"Bunda, Supra sendirian."
~~~~
Sepasang iris merah ruby itu menjadi satu-satunya yang Supra idamkan dalam hidupnya yang pilu ini. Tatapannya fokus pada pintu kamar sang bunda yang terkunci rapat. Di sanalah ayahnya berada. Apa Ayah tidak apa-apa? Ayah sepertinya terluka.
Mayoritas orang yang mengenalnya berpikir Supra membenci Voltra atau dalam kasus ini, Halilintar. Ke mana pun dua batu itu pergi, kapan pun mereka bersua, bukan sapaan manis penuh rindu yang diajukan, melainkan cacian. Yah, Supra tidak memiliki hubungan yang baik dengan Halilintar, tetapi tidak seburuk itu sampai disebut benci. Semua anak-anak Halilintar seperti itu. Mungkin ... mungkin hanya Sori seorang yang mampu membuat Ayah meluangkan waktu sedikit saja lebih lama di rumah. Tidak lama juga, sekedar memberi mereka satu atau dua kalimat, lalu pergi. Supra tahu di balik senyum linglung Sori, anak itu terluka.
"Ori ...." Bisikan lirih teredam sesuatu terdengar dari suatu tempat. Supra memberi pintu kamar Bunda tatapan terakhir, sebelum berlalu mengikuti arah suara tersebut.
Di sana, duduk memeluk lutut di sebelah pintu kamar Paman Ice adalah FrostFire, kakak sulung Elemental Fusion. Anak bertema merah-biru hasil kombinasi sempurna elemen api dan air itu terlihat menakutkan dengan ekspresi kosong. Supra meragu sejenak. Ia ingin menggapai sang kakak, tetapi ia khawatir, kemampuan komunikasinya yang menyerempet nol ini mungkin malah melukai anak itu.
"Ori ... hiks ...." Tangis. Seseorang menangis. Supra menduga itu Paman Blaze. Jadi, Paman Blaze sedang menghabiskan waktu bersama Paman Ice. Tapi ... kenapa suasananya begitu sedih?
"Blaze, hei ...." Oh, itu suara Paman Ice. Supra menyandar ke dinding. Tubuhnya merosot jatuh terduduk di sebelah FrostFire yang tidak bereaksi pada kedatangannya. Supra berpura-pura air yang menetes di lantai itu keringat bukan air mata.
"Ice, kita nggak bisa gini terus. Aku tahu Ori masih ada di suatu tempat. Kita harus mencari Ori lagi! Aku tahu dia masih ada! Aku bisa merasakannya!" Supra bisa membayangkan air mata bercucuran di wajah garang sang pengendali api. Ia tahu. Sangat tahu.
"Blaze ...." Paman Ice terdengar menghela napas. Supra tidak begitu yakin, tapi jika suara teredam itu pertanda sesuatu, mungkin Paman Blaze sekarang di pelukan Paman Ice. Sama seperti biasanya. Tapi bukan gombalan maut seperti yang Supra bayangkan yang keluar dari mulut Paman Ice. Bukan, itu jelas tidak terdengar seperti gombalan receh menjijikan yang biasanya. "Aku tahu, Kak. Kita semua tahu. Kita hanya ... urgh ... Kita hanya belum menemukan petunjuk. Ya, itu saja!"
"Oh." Ia segera membekap mulutnya sendiri, takut suaranya terdengar ke balik dinding. Paman Ice ... Paman Ice yang suka sekali menggoda Bunda dan paman yang lain ... Orang itu ...
"Bapak nangis." Supra bersumpah tidak menyukai ekspresi campur aduk di wajah Frosty.
Gerakan terekam sudut matanya. Supra yang penasaran menoleh. Ia menatap hampa pada sang kakak sulung yang mengapit kepalanya dengan kedua kaki. Dua tangan berada di kepala seolah mencoba membungkam isak tangis orang tuanya. Supra meremat ujung jaketnya sangat kuat sampai rasa-rasanya akan menimbulkan bekas nanti.
"Ori ... Aku juga kangen Ori ...." Supra tidak membalas. FrostFire tidak membutuhkan balasan.
"Kalian." Suara bisikan itu mengejutkan keduanya. Supra melihat kipas menutup wajah Sopan yang tersenyum. Sopan melambaikan tangannya yang bebas pada mereka. "Ayo ke tempat lain. Jangan mengganggu waktu bersama Pamanda Blaze dan Ice. Itu tidak sopan," katanya, lembut dan syahdu seperti biasa.
KAMU SEDANG MEMBACA
To Original: Fusion
Fanfiction[I] Dentuman hasil bentrokan antara kekuatan para elemental menjadi mimpi buruk bagi Supra setiap malamnya. Jeritan rasa sakit, keputus-asaan elemental dari seluruh penjuru dunia, hingga teriakan tujuh elemental utama Boboiboy menghantui setia...