Ramai.
Suasana kota tidak pernah sepi. Banyak orang bepergian, berjualan, atau melakukan apa pun itu. Dalam keadaan seperti inilah aku merasa Tuhan sangat luar biasa. Manusia sebanyak ini memiliki kehidupan sendiri-sendiri?
Aku duduk di kursi belakang mobil, melihat ke luar jendela yang tertutup, memandang keriuhan tanpa merasa bising. Hari ini, aku akan bertemu dengan Cora.
"Sudah sampai," kata Tuan Baker yang duduk di kursi kemudi, sebelum keluar dan membukakan pintu mobil untukku.
Aku pun segera keluar. "Terima kasih, Tuan Baker. Setelah memarkir mobil, ikutlah masuk juga."
"Baik, Nona."
Aku akhirnya turun dari mobil, memandangi restoran Italia yang sudah beberapa kali kami kunjungi, baru kemudian mulai berjalan. Aku akan memberi tahu Cora, dan akan menerima apa pun yang akan dia lakukan atau katakan kepadaku.
"Emma! Emmaline!" seru Cora dari salah satu meja sambil melambaikan tangan.
Melihat itu, aku sempat menelan ludah, sebelum akhirnya tersenyum dan mendekat. Begitu sampai, aku pun duduk di hadapannya.
"Hai-hai," sapaku.
"Kau ke mana saja? Kenapa tidak membalas pesanku?" Cora menagih penjelasan kepergianku beberapa hari ini.
Aku terdiam, lalu menghela napas. "Sebenarnya aku menyembunyikan sesuatu darimu."
"Apa itu?"
Di tengah itu, seorang pelayan menghampiri kami dan membawa buku menu. "Permisi, apakah kalian akan memesan?"
"Ah, iya," balas Cora.
Kami pun memilih menu terlebih dulu. Kami memesan pasta bolognise, pizza porchini, cappucino, dan latte. Setelah memesan, pelayan itu pun pergi.
"Jadi, apa itu?" tanya Cora, lagi.
Aku memperbaiki posisi duduk, menatap kedua mata Cora yang juga menatapku, lalu menghela napas dalam. "Aku tidak lolos."
Hening.
"Oh."
"Oh?" Aku mengernyit.
"Lalu, kau tidak akan berkuliah?"
"Tidak, aku tetap akan berkuliah, tapi itu di kampus luar kota. Ayah dan ibu mendaftarkanku di sana dan ... sudah diterima juga." Aku agak menunduk. "Aku sudah mencoba semua kampus di sini, tapi tidak ada yang lolos."
Cora mengangguk-angguk. "Apa pendaftarannya masih dibuka?"
"Sepertinya masih. Aku minta maaf, Cora. Aku tidak bermaksud untuk-"
"Baiklah, aku akan mendaftar di sana."
"Ha?"
Apa katanya tadi?
"Aku akan berkuliah denganmu di sana," ulangnya, memperjelas.
Aku segera menggeleng. "Tidak, tidak boleh. Kau sudah bekerja keras untuk diterima di universitas terbaik di sini. Bagaimana dengan ayah dan ibumu? Tidak, Cora. Jangan."
Cora menghela napas. "Mereka akan mendukungku. Lagi pula aku tidak mau punya teman lain. Berteman adalah hal yang melelahkan."
"Tapi-"
"Psst, sudahlah."
"Aku benar-benar minta maaf."
"Ya, ya. Sudah cukup."
Tak lama kemudian, makanan pesanan kami datang. Kami pun mulai makan.
"Jadi, apa yang membuatmu pada akhirnya memberitahuku?" tanya Cora sebelum melahap pasta yang sudah tergulung di garpunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jake & The Lake
Teen FictionPerkenalkan, namaku Emmaline Schmidt. Sejak tiga tahun hingga sepuluh hari yang lalu, Jake adalah seekor burung hantu putih. Namun, sekarang dia berubah menjadi seorang manusia. Dia lemah, sedikit tampan, rupawan, menawan- maksudku, ya, dia pria yan...