Chapter 2 : Camp

13 8 2
                                    

Terpana.

Sejak tadi hingga hari benar-benar gelap, aku hanya merasa terpana dan terhenyak akan kenyataan yang baru ini aku dengar. Burung itu berubah menjadi seorang pria tampan nan rupawan, dan itu nyata.

Malam ini, aku memilih untuk berkemah di danau, menemani pria yang sebenarnya belum menceritakan cukup banyak hal. Dia bahkan belum memberi tahu namanya.

"Jadi selama ini kau hanya makan buah dariku?" tanyaku pada orang yang sedang memakan mi instan cup di sampingku, di depan tenda, dan di belakang api unggun.

Pria itu menoleh. "Ya."

"Tapi ... bagaimana bisa? Aku hanya membawa satu setiap hari. Apa tidak kurang?" Pria itu hanya menggeleng karena mulutnya penuh. "Aneh. Apa kau tidak mencari makan sendiri?"

Pria dengan kulit seputih susu itu menelan mi di dalam mulutnya, lalu mengedarkan pandangan ke sekitar kami. "Pohon-pohon di sini tidak berbuah."

"Lalu? Kau tidak mencari di tempat lain? Bagaimana jika kau kelaparan dan mati?" sergahku.

"Itu tidak akan terjadi," balasnya tanpa menoleh lagi. "Aku tidak akan mati karena lapar atau tidak makan. Aku juga tidak akan meninggalkan tempat ini."

"Ha?" Aku sedikit terkekeh. "Kenapa begitu? Kenapa kau tidak bisa mati?"

Pria itu meletakkan cup di bawah, lalu menghadapku dengan ekspresi datar. "Aku hanya bilang tidak akan mati kelaparan, bukan berarti tidak bisa mati. Kami berbeda dari kalian. Bisa dibilang abadi, tapi tetap bisa dibunuh."

Aku melongo. "Lalu bagaimana bisa kau ada di sini?"

Pria itu tak langsung menjawab. Dia memandangi permukaan danau yang memantulkan lanskap langit malam. "Aku sedang dihukum di tempatku berasal."

"Kau berasal dari sini? Eirape?" Pria itu mengangguk. "Ya ... kau memang bisa bahasa kami. Tapi, kenapa kau dihukum? Ah, apa kau tidak bisa menceritakan dari awal saja?"

Dia melirik sebentar lalu menghela napas. "Itu akan panjang."

"Maka buat sesingkat mungkin."

Hening.

"Sejak dulu, aku percaya dengan cerita-cerita mitologi, kekuatan sihir, dan hal-hal semacam itu. Aku percaya dengan keabadian dan ... teori bahwa, Bumi memiliki sisi-sisi lain yang tidak dipercaya oleh sains."

"Lalu?"

"Lalu suatu hari, aku mendapat pembuktian bahwa semua itu benar-benar ada."

"Benarkah? Pembuktian seperti apa?"

Dia melirik. "Ayahku."

"Huh?"

"Ibuku manusia biasa, tapi ayahku bagian dari Orocco. Setelah kematian ibu, aku pergi ke tempat para Orocco. Aku tinggal di sana, berinteraksi, dan menjadi bagian dari mereka. Namun setelah lama di sana, aku tetap tidak bisa diterima sepenuhnya. Ada yang menumpahkan semua kesalahannya padaku, dan hasil rapat menyatakan aku dihukum seperti yang kautahu."

Aku menyimak, tapi hanya sekilas, karena fokusku harus terbagi untuk hal lain. Aku tiba-tiba teringat dengan kejadian di masa lalu tentang pengait bra. Oh, tidak. Apa dia melihatnya?

"Kau baik-baik saja?"

"Ah, ya." Aku sedikit meringis. "Tapi apa itu Orocco?"

Dia kembali ke posisinya menghadap danau yang hanya berjarak tiga meter dari kami. "Orocco ... manusia abadi berperadaban maju yang tinggal di suatu tempat."

Aku terdiam. Apa katanya tadi?

"Atlantis?"

Dia terkekeh. "Bukan."

Jake & The LakeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang