BAB 4 SEBUAH HIDUP BARU

2 0 0
                                    

Bayangan yang terpantul pada cermin di depanku tidak mirip aku. Perempuan itu berkebaya putih dengan balutan kain batik bermotif parang kusuma bernuansa coklat tua. Sedikit riasan di wajahnya membuatnya tampil lebih dewasa. Rambutnya yang biasa diikat satu, hari ini digelung rapi dengan hiasan kembang melati.

Empat tahun lalu, dalam balutan kebaya putih yang hampir sama, Livia meyakinkanku agar tidak menghapus perona pipi yang ia sapukan di wajahku. Hari itu adalah hari wisuda kami. Setelah pulang dari auditorium, Livia bahkan tetap memakai kebayanya saat beberapa tamu datang untuk menghadiri acara syukuran yang diadakan Ayah. Aku segera berganti dengan kostum kebanggaanku, baju kaus dan celana denim. Sebelum kemudian kembali ke kamar untuk menukar baju kausku dengan kemeja setelah melihat Bunda mendelik dari ruang tamu.

Jika Livia masih ada, ia pasti akan menertawaiku karena memutuskan untuk memakai kebaya wisuda kami dalam acara sesakral ini. Dan, aku seperti biasa akan mendebat. Mengapa tidak, bukankah kebaya itu hanya pernah aku pakai satu kali. Lagi pula tubuhku masih sekurus dulu. Bahkan sekarang malah terasa sedikit longgar di bagian pinggul.

Hari ini adalah hari akad nikahku dengan Mahesa Dipta, tepat satu minggu setelah ia membalas ‘OK’ sebagai respon dari jawabanku atas lamarannya. Salah satu kerabat Dipta yang kebetulan juga menetap di Jakarta telah diminta untuk datang dan menjadi saksi nikah. Sisanya, hanya Ayah, Bunda, Lian, dan beberapa tetangga yang sudah dianggap seperti saudara.

Jika Bunda tidak memaksa, aku sebenarnya enggan rangkaian melati ini diselipkan dalam gelungan rambutku. Aku jadi tampak berlebihan saat disandingkan dengan Dipta yang hanya memakai kopiah hitam dan baju koko putih. Wajahnya masih sedatar kemarin. Untung saja ia masih cukup waras untuk tidak salah menyebutkan nama Livia saat proses ijab kabul tadi.

Dipta membawaku dan Muffin pindah ke rumahnya dua hari setelah kami resmi menjadi suami istri. Rumah dengan desain unik itu dipenuhi oleh tanaman bunga di halaman depan. Dipta benar-benar menumpahkan bakatnya. Bahkan teras belakang yang berlahan sempit pun bisa disulap lapang olehnya.

“Ini kamarku,” jelas Dipta dingin. “Dan, itu kamar yang sudah aku siapkan untukmu dan bayi ini.” Ia menunjuk sebuah kamar yang berseberangan dengan kamar utama.

Baiklah, jadi kami berdua akan tidur terpisah. Biarlah, aku juga tidak tertarik untuk berbagi ranjang dengan Mahesa Dipta selama hatinya masih berada di titik beku.

“Maaf, Lira. Aku tidak terbiasa dengan tangis bayi. Aku putuskan agar kita berpisah kamar untuk sementara.”

Setidaknya ia meminta maaf. Mungkin karena Dipta terlahir tunggal, ia masih canggung berhadapan dengan bayi kecil. Saat Lian lahir, aku juga pernah merasa demikian saat Ibu memberi kesempatan padaku dan Livia untuk mencoba menggendongnya bergantian.

Sebelum menikah dengan Livia, Dipta pernah meminta pendapatku saat ia akan menerima tawaran kerja pada sebuah perusahaan pengembang yang cukup punya nama di Jakarta. Menurut Dipta gaji yang ditawarkan cukup tinggi, sesuai dengan jam kerjanya yang lumayan padat. Berita terakhir yang aku dengar dari Livia, Dipta memilih mengundurkan diri dan membuka usaha bersama dengan beberapa teman sebagai pemodal.

Setiap pagi setelah Dipta berangkat bekerja, aku selalu mencuri masuk untuk memeriksa kebersihan kamarnya. Bukan menyelinap sebenarnya, karena Dipta tetap membiarkannya terbuka. Aku akan membenahi seprai, menyapu lantai, serta mengutip pakaian kotor yang ia letakkan di keranjang di depan kamar mandi. Terletak pula sebuah teko kaca dan gelas bening di meja kerjanya di dalam kamar. Aku selalu mengisinya kembali sebelum menutup pintu dan melanjutkan pekerjaan lain.

Pagi ini Dipta libur bekerja. Lelaki itu kelihatan sibuk menurunkan foto-foto pernikahannya dengan Livia yang masih terpajang di ruang keluarga dan beberapa sudut rumah. Foto mereka yang paling besar ia gantikan dengan sebuah lukisan abstrak bernuansa gelap. Aku tidak perlu bertanya mengapa ia tidak menggantinya dengan foto pernikahan kami. Aku cukup tahu diri. Saat itu tidak seorang fotografer profesional pun yang disewa untuk siap sedia mengabadikan akad nikah kami. Hanya Lian dengan ponselnya. Ia telah mengirim beberapa filenya sebelum kembali ke Bandung hari itu juga.

Aku mulai mencari resep-resep masakan sederhana agar sarapan pagi Dipta tidak hanya berputar-putar dari nasi goreng dan roti panggang. Apa pun yang kusediakan, selalu Dipta habiskan tanpa banyak komentar. Ia hanya berpesan agar tidak menghidangkan untuknya kopi tanpa direbus mendidih dan aku harus ingat untuk menyaring ampasnya terlebih dahulu.

Mengurusi Dipta tidak jauh berbeda dari merawat Muffin. Aku merasa seperti seorang ibu yang mempunyai dua anak dengan usia berbeda. Tidak ada perbincangan layaknya suami istri di antara kami. Dipta hanya duduk di ruang tengah saat menonton televisi dan menghabiskan waktunya di kamar saat tidak sedang bekerja. Aku juga tidak berusaha membuka percakapan. Aku hanya menjawab sekadar yang ia tanyakan. Selebihnya, aku dan Dipta menjalani hari-hari kami seperti mampu membaca pikiran satu sama lain.

Dalam kejenuhanku, aku mulai rajin merawat tanaman bunga yang terabaikan sepeninggalan Livia. Beberapa batang mawar di halaman belakang kembali bertunas setelah kupangkas. Bunga kertas berwarna putih -yang dirangkai melingkar mengikuti bentuk gerbang mungil- juga sudah terlihat rapi setelah kugunting paksa. Semua itu kulakukan saat Dipta tidak di rumah. Semangatku untuk melakukan apa pun langsung sirna begitu menyaksikan wajah datarnya muncul di pintu.

Aku juga mulai terbiasa berkomunikasi satu arah. Setiap pagi setelah memandikan Muffin dan menidurkan bayi itu, aku akan berbagi cerita dengan daun-daun aglaonema yang kubasuh dengan kain basah. Tak jarang juga batang-batang bougenville menjadi sasaran saat jiwaku sedang butuh pelampiasan. Ikan-ikan koi di kolam pun tak luput terkena giliran. Satu-satunya lawan bicara yang mampu merespon dengan baik hanya Muffin sejak ia rajin membuka mata dan tersenyum.

Dipta meletakkan beberapa lembar uang setiap harinya di sebuah laci. Aku baru mengetahui bahwa uang itu ia berikan untukku setelah membaca pesan yang tertulis di sebuah robekan kertas. Setiap hari pula aku selalu merinci pengeluaran dan meletakkan catatannya beserta uang kembalian di dalam laci. Dipta tidak memintaku untuk melakukan itu, akulah yang berinisiatif. Laci itu ibarat sebuah kotak surat yang menfasilitasi kami berkomunikasi, meskipun isinya sebatas angka-angka rupiah.

Jika aku tidak salah hitung, sudah tiga hari terakhir aku dan Dipta tidak bertukar obrolan. Dua bulan berada dalam satu rumah, aku menyadari bahwa Dipta semakin irit bicara. Sehingga, satu atau dua patah kata yang keluar dari mulutnya sudah kuanggap masuk kategori obrolan. Mungkin satu bulan ke depan, anggukan dan gelengan pun sudah bisa masuk kategori yang sama. Itulah mengapa aku lebih senang berkomunikasi lewat sobekan kertas di dalam laci dari pada berbicara langsung.

Hari ini tiba-tiba aku merindukan Livia. Aku membongkar lemarinya yang berada di kamarku dan mencoba beberapa bajunya seperti yang sering kami lakukan dulu. Sebenarnya sejak awal aku ingin menanyakan ini pada Dipta, mengapa lemari Livia tidak menyatu dengan lemari pakaian lelaki itu. Namun, aku memilih tidak ambil pusing. Mungkin saja koleksi pakaian Livia terlampau banyak dan membuat lemari penuh sesak.

Pilihanku jatuh pada terusan berpotongan longgar berbahan katun yang dingin. Sebagian bajuku yang ada di Palembang sengaja aku hibahkan pada seorang rekan kerja yang berpostur tubuh hampir sama. Begitu juga dengan beberapa peralatan di kamar indekos. Sementara itu, sejak ikut pindah bersama Dipta, aku hampir tidak sempat melirik aneka baju di toko online. Seluruh waktuku di rumah kuhabiskan untuk mengurus Muffin. Bukan hanya waktuku sebenarnya, perhatianku juga. Aku tidak sempat berbelanja baju untukku sendiri, padahal sudah beberapa kali aku membeli pernak-pernik lucu untuk Muffin.

Mungkin, karena hari ini aku memakai baju milik Livia, Dipta berbicara dengan deretan kalimat agak panjang. Ia berdiri menatapku nanar saat kubukakan pintu untuknya. Aku bisa bersumpah apa yang tergambar dalam raut wajah dan sorot mata Dipta adalah sebuah kebencian yang  membuncah.

“Tukar baju itu sekarang juga, Lira,” ucapnya dengan emosi yang tertahan. “Jangan pernah ada barang-barang milik Livia yang aku lihat lagi di rumah ini.”

Aku diam mematung, memandangi Dipta saat ia berjalan melewatiku. Ia melempar tas kerjanya dengan kasar di sofa ruang tengah. Sejak kami berteman, aku belum pernah melihat Mahesa Dipta semarah itu.

“Kemasi semua pakaian Livia ke dalam kardus,” lanjutnya. “Aku akan bakar semuanya besok.”

Saat kudengar bunyi pintu kamar Dipta terbanting keras, aku tahu bahwa apa yang dijalani Livia dan Dipta tidak seindah yang kukira. Dan, dapat jelas kubayangkan hal yang sama akan terjadi pada penikahanku juga.

Bersambung

SEBUAH RUANG UNTUK DUKA Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang