8

1.4K 320 6
                                    

Cyntia pulang dengan senyum lebar. Orang bisa salah sangka mengira dia menang undian mobil mewah atau liburan di pulau tropis. Lucunya, ya. Dia tidak lelah mengingatkanku perihal janji sebagai model. “Akan kukirim detail waktu dan tempatnya nanti,” katanya sebelum masuk ke mobil dan melajukannya pergi meninggalkan rumahku. Sudah tiga kali dia main ke rumah. Pertama ketika aku pulang dari rumah sakit, kedua ketika dia memamerkan rancangan terbaru dan meminta pendapatku yang tentunya tidak banyak membantu, dan ketiga hari ini.

Bertepatan dengan kepergian Cyntia, mobil milik Nicholas muncul tidak lama kemudian. Pasti mereka sempat berpapasan di jalan tadi. Lagi pula, mobil milik Cyntia tidak sulit dikenali siapa pun. Mobil mungil cantik warna kuning menyala. Sangat menyilaukan mata, sebenarnya.

Mobil Nicholas diparkir di dekat pot mawar. Dia keluar dari sana dan di tangannya ada sekotak buku. Buku! “Kupikir tadi aku ketemu temanmu,” ucapnya seraya menutup pintu mobil.

Nicholas mengenakan pakaian kerja. Sepertinya dia selalu terjebak dengan pekerjaan. Apa dia pernah mempertimbangkan mengajukan cuti? Lagi pula, dia seorang bos. Pasti tidak susah mengistirahatkan diri sendiri.

“Ya, Cyntia tadi memang main ke sini,” aku membenarkan.

Saat di rumah aku kadang suka mengenakan gaun santai berlengan pendek. Roknya sepanjang betis. Jenis pakaian yang Mama pilih karena menurutnya bisa saja aku jadi peri yang diburu penyihir. Imajinasi luar biasa. Aku bukan peri dan tidak ada penyihir yang ingin memburuku.

“Coba lihat apa yang kubawa?”

Pasti ekspresiku sangat masam hingga membuat Nicholas senang. pertanyaan yang dia lontarkan sama sekali tidak membuatku penasaran. Kutebak isinya daftar belanja atau makalah. Ah yang mana saja aku tidak peduli. Terserah.

“Apa gunanya?” balasku dengan pertanyaan singkat. Ya, apa gunanya? Apa menjawab pertanyaan Nicholas bisa mendatangkan peri bersayap kupu-kupu? Tentu saja tidak.

Nicholas mengajakku masuk. Ha dia mulai berlagak sebagai tuan rumah. Pasti keangkuhan dalam dirinya amat tinggi karena yakin aku tidak bisa mematahkan tantangan Papa. Sulit menemukan pria dengan bibit, bebet, dan bobot menyaingi Nicholas. Apa mereka pikir pria luar biasa muncul dalam semalam?!

“Duduklah di sampingku,” Nicholas membujuk, “aku janji nggak akan menggigit.”

“Aku nggak takut denganmu!” sungutku, merasa tertantang. Lekas aku duduk di samping Nicholas, mengabaikan cengiran lucu yang biasa ia gunakan ketika aku merasa ingin terjun ke kolam dan mendinginkan kepala. “Lagi pula, aku bisa balas melukaimu.”

Akan kupikirkan cara melukai Nicholas.

Nanti.

Nicholas meletakkan kotak ke meja. Perlahan dia membuka tutup kotak dan mengeluarkan satu per satu isi di dalamnya. Buku. Buku-buku incaranku! “Ada edisi komik yang diadapatasi dari penulis kesayanganmu. Semanggi, ‘kan?”

“Ba-bagaimana bisa kamu dapat semudah itu?” Tanganku menyambar setiap komik lengkap dengan edisi kumpulan ilustrasi. “Ini semua dicetak dalam edisi terbatas. Penerbit yang dulu sempat mencetak komik adaptasi cerita Semanggi nggak mau mencetak dalam jumlah banyak. Mereka bilang edisi ... oh kamu bahkan bisa mendapatkan edisi langkanya!”

Tidak. Tidak. Tidak. Oh tidak. Kesaktian Nicholas jadi bertambah seiring ketidakberdayaanku dalam mendedikasikan diri sebagai penggemar Semanggi! Rasanya aku kalah! Ini tidak layak!

“Jangan pikir tindakanmu akan meluluhkanku,” aku memperingatkan.

Pasti ancamanku tidak dianggap serius karena wajahku memanas dan sangat mungkin kulitku memerah. Apa aku harus mengikuti pepatah mengenai menebalkan kulit saja? Alias, bersikap tidak tahu malu?

DEAR HELEN (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang