Risau.
Aku selalu tak nyaman ketika berada di toko buku, terutama ketika berada di antara rak-rak buku fiksi yang tak sedikit dan hampir selalu penuh itu. Aku tak bisa berhenti melihat-lihat, dan selalu bertanya-tanya. Yang ini saja? Atau yang ini?
Kali ini, setelah cukup lama berpikir, aku jatuh pada dua buku, yang sayang sekali harus kupilih salah satu.
"Sudah?"
Aku menoleh pada Cora, seorang gadis berambut hitam panjang dan berkacamata. Dia baru kembali dari mengelilingi rak-rak buku non-fiksi, dan sudah mendapatkan satu buku. Aku melihat buku itu di tangannya, berjudul Retorica karya Aristoteles.
"Belum. Bisa pilihkan untukku?" Aku menunjukkan dua buku di tanganku. "Ini ... atau ini? The Amazonia atau The Stupid Witches?"
Cora menatap datar. "Kenapa kau bertanya padaku? Aku tidak akan membeli buku seperti itu."
"Ayolah, bantu aku."
Cora menghela napas ringan. "Jika harus memilih ... aku akan pilih The Amazonia. Aku tidak suka fiksi, tapi setidaknya ada sains di sana. Cerita tentang penyihir terlalu tak masuk akal untukku."
"Baiklah."
Aku berakhir memilih The Stupid Witches. Bukan bermaksud iseng, tapi sebenarnya aku sudah punya jawaban sendiri atas pertanyaanku. Aku hanya ingin diyakinkan. Lagi pula, dari segi judul, buku ini sepertinya akan lebih cocok untukku.
Setelah membayar, aku dan Cora segera keluar dari toko buku di dalam mall itu. Kami menuju halte, menaiki bus, duduk bersebelahan, kemudian bus kembali melaju.
"Apa kau akan ke taman itu lagi hari ini?" tanya Cora.
"Ehm."
"Hsss, apa kau tidak bosan?"
"Hehe, tidak."
Cora berdecak dan menggelengkan kepala beberapa kali. "Ck, ck. Bukan main. Ah, apa kau sudah mendapat surel pengumuman?"
"Hm?" Aku terdiam. "Oh, belum."
"Segera beri tahu aku ketika kau sudah mendapatkannya."
"Tentu."
Surel pengumuman yang dimaksud Cora adalah surel dari universitas di mana aku dan dia mendaftar untuk berkuliah. Dia sudah mendapatkan surelnya dan dinyatakan lolos, tapi tidak denganku.
Tak lama kemudian, bus berhenti di halte tujuanku.
"Baiklah, aku turun. Daaah!" ucapku pada Cora.
"Daaah!"
Aku pun turun dari bus, lalu bus kembali melaju. Aku berjalan dengan tenang, menyusuri trotoar yang akan membawaku ke sebuah taman tepi kota. Tidak jauh, hanya beberapa meter dari halte.
Begitu sampai di taman, aku berhenti sebentar. Sama seperti hari-hari yang sudah berlalu, taman luas dan indah ini masih saja sepi. Mungkin karena berada di pinggiran kota pinggiran. Selain itu, jumlah penduduk di sini memang tidak banyak.
Jika dilihat dari depan, ada jajaran pohon tinggi jauh di belakang sana. Orang-orang hanya tahu bahwa itu adalah bibir hutan. Mereka tidak tahu, ada hal lain di baliknya.
Aku kembali melangkahkan kaki, menuju jajaran pohon di belakang, menelusup, berjalan sebentar, lalu, berhenti.
Sudah sampai.
Ini memang hutan, tapi dengan sebuah danau di tengahnya. Ada satu bench bercat putih di tepi danau, juga satu pohon yang kokoh dengan seekor burung berukuran besar bertengger di dahannya, burung berbulu putih, yang kerap kali menutup matanya menghadap danau.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jake & The Lake
Teen FictionPerkenalkan, namaku Emmaline Schmidt. Sejak tiga tahun hingga sepuluh hari yang lalu, Jake adalah seekor burung hantu putih. Namun, sekarang dia berubah menjadi seorang manusia. Dia lemah, sedikit tampan, rupawan, menawan- maksudku, ya, dia pria yan...