"Pagi, Dio."
Dio hanya menundukkan kepalanya sedikit menuju pria tua itu. Lantas, pria tua itu tersenyum meremehkan. "Kamu nggak pernah berubah."
"Untuk apa saya berubah? Tidak ada efek yang akan terjadi dengan perubahan saya."
"Kamu nggak ngerti, Dio. Semua orang butuh sebuah perubahan di hidupnya. Kamu pikir, kamu dapat terus bertahan hidup seperti ini?"
"Itu masalah saya. Untuk apa Anda mengurusi hidup saya?"
Dio dengan sengaja membanting sendok yang sedari tadi dipegangnya dengan keras, menunjukkan ketegasan yang dimilikinya. Ia menatap remeh sang pria tua yang tadi melakukan hal sama kepadanya, kemudian melangkahkan kakinya dengan tenang ke arah yang berlawanan.
-
"Pagi, teman-teman! Kira telah tiba!"
Sebuah suara yang memekakkan telinga sukses membuat Tera dan Kea yang sedang asik bergosip menolehkan kepalanya.
"Buset Ke, makin nggak bener aja sepupu lo."
"Tau ih, pusing gue. Genit banget lagi,"
"Kayak lo gitu, kan?"
"Tai." ucap Kea pendek, sebelum gadis itu kembali memfokuskan pandangannya ke arah majalah remaja yang tengah terbuka diatas meja Tera.
Tera sendiri masih sibuk memainkan ponselnya, cekikikkan sendiri begitu membuka akun sosmednya. Ia tahu selera humornya rendah sekali, tapi ia tidak tahu kalau ia bahkan bisa tertawa dengan hanya melihat foto-foto receh di akun humor yang sekarang tengah menjamur.
Cewek berambut panjang itu kembali mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kelasnya. Seperti yang dapat ditebaknya, anak-anak lelaki tengah berkumpul di meja Julio--entah apa yang sedang dilihat mereka di laptop Julio, Kira kini sedang mengobrol cantik bersama para satelit a.k.a geng sosialita Kira--kau pasti tahu mengapa mereka disebut satelit, dan beberapa anak putri lainnya sedang sibuk melakukan kegiatannya masing-masing.
Tera menggelengkan kepalanya beberapa kali melihat rutinitas pagi di kelasnya yang tak pernah berubah sebelum kembali memfokuskan pandangan ke ponsel layar sentuh miliknya.
BRUK!
Ih gila, diapain itu anak orang?
Tera, dan Kea, juga beberapa murid lainnya yang memiliki tempat duduk di area belakang kelas dengan cepat berdiri untuk melihat apa yang sedang terjadi.
Oalah. Anak MOS lagi dikerjain, toh.
"Permisi, Kakak-Kakak yang saya cintai. Kedatangan saya, seorang Ronaldo dari kelompok Terong, bukanlah tanpa sebab. Saya ingin meminta izin restu Kakak-Kakak semua bagi saya untuk mendapatkan tanda tangan ketua OSIS atau Kak Dean. Untuk memberikan izin restu, Kakak-Kakak boleh mengajukan syarat dalam bentuk apa saja kepada saya."
Tera tertawa. Murid di angkatannya nggak ada yang pernah dikerjai hingga seperti ini. OSIS angkatannya memang luar biasa.
"Nari striptis aja!"
"Pake lipstik si Kira!"
"Tembak satu cewek di kelas ini!"
"Karena gue ketua kelas gue yang milih." Si Songong Rano, langsung berdiri dan sok-sokan merapikan seragamnya. "Lo bisa dapetin tanda tangan si Dean kalo lo lakuin semuanya!"
Tanpa dugaan, Si Anak Baru malah tersenyum. "Baik, kak." Ujarnya menyanggupi.
Buset, anak ini kesambet apaan?
Si Ronaldo ini dengan cepat melakukan tantangan pertama sembari melakukan tantangan yang kedua, dan sampailah mereka semua disaat yang menegangkan.
"Hm, nembak cewek yah," gumam Si Ronaldo keras. Sejujurnya, tampang Si Ronaldo ini nggak buruk-buruk amat, malah jauh banget dari kata buruk. Tapi ya apa kata dunia kalau lo ditembak sama anak kelas sepuluh cuma gara-gara tantangan nggak benar seorang ketua kelas?
"Aku milih kakak yang disitu! Kak Cantik!"
Tera baru saja ingin tertawa karena ia mengira bahwa telunjuk Si Ronaldo itu mengarah kepada Kea, namun begitu Kea menyeringai ia baru menyadari bahwa yang dimaksud Kak Cantik oleh Si Ronaldo ini adalah dirinya.
Tai, apaan nih anak!
"Halo, Kakak. Saya nggak pernah nembak cewek sebenernya, tapi nggak apa-apa. Kalau misalkankakak nerima saya dan pengen pacaran beneran ama saya, bilang ke saya aja yah he he. Jadi, Kak Cantik mau jadi pacar adek, nggak?"
Buset.
Apaan itu.
'Kak Cantik mau jadi pacar adek, nggak?'
Kayaknya satu lagi orang perlu didaftarkan Tera di masjid untuk di ruqiyah.
-
"Eh lo tau nggak? Tadi Tera abis ditembak sama anak kelas sepuluh! Hahah gokil abis. Gue denger dari Rano, sih."
"Anjir. Terus si Tera bilang apa?"
"Gatau gue nggak denger selanjutnya. Si Rano sih katanya ngancem kalau anak kelas sepuluh itu ditolak sama Tera, dia nggak ngebolehin anak kelas sepuluh itu dapet tanda tangan Dean."
Dio menyendokkan jagung manis yang tadi ia pesan. Dia heran kenapa dua temannya ini suka sekali menggosip. Itu kerjaan cewek, kan? Ya tentu saja.
Toh tak ada yang ia dapatkan dari gosip yang tadi baru saja Xavi lontarkan. Tapi keren juga, anak kelas sepuluh itu berani menembak seorang cewek kelas sebelas.
Eh bentar.
Tera itu, kalo nggak salah, cewek yang sempat ditabraknya beberapa minggu lalu, kan?
-
{a/n} OKE SEBELUMNYA GUE MO MINTA MAAF DULU. Jadi beberapa hari setelah gue publish prologue gue udah ngungsi ke rumah bokap dan langsung mudik lebaran dan yang ngeselin itu gaada wifi sedangkan gue pake ipod yang butuh wifi selalu zzz curcol sih. DAN CHAPTER INI NGEBOSENIN BANGET (+PENDEK) NGGA SIH? sori banget ya:( ini bikinnya buru-buru banget sumpah cuma sejam kali soalnya takut kalian kelamaan nungguin
(( berasa ada yang nungguin cerita gue aja ))
YA INTINYA GUE MINTA MAAF.
Janji deh update selanjutnya nggak lama. Sumpah.
Dan yh see u soon!<3
- zara
KAMU SEDANG MEMBACA
Philophobia
Teen FictionSeumur-umur, Dio jarang (mungkin, tidak pernah) merasa tertarik dengan gadis-gadis lawan jenisnya. Tidak, bukan karena dia homo atau apa. Rasanya, ia takut untuk jatuh cinta. Takut akan segala konsekuensi dan kemungkinan yang harus dihadapinya apabi...