungkin untuk dititipi menjaga bayi.
Dua minggu tidur bersebelahan dengan makhluk kecil ini, membuatku mulai menikmati semua aroma unik yang dihasilkan tubuhnya. Aku paling suka mencium sudut bibirnya yang bercampur saliva, juga lipatan lehernya yang sangat memancing candu untuk dihidu. Sepertinya aku jatuh cinta pada Muffin, seperti cintaku pada ayahnya. Padahal, ketika patah hati dulu, pernah terbersit niat di hatiku untuk tidak pernah menikah, apalagi punya anak. Aku merasa tidak akan pernah bisa jatuh cinta pada lelaki lain selain Dipta. Dan benar saja, dua tahun menjauh ternyata tidak mengurangi porsi hatiku yang mencintainya. Meskipun sekarang terbagi sedikit untuk mahluk mungil darah dagingnya ini.
Tak apa. Jika nanti tidak ada yang mau mengurusi Muffin, aku akan membawanya ke Palembang untuk tinggal bersamaku.
-----
Empat belas hari hanya ditugasi mengurus bayi kecil, sedikit memancing rasa bosan dan membuat jiwa aktifku meronta. Buku-buku koleksi lama yang tidak ikut dibawa pindah, kulahap habis berjam-jam. Juga beragam serial drama dari aplikasi film berlangganan, kutonton hingga larut malam saat menemani Muffin terjaga. Kami berdua lalu tidur nyenyak setelah subuh dan baru terbangun menjelang pukul sepuluh.
Hari ini aku tergoda untuk melihat kembali tumpukan album lusuh koleksi Ibu yang sudah lama tak terbuka. Dulu, Ibu selalu mengajakku dan Livia untuk melihat-lihat kembali foto-foto kami semasa kecil. Sembari melihat, Ibu biasanya akan bercerita tentang kejadian yang mendasari foto tersebut.
Sebagian besar adalah foto kami semasa bayi. Karena setelah Lian lahir, Ibu lebih sering memotret si bungsu itu dibandingkan aku dan Livia. Selain itu menurut Ibu, umur kami yang mulai beranjak remaja membuatku dan Livia sedikit enggan untuk diajak berfoto. Saat itu diriku memang terlalu malas untuk diminta berpose, dan Ibu pun terlalu malas untuk terus membujuk. Satunya-satunya foto kami saat remaja adalah saat lingkungan perumahan mengadakan acara buka puasa bersama di taman komplek. Waktu itu Ibu memotret kami beserta anak-anak tetangga lainnya.
Aku ingat, foto itu dibuat seminggu setelah Mahesa Dipta menjadi penghuni baru di lingkungan perumahan kami. Kabar itu sudah beberapa hari sebelumnya aku dengar dari Ibu bahwa kami akan kedatangan tetangga baru. Livia sangat antusias, sementara aku menanggapinya terlalu biasa. Buatku satu atau dua teman sudah lebih dari cukup. Tidak seperti Livia yang hampir separuh warga komplek pasti mengenal namanya, dan tentu saja sering salah memanggilku dengan namanya. Aku tidak akan memenuhi memori otakku hanya untuk menghapal nama-nama tetangga beserta anak-anak mereka. Aku lebih suka mengisinya dengan rumus matematika, atau mungkin kosa kata Bahasa Inggris yang lebih menantang.
Sampai di hari itu, saat pertama kali aku mengenal Mahesa Dipta, aku bersumpah akan mengeluarkan hafalan rumus konversi satuan volume dari otakku agar muat untuk memasukkan perihal mahluk tampan itu di dalamnya. Mahesa Dipta menghipnotisku di umurku yang baru mencapai tiga belas tahun empat bulan. Bertahun-tahun hingga akhirnya aku sadar bahwa mustahil untuk bisa mengalihkannya dari Livia.
-----
Sore ini Dipta datang lebih awal dari biasanya. Lelaki itu duduk berbincang dengan Ayah di taman belakang. Mungkin membahas perihal cutiku yang dua hari lagi akan habis. Ayah memang menanyakan hal itu padaku malam tadi. Ayah juga meminta pendapatku mengenai pemakaian jasa pengasuh bayi untuk merawat Muffin.
Muffin masih nyaman dengan lelapnya, padahal sudah kuusik berulang kali agar bayi kecil itu terbangun dan mengurangi porsi tidurnya. Dua minggu terjaga sampai menjelang pagi membuat tubuhku terasa kurang sehat hari ini. Seketika aku merindukan kamar indekosku yang nyaman di Palembang sana.
“Dia masih sering tidur larut malam?”
Kudengar sebuah suara menyapaku dari belakang. Dipta sudah berdiri di sisi ranjang bayi saat aku menengadah. Wajahnya tidak tersenyum. Ia menatap Muffin dengan sorot mata datar.
“Tadi malam kami menonton serial Flash hingga menjelang subuh,” kelakarku. Dipta tertawa. Suara tawanya pun sedatar wajahnya.
“Nanti kita bisa bergantian menjaganya setelah kamu ikut ke rumahku,” ujar Dipta sambil terus memandangi Muffin yang kini sedang menggeliat.
“Aku nggak bisa bekerja menjaga Muffin untuk Kak Dipta,” tolakku bingung. “Lusa sudah harus kembali masuk kantor.”
“Muffin?”
Kuabaikan dahi Dipta yang berkerut. “Atau bila tidak ada yang menjaga, bagaimana kalau kubawa saja dia ke Palembang?” putusku dengan solusi terakhir.
Entah apa yang terdengar lucu, tetapi Dipta tertawa lepas kali ini. Ia memandangku sejenak sambil melesakkan kedua tangan di saku celana katunnya.
“Tidak ada yang akan kemana-mana, Lira,” ucapnya dengan tenang. “Kalian berdua akan ikut denganku.”
“Tolong jangan bercanda, Kak,” protesku tegas. “Hidup Muffin bukan untuk dijadikan kelakar.”
“Aku memang tidak sedang bercanda,” sahutnya. “Atau Ayah belum mengatakannya padamu?”
Aku bangkit dari duduk agar seluruh tubuhku bisa menghadap Dipta. “Ayah bilang apa sama Kak Dipta?”
Lelaki itu memejam sejenak. Dan saat matanya terbuka, apa yang terucap dari bibirnya membuat pijakan kakiku melemah saat itu juga.
“Ayah memintaku melamarmu, Lira. Aku ingin kita menikah secepatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SEBUAH RUANG UNTUK DUKA
Narrativa generaleKehilangan selalu menjadi duka paling sempurna yang tercipta pada manusia. Seberapa dalam luka tergantung seberapa besar kapasitas lapang dada pada diri seorang manusia. Dan bagiku, kehilangan punya sebuah ruang untuk Duka.