5. Menyesal dan minta maaf

870 52 3
                                    

-------

Kamar itu begitu gelap, bahkan sinar bulan pun tidak bisa menembus jendela. Seorang pemuda berkulit tan duduk di kursi dekat jendela. Matanya sembab dan bengkak. Hafsa menangis setelah menegur Zean di ruang tamu tadi. Jujur, itu tidak sengaja. Semuanya terasa di luar kendalinya. Hafsa sangat menyayangi Zean dan itu untuk pertama kalinya ia bersikap ketus kepada adiknya.

"Maafin Abang, Dek," lirihnya. Ia menatap layar ponselnya yang menampilkan foto dua anak lelaki dengan senyum lebar. Hafsa mengusap layar ponselnya sambil tersenyum tipis, mengenang momen-momen indah bersama Zean.

(Lock screen Hafsa)

Foto itu diambil saat Zean merengek ingin ikut Hafsa ke basecamp

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Foto itu diambil saat Zean merengek ingin ikut Hafsa ke basecamp. Padahal Jendral sudah melarang, tetapi seperti biasa, apa pun yang Zean inginkan harus dituruti.

Hafsa masih ingat betul bagaimana anak itu merengek, memintanya berfoto sambil tersenyum lebar. Kalau Zean sih, itu mudah. Tapi ini Hafsa—semua anggota basecamp tahu betapa datarnya ekspresi Hafsa saat berkumpul. Namun, semuanya berubah ketika Zean memintanya berfoto bersama. Para anggota basecamp tercengang melihat ketua mereka tersenyum begitu lebar. "Mungkin lalat bisa masuk ke mulutnya," pikir mereka saat itu.

Hafsa menghela napas panjang, bangkit dari kursinya, lalu keluar dari kamar menuju kamar adiknya.

Ceklek.

Hafsa mengerutkan kening melihat kamar Zean masih terang. Dia tahu betul adiknya tak mungkin tidur dengan lampu menyala seperti ini. Langkahnya mendekat ke arah sosok yang terbungkus selimut. Ada yang aneh. Selimut itu bergerak, dan terdengar suara isakan.

Sreet.

"Adek?"

Tidak ada jawaban, hanya isakan pelan yang terdengar.

"Adek..." Hafsa memanggil lembut, lalu menarik selimut yang menutupi tubuh Zean, Hafsa meringis melihat mata adiknya yang bengkak. Sudah jelas anak itu menangis terlalu lama.

"Maafin Abang, Dek," lirih Hafsa, memeluk tubuh Zean yang lebih besar darinya. Ia mengecup puncak kepala adiknya, sambil terus menggumamkan permintaan maaf.

Hafsa menyesal. Dia seharusnya bisa menahan diri, tidak lepas kendali seperti tadi. Tapi dia juga manusia biasa.

"Abang... j-jangan marah," lirih Zean, suaranya serak.

"Gak! Abang gak marah, Dek. Jangan takut sama Abang. Jangan takut!" Hafsa mempererat pelukannya, tapi tangannya sedikit gemetar. Panik attack-nya mulai kambuh.

"Aku gak takut sama Abang! Tapi Abang jangan nangis..." Zean  mencoba menenangkan kakaknya, meski suaranya sendiri terdengar putus-putus.

"J-jangan takut... A-abang minta maaf... M-ma..."

"Abang!!" pekik Zean. Tubuh Hafsa tiba-tiba melemah di pelukannya. Panik, Zean menepuk-nepuk pipi kakaknya, berharap Hafsa segera sadar, tapi usahanya sia-sia.

"A-abang... b-bangun! Hngg... a-akh..." Zean meremas dadanya saat rasa sakit kembali menyerang. Ia menggeleng, berusaha bertahan. Kakaknya butuh pertolongan.

"Sshh... s-sa-sakit... hhh... m-mas Jen... Ka Rey... t-tolong..."

Pelukannya pada Hafsa terlepas. Naufal berusaha turun dari kasur namun nyeri di dadanya semakin menyerang membuatnya meringkuk di lantai, tubuhnya gemetar hebat. Ia menangis, merasa tidak berdaya membantu Hafsa sementara dirinya sendiri juga kesakitan.

"Abang... m-maaf..."

"Ka- Ka Zean!!" Teriakan itu adalah suara terakhir yang didengar Zean sebelum semuanya menjadi gelap.

-----

Matanya terbuka perlahan. Cahaya lampu terasa begitu terang, membuatnya harus mengerjap beberapa kali. Bau obat yang khas segera tercium. Ia tahu di mana dirinya berada,rumah sakit.

Pandangan Zean mengedar ke seluruh ruangan, mencari seseorang. Bibir pucat nya tersenyum kecil ketika melihat dua sosok tertidur di sofa, berpelukan.

"Dasar! Hobinya berantem, tapi kalau tidur malah pelukan," gumamnya sambil terkekeh pelan.

Ceklek.

Pintu terbuka, dan seorang dokter tampan masuk dengan senyum ramah.

"Ka Rey!" seru Zean pelan.

"Adek, Kakak sudah bangun? Ada yang sakit?" tanya Rey.

"Gak, Kak. Abang gimana?" Zean ingat kejadian malam sebelumnya, saat Hafsa pingsan karena panik attack.

"Abang udah baikan, bahkan udah bisa kayang di rumah sakit," canda Rey.

Zean tertawa kecil. Kakaknya ini memang selalu punya cara untuk bisa membuatnya tertawa.

Pintu kembali terbuka. Hafsa muncul, dibantu Jendral.

"Abang..."

"Adek, maaf," ucap Hafsa dengan suara lirih.

"Udah, Bang. Jangan nangis lagi," balas Zean sambil mengusap pipi kakaknya. Bagaimana mungkin dia bisa marah pada Hafsa?

"Apa ini? Pelukan-pelukan? Aldi juga mau!" sahut seorang bocah tinggi yang baru terbangun. Meski masih setengah sadar, dia langsung bergabung.

Tak lama kemudian, Leo yang masih menggaruk-garuk kepala dan mengelap ilernya ikut bergabung.

"Kau bau jigong, Le!" protes Aldi.

"Mulai lagi..." batin Jendral sambil memutar matanya malas.
***

Bersambung...

Jarang update karena sibuk 😭

Thanks yg udah mampir

Thanks yg udah mampir

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Four Brothers (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang