03.

29 5 7
                                    

Marvel meneguk sodanya malas. Semalam, ia mengantar Demon pulang, lagi. Bukan apa, hanya saja, Marvel merasa cewek itu berbahaya. Demon adalah api, dan Marvel adalah ombak. Keduanya keras, dan berambisi tinggi.

Sementara itu, pagi ini Marvel dikejutkan dengan berita Lambe turah yang di ketuai oleh Selendria, cewek yang tidak pernah ketinggalan berita.

Berita pagi ini terisi dengan judul 'murid baru dari Australia'

Maka saat Marvel membaca itu, ia sontak langsung mengerti.

Sindi.

Tak lain murid pindahan dari Australia itu adalah Sindi. Sepupu nya, yang paling tidak tahu malu.

Sedari kecil, Marvel tidak pernah nyaman berada di dekat cewek itu, Sindi Lestari. Ia merasa jengah dan gerah. Merasa tertekan juga. Sindi itu gila, itu opini Marvel. Karena jujur saja, Sindi pernah keluar masuk psikiater.

Sebenarnya, Marvel tidak peduli dengan cewek itu. Karena mungkin, atau akan, Demon selalu mengitari pikirannya.

Demon kecil, lima tahun, selalu mengikutinya kemanapun. Marvel kecil, tujuh tahun, tak mempermasalahkan itu. Awalnya, Marvel merasa tak nyaman saat Demon selalu mencengkeram erat ujung kaosnya, dengan ingus yang mengotori lubang hidung cewek itu.

Itu sangat mengganggu mata Marvel kecil, sungguh. Apa lagi, saat ingus Demon sudah di basuh dengan tisu dan air, maka hidungnya akan mengeluarkan ingus lagi. Saat itulah Julia, Mama Demon selalu memasukkan kain berbentuk persegi berukuran kecil di saku pakaian Demon.

Ya, memang, awalnya Marvel terganggu. Tapi, suatu malam, Marvel tujuh tahun menangis dan marah besar. Marvel kecil membanting mainannya di segala arah, mobil remot nya pun hancur berkeping-keping. Tangisnya tak kunjung reda.

Marle frustasi dengan kondisi anaknya saat itu, benar-benar stress. Berbeda dengan Madonna yang tetap sabar dan mengelus rambut Marvel dengan lembut.

Cukup lama menunggu tangis Marvel usai, hingga akhirnya Marvel tujuh tahun mengatakan,

"Mama, mau Demon. Mau demon! Avel mau Demon! Demon! De-"

"Marvel!!"

Dan Marle, membentak keras putranya yang keras kepala itu. Marle dengan tidak enak menghubungi Tian, ayah Demon. Beruntung saat itu Tian sedang berada di rumah, sedang tidak dinas. Yah, Tian seorang TNI, sangat wajar jika pria itu jarang berada di rumahnya.

Malam itu Marle meminta Tian untuk memberi teleponnya pada Demon, dan suara kecil Demon menyebutnya dengan hangat, seperti,

"Om Aleeee! Ada apa om? Kenapa telepon Mon Mon?"

"Hai sayang, Marvel rewel banget, nangis, katanya pengen makan es krim tapi gak ada temen makannya," bohong Marle saat itu, untuk menyogok Demon sebenarnya. Demon kecil pecandu es krim lilin.

"Wah, es krim! Terus om?"

"Nah iya, kamu temenin Marvel makan es krim ya, di rumah? Kasian anak om, nangis-nangis kaya pasien rumah sakit jiwa-"

"Pa!" Sentak Madonna tak terima, enak saja anaknya di kata pasien RSJ.

Marle terkekeh, lalu melanjutkan ucapannya yang terpotong, "nah, om jemput kamu ya, tiga puluh menit lagi om sampai."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Apr 17 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

SAHMURATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang