12

1.2K 274 4
                                    

NOTE: EKSTRA DEAR HELEN EPISODE 1 SUDAH TERBIT DI KARYAKARSA. :”) Tenang saja, POV Helen tetap akan saya tulis sampai tamat di sini secara gratis kok.
P.S: Di sana saya tuliskan masa kecil Helen. Hihihi semoga kalian suka, ya.

***

Ide kencan di museum sebetulnya tidak terlalu buruk. Andai saja Nicholas tidak salah tebak dan mengira kegiatan itu, mengamati lukisan, merupakan kesukaanku. Bukan aku yang suka berkunjung ke museum dan mengagumi sejarah. Papalah orang di rumah, si pecinta lukisan (barangkali).

“Jadi, aku gagal membuatmu terkesan,” kata Nicholas saat kami berada di area pameran patung. “Padahal kupikir bisa membuatmu merasa sedikit kagum denganku.”

“Kamu berhasil membuatku kagum kok,” ujarku mencoba membesarkan hati Nicholas. “Seenggaknya dalam satu hal. Buku Semanggi lumayan susah kudapatkan. Kadang kami, para penggemar, harus saling sikut cuma demi memperebutkan edisi khusus.”

“Boleh tahu alasanmu menyukai Semanggi?”

Sekarang kami berdiri di hadapan patung gajah yang tengah berjuang membebaskan diri dari belitan ular. Aku tidak paham seni, tapi hei lihat saja semua itu. Ekspresi putus asa bercampur marah yang tergambar jelas di kedua mata si gajah. Mata jahat ular yang seolah ingin memamerkan kekuasaan. Cara pematung membentuk otot, kerutan, bahkan tonjolan tulang ... itu semua sangat luar biasa.

Rasanya persis seperti mengagumi patung kuno dewa dan dewi Yunani. Aku tidak bisa mengalihkan pandang dari patung tersebut. Kejam, indah, dan ... tragis. Seperti hidupku dulu. Tragis.

“Karena Semanggi nggak menjanjikan kebahagiaan,” jawabku tanpa satu kali pun mengalihkan pandang dari patung. “Dia tipe penulis yang lebih suka membunuh karakter terbaik dalam novel. Jenis yang mungkin nggak takut kena demo penggemasnya, ya?”

“Kamu suka akhir nggak bahagia?”

Aku menggeleng pelan. “Nicho,” kataku dengan lembut, kini menatap langsung ke teman kencanku, “Semanggi pengecualian. Aku nggak keberatan baca roman picisan kok. Sebenarnya nggak ada tipe khusus untuk sesuatu yang kusukai.”

“Apa itu bisa berlaku kepadaku?”

“...”

Lagi-lagi Nicholas memamerkan cengiran lucu. Binar nakal yang ingin menggodaku tampak jelas di kedua mata Nicholas. Seolah ia menanti reaksiku, caraku menjawab pertanyaan darinya. Terus terang tantangan itu sedikit menggelitikku.

“Mungkin kita bisa lanjut ke tahap lain?” aku menawarkan. “Makan?”

Bukan hari ini.

Nicholas masih jauh dari kata berhasil bila ingin membuatku termehek-mehek.

***

Kencan berakhir terlalu cepat. Nicholas sangat bersemangat mendedikasikan diri menjadi pelayan alih-alih tunangan. Bagaimana bisa dia tidak sungkan membantuku memisahkan daging dari tulangnya, lalu menemaniku belanja yang padahal sama sekali tidak kubutuhkan, dan menawariku foto dengan gaya imut.

Tentu saja kutolak! Apa aku sebegitu tidak punya hobi selain menempel ke lengan Nicholas seperti yang pernah Cyntia sarankan?

Kurang kerjaan sekali.

Oh bicara mengenai kegiatan menyenangkan, Cyntia mengundangku ke acara ulang tahun kakaknya. “Eh abangku naksir kamu, tapi sekarang kamu suka Nicholas. Hmmm jadi, tolong tolak abangku daripada kena gebuk Nicholas,” katanya dengan nada ceria seolah tidak masalah andai kakaknya kena gorok seseorang akibat cemburu.

Bagian lucunya, sangat lucu, Cyntia sengaja menambahkan satu undangan. Ekstra! Dia menyarankan agar mengajak Nicholas.

Jadilah Nicholas menemaniku ke pesta ulang tahun keluarga Cyntia. Acara digelar di salah satu hotel. Aku bisa mengenali beberapa artis ternama yang berkecimpung di dunia tarik suara. Bahkan tampilanku yang hanya mengenakan gaun warna perak pun terkesan ... biasa saja.

