Satu

230 13 3
                                    

"Setelah semua kejadian ini, aku menyakini bahwa tidak perlu ada janji dalam setiap hubungan. Jika pada akhirnya perpisahan itu akan tetap ada, kenapa seseorang harus berjanji untuk selalu bersama? Dan masalah apakah aku sudah ikhlas kehilangan Mas Zein atau tidak, tentu jawabannya tidak atau lebih tepatnya tidak akan bisa. Mengikhlaskan tidak semudah itu, bukan?"

Azra mencoba menormalkan deru nafasnya. Sembari meredam emosi yang berkecamuk dalam hati dan pikirannya. Nafasnya terasa tercekat, berbarengan dengan sesak di hati. Susah payah wanita itu menahan air mata agar tidak jatuh walaupun hanya satu tetes saja. Namun, Azra kalah. Pertahanannya runtuh. Sekuat apapun wanita itu meredam nyeri di hati, nyatanya Azra kalah.

Wanita yang sudah tujuh bulan kehilangan suaminya itu... Ralat!. Bukan hanya suami, melainkan hidupnya, semangatnya, serta kebahagiaanya. Azra kehilangan semua itu. Tujuh bulan berlalu, namun rasa pilu di hatinya terasa masih utuh. Tak berkurang, mungkin semakin bertambah.

Zein. Empat huruf itu terngiang jelas di benak Azra. Tangis Azra masih sama seperti saat dirinya menangis di hari pertama dia kehilangan suaminya. Sangking sakitnya.

Azra sedikit mendongakkan kepala sembari mengumpulkan tenaga yang masih tersisa ditubuh rapuhnya. Tatapannya terlihat nanar, sembari menatap sosok bertubuh tegap dihadapannya.

"Jika kamu datang tepat waktu, Mas Zein pasti masih ada disini,"

Pecah. Tangis Azra kembali pecah. Kepala yang terasa berdenyut hebat itu tak lagi Azra hiraukan. Karena baginya tak ada rasa sakit melebihi rasa sakit saat kehilangan Zein. Zein adalah dunianya. Jika Zein pergi, lalu dimana Azra menginjakkan kakinya?

Azra menundukkan kepalanya kembali. Bahunya bergetar hebat serta suara isak tangis yang mulai terdengar. Sedangkan, sosok laki-laki bertubuh tegap yang tengah berdiri didepannya itu hanya diam. Diam? Apakah sosok itu tak merasa iba dengan keadaan Azra? Of course, dia pun ikut merasakan kesedihan yang teramat dalam. Saat matanya melihat manik bola mata Azra dapat ia lihat terdapat banyak penderitaan didalamnya. Sakit memang, wanita sebaik Azra kenapa harus mendapat takdir seberat itu? Namun, lagi-lagi bukankah takdir Tuhan itu yang terbaik. Entah, Tuhan memiliki rencana terbaik apa tentang hidup Azra.

"Mas Zein pasti ada disini"

Samar-samar laki-laki itu dapat menangkap suara lirih milik Azra. Laki-laki yang entah siapa namanya itu menarik nafasnya dalam-dalam. Lalu, ditatapnya kembali pada Azra yang masih setia menangis sembari menundukkan kepala.

"One Day You Will Be Happy"
(suatu hari kamu akan bahagia)

Laki-laki itu menatap lurus ke Azra yang perlahan mulai mendongakkan kepalanya untuk menghadap ke laki-laki itu.

"Jika tidak hari ini maka besok, maybe" Lanjut laki-laki itu sembari melenggang pergi meninggalkan Azra yang masih menatapnya nanar.

***

"Ren, kamu tahu sekarang aku sedang bekerja. Kenapa kamu tidak paham juga?"

"Cuma 30 menit! 30 menit gak bakal bikin kamu kehilangan pekerjaan mu".

Laki-laki Itu tampak jengah. Untuk terakhir kalinya dia menarik nafasnya dalam-dalam, sebelum akhirnya telepon yang sudah mengganggu dirinya itu ia matikan secara sepihak. Tak peduli jika orang diseberang sana akan mengumpati dirinya.

Tatapan laki-laki itu kembali fokus ke laptop didepannya. Namun, lagi-lagi ponselnya kembali berdering. Tentu dari orang yang sedari tadi mengganggunya. Karena kesabarannya mulai semakin menipis, laki-laki itu langsung mematikan daya ponselnya. Bukan hanya itu, bahkan dia meletakkan ponselnya ke dalam laci meja.

Laki-laki itu bernafas lega. Setelah itu dia melanjutkan pekerjaannya yang sempat terganggu.

Tatapannya kembali fokus ke laptop. Kira-kira sudah 15 menit berlalu semenjak laki-laki itu fokus dengan pekerjaannya. Di menit ke-16, tiba-tiba konsentrasinya terganggu kembali. Bukan karena dering telfon dari perempuan yang ia panggil 'Ren tadi. Namun, kali ini, ingatan lama yang terus-menerus menghantui dirinya lah yang tiba-tiba muncul dalam otaknya. Memori yang dia usahakan untuk segera hilang walaupun sangat mustahil itu terjadi. Laki-laki itu memijat pelipisnya. Entah yang ke berapa kalinya, dia merasa pusing sekaligus gelisah seperti ini.

"Orang bijak pernah berkata, cinta akan selalu ada jika kamu masih memiliki alasan untuk mencintai dia. Saya tahu, kamu masih memiliki banyak alasan untuk mencintai Azra. Jika saya mau, saya akan selalu menjaga Azra. Tanpa butuh bantuan kamu tentunya. Hanya saja takdir berkehendak lain. Mungkin waktu saya untuk Azra cukup sampai disini"

"Saya tidak memiliki waktu yang lama untuk Azra. Namun, saya yakin. Waktu yang kamu miliki lebih lama dari waktu yang saya miliki"

"Jangan berkata seperti itu, Ustadz Zein"

"Istri dan anak saya masih sangat butuh pegangan. Saya tidak meragukan kekuatan dalam diri mereka berdua. Hanya saja, mereka berdua terlalu suci untuk menjalani kehidupan ini yang terlalu rumit"

Zein tampak tersenyum manis dengan wajah pucatnya.

"Menikahlah dengan Azra," Ucapnya.

***

Dilain Kesempatan Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang