2022
"Pos! Permisi! POS!" Suara seorang pengantar surat semakin meninggi sambil membaca berulang kali alamat yang tertera pada surat yang akan diantarkan kepada penerimanya
"Permisi!" Setelah beberapa kali usahanya menunggu sang penghuni rumah yang bangunannya terbilang besar dibandingkan dengan sekitarnya, keluar dari balik pintu seorang lelaki muda dengan celana pendek santai dan kaos partai, James.
"Mau antar surat atas nama Jonathan Nelson Bagaskara, Mas." ujar kurir tersebut.
"Buat siapa mas?" James mengerutkan dahinya mencoba memastikan nama yang baru saja ia dengar.
Kurir tersebut terlihat sedikit panik mengira ia salah alamat, untuk kesekian kalinya ia membaca dan menyamakan nomor rumah yang tertera di tembok depan dengan yang tertulis pada surat tersebut. "Disini tulisannya Jonathan Nelson Bagaskara sih mas. Alamatnya juga bener, rumah nomor 23 kan ini?"
"Bentar ya mas." James berbalik badan tanpa melangkah sedikitpun dari depan ruang tamu. "Bang! Jonathan Nelson Bagaskara itu siapa?!" teriak James menghadap ke dalam kontrakannya.
Tian muncul dari balik pintu kamar Jay dan hanya kepalanya saja yang tampak dari kejauhan. "Itu bang Jo."
"Oh bang Jo? Oke!" jawab James setelah mendapat kepastian bahwa surat tersebut memang benar tertuju pada salah satu penghuni kontrakan ini. "Bener disini ternyata mas," ujar James pada kurir tersebut setelah mendapat kepastian. Keduanya tertawa renyah.
"Emang yang tinggal disini nggak saling kenal ya mas?" tanya kurir tersebut sambil menunggu James membubuhi tanda tangan sebagai penerima.
"Kenal mas, cuma banyak banget yang tinggal disini dan saya nggak bisa hafalin nama panjang orang. Ini ya mas..." ujar James sambil mengembalikan kertas dan pena milik kurir tersebut.
"Kalau boleh tau, ada berada yang tinggal di sini mas?" kurir tersebut masih penasaran dengan penghuni bangunan ini."Ada berapa ya? Dua puluh tiga kayaknya mas, saya juga jarang ngitung."
"Buset banyak bener mas. Bukan bandar narkoba kan ya?"
James tersenyum menanggapi pertanyaan konyol kurir tersebut yang ia paham kalau itu hanya candaan belaka. "Kalau beneran bandar narkoba, mas mau jadi kurirnya? Lumayan loh mas duitnya!"
"Wah nggak mas, saya mau kerja yang halal saja buat anak dan istri di rumah. Ya sudah, mari mas."
"Iya mas, makasih ya." James segera menutup pintu dan kembali masuk ke dalam sambil membawa satu amplop coklat milik Jo.
Kevin menyambut kedatangan James di meja makan, hari ini kebetulan dia dan Yohan yang bertugas membuat sarapan. "Paket buat siapa James?"
"Bang Jo."
Jo tiba-tiba muncul dengan rambut basah dan hanya berkalungkan handuk serta celana hitam pendek. "Buat gue?"
James mengangguk sambil menyerahkan amplop tersebut pada Jo. Tian ikut bergabung di meja makan setelah sedari tadi berkutik di kamar Jay untuk meminjam kemeja yang akan ia kenakan menghadiri peresmian bisnis temannya nanti malam.
"James, lo udah tiga tahun tinggal disini nggak tau nama lengkapnya bang Jo?" tanya Tian heran.
James nyengir sambil melahap roti bakar yang sedikit hangus hasil karya Yohan. "Tadi pas kurirnya nyebutin nama, kayak asing banget di telinga gue bang. Ya daripada salah alamat ntar kita yang ribet makanya gue nanya kalian."
"Pantesan emak lo ngasih nama lo pendek bener ya. Takut ntar anaknya lupa sama nama sendiri," sahut Yohan sibuk dengan roti kesekian yang ia panggang menggunakan teflon dengan api besar. Kevin menghentikan sejenak kegiatannya menggoreng nasi dan dengan sigap mengatur api kompor dihadapan Yohan agar tidak semua roti hangus terbakar sehingga masih dapat dikonsumsi oleh manusia-manusia di kontrakan ini.
Di sisi lain, Jo termenung menatap isi amplop yang tampak seperti undangan pernikahan. Ia terdiam sementara teman-temannya bercengkrama.
"Apaan bang? Undangan nikah?" tanya Tian ikut penasaran dan ikut membaca apa yang membuat Jo terdiam sejak membuka amplop tadi.
"Emang umur-umur segini duit abis buat ngasih keponakan sama ngisi amplop undangan nikah temen ya bang," ujar Tian sambil menepuk pundak Jo.
Keseimbangan tubuh Jo tiba-tiba melemah, badannya terasa lemas seketika. "Eh... Eh... Loh bang Jo?!" Tian dan James dengan cepat memapah badan Jo yang memang lebih tinggi-besar dari mereka menuju kursi.
"Yohan! Air putih Yo!" teriak James kebingungan.
"A-air putih...?" gumam Yohan ikut panik melihat sekitarnya dan asal menuangkan air yang ada di mangkok dekat wastafel ke dalam gelas belimbing hadiah dari pembelian sabun cuci piring beberapa waktu lalu.
Yohan sedikit mempercepat langkahnya untuk segera memberikannya kepada Jo yang sudah terduduk lemas di kursi ruang makan.
Sudah masuk air tersebut ke dalam mulut Jo, Kevin tiba-tiba berteriak yang membuat keadaan semakin dramatis, "Yohan itu air mentah!!!! Air bekas nyuci cabe!!!"
"HAH?" teriak Tian, Yohan dan James secara bersamaan.
Reflek Jo menyemburkan air tersebut ke lantai sebelum ia harus dibawa ke klinik hanya karena kejadian konyol di pagi hari ini. Mereka menarik nafas lega setelah tau Jo tidak jadi meminum air tersebut.
"Bang, lo nggak apa-apa kan? Perlu kita panggilin ambulance apa nggak?" tanya Yohan merasa bersalah.
Bukannya menjawab pertanyaan Yohan, Jo justru meletakkan gelas di meja dan memijat pelipis matanya diiringi dengan helaan nafas yang berat.
"Tenangin diri dulu bang..." ujar Kevin menyodorkan teh manis hangat dengan mug bergambarkan karakter Ben10.
"Air mateng kan, Vin?" tanya Tian memastikan meskipun jawabannya sudah jelas.
Kevin menganggukkan kepalanya. "Iya mateng."Jo meneguk teh tersebut dan mencoba menjernihkan pikirannya saat ini.
"Lo kenapa sih bang kok tiba-tiba lemah lunglai tak berdaya?" tanya James pada Jo.
"Mantan gue mau nikah," jawab Jo tanpa tenaga.
"Widih seru banget pagi-pagi udah dapet undangan dari mantan," teriak Hendri heboh meskipun ia baru datang dan hanya mendengar sekilas obrolan terakhir tanpa mengetahui situasinya sejak awal.
Tian segera mengambil kembali undangan yang tadi sempat terjatuh karena Jo yang shock dengan kabar yang ia dapat. "Undangannya buat besok Sabtu bang, masih ada tiga hari buat cari gandengan," ucap Tian mencoba memberi motivasi.
Yohan mengambil alih undangan itu dari tangan Tian. "Disini tulisannya untuk 'Jo and friends'. Buset dah macem grup band, Jo and friends!" seru Yohan diselingi suara tawanya.
"Berarti ini boleh lebih dari dua orang ya?" Kevin mencoba menyimpulkan.
Yohan bersemangat. "Ya udah kita semua aja rame-rame aja dateng kesana!"
"GUE SETUJU! Pokoknya kita harus menuntut keadilan buat bang Jo yang ditinggal nikah!" seru Cakra yang entah sejak kapan ikut hadir dalam obrolan pagi di ruang makan sembari berkerumun mengelilingi Jo.
"Aduh jas gue kemana ya? Gue cari dulu deh nanti." Hendri yang juga sedari tadi ikut menguping dan berdiri di belakang Tian tiba-tiba bersemangat. "James, duit pulsa jangan lupa," bisik Hendri pada James ditengah-tengah kepentingan lainnya.
"Oh ya bang." James merogoh kantong celananya untuk memberikan uang yang memang sudah ia siapkan untuk dibayarkan kepada Hendri.
"Nanti kita bisa nyumbang lagu bang, satu orang satu lagu. Gue hafal kok lagu-lagu nikahan. Tahun lalu gue nyanyi Yue Liang Dai Biao Wo De Xin di nikahan sodara. Aduh, seru banget pasti. Oh atau nggak, apa kita nyanyi lagunya Afgan - Sadis bareng-bareng, ya bang? " tambah Cakra yang bersemangat membahas banyak hal.
"Nggak kuliah lo, Cak?" tanya James.
"Nanti siang."
Tiba-tiba Jo berdiri dari tempatnya duduk, semua mata tertuju padanya. Keheningan sempat menguasai keadaan ruang makan saat itu, seolah semua menunggu keputusan Jo.
"Udah lah, gue nggak mau dateng!" tegas Jo dan kemudian kembali ke dalam kamarnya yang tidak berjarak jauh dari ruang makan.
***