“Kamu tetap terlihat paling oke di mataku.”

Kecuali untuk Nicholas. Dia bahkan memohon agar aku menggandeng lengannya. Alasannya? “Aku nggak mau kamu direbut cowok lain,” begitu katanya kepadaku. Lucu sekali, bukan? Siapa pula cowok yang berani mendekatiku? Terlebih setelah skandal putus menyedihkan dari mantanku dan tambahkan insiden diriku jatuh ke kolam renang. Nilai buruk. Jelek sekali.

“Pokoknya aku nggak sanggup lihat kamu dansa dengan siapa pun,” gerutu Nicholas sembari memelototi sejumlah tamu yang ia pikir bisa naik level menjadi saingan cinta. “Tolong jangan terima ajakan siapa pun. Oke?”

Luar biasa sekali. Tunanganku cemburu. Cyntia pasti tidak akan percaya dengan krisis kepercayaan diri yang menjangkiti Nicholas. Di mata temanku, kan, Nicholas sangat keren. Huh andai dia lihat Nicholas sekarang!

“Sudahlah,” aku berusaha membujuk kucing galak ini, “sebaiknya kita temui kakaknya Cyntia sebelum seseorang melempar granat ke sini.”

“Kenapa?”

“Karena kamu terus-terusan memelototi setiap cowok!”

Dengan terpaksa kuseret Nicholas agar cepat menemui saudara Cyntia. Kebetulan aku menemukan Cyntia. Dia sedang melihat ke arahku dan senyum di wajahnya luar bisa lebar.

“Helen!” pekiknya sembari berlari menghampiriku. Cyntia mengenakan gaun yang membuatnya mirip putri duyung. Tampilannya sungguh anggun dan seksi. Berani taruhan ada sejumlah cowok yang ingin mengajaknya kencan malam ini. “Kamu datang! Pasti malam ini akan ramai!”

Apa hubungannya dengan kedatanganku? “Mana kakakmu?”

“Oh dia sedang menemui Nenek,” tunjuk Cyntia ke arah ... kerumunan tiada akhir dan aku tidak berniat bergabung dalam kerumunan itu. Banyak gadis cantik dan melemparkan diriku ke sana sama saja dengan cari mati. “Eh tapi nggak perlu ucapin selamat ke dia, sih. Kamu dan, ehem, tunanganmu boleh mangkir.”

“Terima kasih,” sambut Nicholas dengan nada bahagia, “sangat membantu sekali.”

Kucubit perut Nicholas. Tidak keras. Sekadar mengingatkan bahwa dia perlu jaga sikap! “Nichooooo.”

Nicholas meraih tanganku. “Ayo kita pacaran saja. Sepertinya tadi aku lihat ada meja kosong.”

Sungguh. Sejak kapan tunanganku berubah jadi tukang gombal? Apa dia baru saja terjangkit virus tukang rayu?  Pasti ini gara-gara Cyntia!

Cyntia terbahak. Dia memberi arahan kepada Nicholas pojok terbaik untuk menyepi dan menjauh dari keramaian. “Puas-puasin ya, Sayaaaang.”

Aku tidak bisa berkutik. Pasrah ketika Nicholas mengajakku ke duduk dan menjauh dari keramaian.

“Nicho, kamu nggak perlu begitu.”

Kami berdua duduk. Di meja telah tersaji sejumlah kudapan yang Nicholas cari sebelum mengasingkan diri di sini. Dia bahkan tidak memperbolehkanku mencari makan sendiri. Katanya biar tugas semacam itu diberikan kepadanya saja, ia tidak keberatan.

Jadilah.... Piring berisi kue dan kudapan ringan. Mulutku pasti menganga lebar sampai Nicholas menyuruhku makan. Oke, dia langsung menyuapiku sepotong kue mungil rasa cokelat dan buah.

“Soalnya aku takut kamu direbut cowok, sih,” ujarnya sembari pamer senyum tidak berdosa.

“Nggak ada, Nichoooo.”

“Ada,” Nicho bersikeras melawan argumenku. “Mereka sedari tadi nggak bisa melepaskan pandang darimu. Untung kamu mengajakku ke sini, kalau tidak ... pasti akan banyak saingan.”

Tanpa bisa kutahan, tawa pun lolos dari bibir. Aku membungkuk dan terbahak karena melihat ekspresi Nicholas yang menurutku sangat lucu. Bagaimana bisa dia punya pikiran semacam itu? Aku? Oh cowok mana yang ingin kenalan denganku, sih?

***
Selesai ditulis pada 23 Maret 2024.

***
Senangnya bisa update lagiiiiiiii. Syalalalalalalala!

DEAR HELEN (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang