Sepulang sekolah, aku istirahat sebentar sebelum pergi jogging sore. Kegiatan ini sudah kulakukan sejak aku berani bepergian sendiri tanpa ditemani siapapun. Aku tidak betah dirumah dan sebisa mungkin menyibukkan diriku dengan kegiatan apa saja yang bermanfaat, salah satunya jogging. Kadang aku juga menyempatkan mampir ke makam Mami yang jaraknya tidak terlalu jauh dari komplek tempat tinggalku.
"Mendung lho, Kak. Besok saja pergi larinya, ya?" Mbak Siti-ART yang bekerja tepat sejak Diego lahir-menghampiriku yang tengah memakai sepatu diruang tengah dan memberiku sebotol air putih dingin sesuai permintaanku.
"Nggak apa-apa. Nanti kalau hujan tinggal pesan taxi online, Mbak."
"Mau Mbak temani? Mbak lagi nggak ada kerjaan, Kak. Mumpung Ibu sama Diego lagi nggak dirumah juga."
"Diego kemana?"
"Ke rumah sakit ikut Ibu jenguk Oma."
Oma yang dimaksud adalah Oma Risma, orangtua Tante Shae. Aku tidak bertanya lagi. Tidak peduli. Mereka bukan keluargaku. Aku tidak perlu peduli atau menaruh perhatian pada mereka.
"Mbak jaga rumah aja. Aku pergi ya."
Aku melangkah keluar rumah. Benar kata Mbak Siti, cuaca mendung sekali. Aku tidak yakin bisa menyelesaikan track joggingku seperti biasa. Bahkan feelingku hujan akan turun sebelum aku melewati gerbang komplek. Tapi ternyata tidak. Hujan tidak turun hingga aku sampai dimakam Mami. Baru saja aku duduk disebelah makam Mami, air mataku sudah turun deras.
"Besok malam, temanku ulangtahun Mi.." kataku lirik sambil menghapus air mata dipipi. "Aku bingung mau beliin kado apa. Andai Mami masih ada disini, pasti Mami bantu aku pilihin kado untuk temanku ya.."
"Tadi disekolah, ada cowok yang minta nomer telfonku, Mi. Karena aku nggak mau dianggap cewek sombong dan sok cantik, jadi aku kasih aja."
"Aku minta maaf ya, Mi.."
Air kian deras keluar dari kedua mataku, membuat pandanganku kabur. Bertepatan dengan itu kurasakan tetesan air mengenai kepalaku. Tentu asalnya bukan dari mataku. Bagaimana caranya? Itu adalah air dari atas langit. Gerimis mulai berdatangan, menemani kesedihanku sore ini. Aku tidak beranjak sedikitpun, biarlah hujan membasahi tubuhku. Biarlah air mataku lebur bersama hujan sore ini. Agar tidak ada mahkluk hidup yang melihatku menangis.
"Aku mau ikut Mami aja...." bisikku lirih.
Tiba-tiba hujan berhenti. Tapi.. ada yang aneh. Rintikkan air masih terlihat dihadapanku, mengenai rumput-rumput hijau diatas gundukkan makam Mami. Tapi aku tidak merasakannya jatuh ditubuhku. Aku mendongak dan mendapati sebuah payung menutupi pandanganku. Disana ada Mars yang memegang payung dengan tatapan datar. Dia masih memakai seragam dengan balutan jaket kulit yang sekarang sudah basah karena terkena air hujan.
"Apa?" tanyaku sewot. Mengapa dia selalu mengangguku diwaktu yang tidak tepat?
"Hujan."
Seriously? "Terus?"
"Pulang."
"Lo aja." Sahutku malas. "Lagian ngapain sih lo disini?"
"Tadi lewat terus liat lo disini. Yuk pulang."
"Lo aja. Gue masih mau disini."
Bukannya pulang, dia malah duduk disampingku sambil tetap melindungi tubuhku dengan payung yang dibawa. Entah payung siapa. Yang jelas pasti bukan miliknya karena payung itu berwarna pink bermotif Hello Kitty.
KAMU SEDANG MEMBACA
Retak
Teen FictionNamaku Queenie. Umurku 16 tahun. Orangtuaku bercerai saat umurku 10 tahun dan Mamiku menenggelamkan dirinya hingga tewas 1 tahun kemudian. Kalau kamu berpikir hidupku menyedihkan.. Well, that's true. Sama seperti judul buku ini, hidupku juga RETAK...