Prologue

212 27 16
                                    

Seorang pemuda yang bernama Raja Avindio Widjaya ini mungkin memang ditakdirkan untuk lahir sebagai seseorang yang sempurna.

Otak yang brilian, mengusung ide-ide kritis dan pemikiran rumit yang luar biasa susah untuk dimengerti.

Paras yang tampan, bahkan seorang sahabatnya--Seno, mengaku bakal berubah gay untuk berpacaran dengannya. Pokoknya, dengan tampang seperti ini, Dio pasti bisa jadi pemenang ajang pencarian model atau audisi untuk anggota boyband Korea. Ya, semacamnya.

Fisik yang kuat. Yang membuatnya dapat diangkat sebagai salah satu anggota paling dibanggakan klub basket. Yang membuatnya dapat menjuarai lomba renang tingkat provinsi.

Sayangnya, di dunia ini memang tidak ada yang sempurna.

Sedari kecil, Dio dibesarkan didalam 'istana' gagah Ayahnya--yang malah menurutnya seperti kurungan raksasa tingkat mewah. Bertumbuh dengan cara yang umumnya beda dengan anak-anak lainlah yang membuatnya berbeda. Dingin, cuek, hampir tak tersentuh. Bukan, bukan tak tersentuh. Tak bisa disentuh.

Ia bahkan tidak tahu Ibunya ada dimana. Tidak, dia bahkan tidak peduli. Toh perempuan itu saja hampir (atau mungkin, malah) tidak pernah memiliki peran penting di hidupnya, untuk apa Dio memikirkannya?

Sedangkan, seorang Ratu Lentera Serendia hanyalah gadis SMA rata-rata.

Tidak pintar, tapi tidak bodoh.

Keluarganya mungkin jauh lebih dari sekadar 'cukup berada', tapi Ibunya selalu mengajarkan Tera untuk menjadi gadis yang bersahaja.

Ia tinggal dengan ketiga saudaranya disebuah apartemen di bilangan Sudirman sementara kedua orangtua Tera tinggal jauh di Australia sana.

Dibesarkan di keluarga yang hangat dan sejahtera membuat Tera menjadi seorang anak yang berperilaku baik, toh tapi ia tak bisa mengusir sifat egoisme dan manjanya itu.

Perhatian Tera juga gampang teralih, dan mungkin baru kali ini Tera belajar untuk memfokuskan perhatiannya pada satu objek saja.

-

"Ya, ayo Tera! Lo pasti bisa. Bisa. Anggep aja lo ini pemenang balap sepeda atau apa!" Tera mengayuh sepedanya dengan kencang, peluh menetes dari pelipisnya secara perlahan.

Wajahnya memerah, dan badannya berkeringat. Sekarang baru jam 6.15, tapi ia harus sampai di sekolah setidaknya paling lambat lima menit untuk menyalin PR Fisika temannya. Itu toh, kalau teman-temannya berhasil dibujuk.

"C'mon Ter, you can do this!"

Tera mengayuh sepedanya lebih kencang, lalu menerobos gerbang SMA-nya yang terbuka lebar. Dengan cengiran yang terpaut di wajahnya, ia melompat dari sadel sepeda dan melempar sepeda itu asal. "Pak Zul, tolong jagain sepeda saya ya!" teriak Tera asal.

Ia buru-buru berlari menuju kelasnya yang untung masih berada di lantai satu. Tampak beberapa siswa teladan sedang melakukan kegiatannya masing-masing didalam sana, membuat cengiran Tera makin lebar.

Ia mempercepat langkahnya tanpa memerdulikan apakah ada objek yang menghalanginya, dan saat itulah terjadi sesuatu yang membuat Tera terus gila sendiri memikirkannya.

BRUK!

Sebuah hantaman diterima Tera begitu ia menabrak sebuah benda, membuat benda itu melangkah mundur dan Tera terjerembap kebelakang.

Astaga. Itu bukan benda. Itu manusia. Ralat. Seorang lelaki. Lelaki yang sangat tampan. AAA!

Tera buru-buru berdiri sambil menepuk canggung bagian belakang roknya, dan menatap dalam kedua iris lelaki itu. Kayaknya, ia nggak pernah melihat cowok ini sebelumnya. Siapa dia? Anak baru, atau apa?

"Hih." dengan sebuah dengusan tajam, lelaki itu berjalan dengan cuek melewati gadis yang terus memerhatikannya itu. Ia lalu mengangkat tangan sebelum mengelus rambutnya acak, kemudian berjalan cepat meninggalkan area koridor.

Oh mahkluk Tuhan... mengapa kau begitu indah? batin Tera.

-

Dio baru saja mengambil beberapa buku dan gesper dari loker, ketika ia teringat jadwal pinjaman buku perpusnya jatuh tempo hari ini. Dengan malas, ia menutup pintu loker sebelum mengunci dengan cepat.

Ia memakai gesper hitamnya dengan cekatan sebelum menjejakkan kaki ke dalam kelas. Terlihat beberapa cewek dikelasnya berkali-kali melirik ke arahnya, namun ia tak peduli. Perhaps, terbiasa.

Dio kembali keluar dari kelas begitu buku yang dipinjamnya seminggu lalu telah berada di dekapan, kemudian ia menelusuri koridor yang masih tampak lengang dan sepi.

BRUK!

Seorang gadis menabraknya dengan kecepatan tinggi, membuat gadis itu terbentur sendiri oleh dada tegap Dio. Efeknya pada Dio? Tidak ada apa-apa. Dio hanya melangkah mundur, sebelum menatap gadis itu aneh.

Gadis itu menatapnya balik.

Toh, cewek ini nggak ada beda-bedanya dengan cewek lain yang mengidolakan Dio. Setidaknya, perspektif Dio seperti itu. Lihat saja! Cewek itu tengah menatap matanya dengan rahang yang terbuka lebar, jatuh.

"Hih."

Ia mendengus.

Dasar cewek aneh.

-

haluuu. cerita pertama gue nih hehe maaf ya kalo ga seru atau gimana! kritik atau saran diterima kok, jgn lupa vomments ya kalu suka! mwaaa<3

zara

PhilophobiaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang