Kilauan Biru

371 64 4
                                    

Mungkin banyak yang akan mengatakan jika Ice adalah seseorang yang tidak tau bersyukur. Pasalnya, lahir sebagai cucu dari satu-satunya murid Pahlawan Perang pastilah menjanjikan kehidupan yang jauh dari kata kemiskinan. Dapat dikatakan jika Ice adalah seseorang yang terlahir dengan sendok emas di mulutnya. Status sang Kakek sebagai satu-satunya murid yang dimiliki oleh Pahlawan Perang juga pangkatnya sebagai seorang Jenderal di Kekaisaran sudah cukup membuat keluarga mereka hidup dalam gelimang harta dan kehormatan. Belum lagi sang Ayah yang kini menjadi Kapten dari penjaga Istana yang bertugas langsung untuk mengawal sang Kaisar, dapat dipastikan jika Ice tak perlu khawatir perihal uang selama hidupnya.

Sayangnya, Ice sama sekali tidak menginginkan hal tersebut. Padahal akan baik-baik saja jika dia dapat menjalani kehidupan yang tenang dan santai. Tak perlu berjuang memenuhi ekspektasi semua orang. Mengapa dirinya harus menjalani kehidupan yang ditentukan oleh orang lain? Ekspektasi semua orang hanya menekan pundak Ice, memaksanya untuk kuat memikul semua padahal dia hanya seorang remaja 14 tahun. Bukankah remaja pada usianya seharusnya bermain dan belajar bersama teman-temannya?

Mengapa dia harus menghabiskan waktunya dengan berlatih agar menjadi sama kuat dengan sang kakek?

Bukan berarti karena dia memiliki sihir yang sama dengan sang kakek yang akan membuatnya mau mengikuti jejak beliau. Padahal jika bisa memilih, Ice lebih ingin hidup santai tanpa beban. Tanpa bayang-bayang dari sang kakek.

Jadi seharusnya mereka paham alasan Ice selalu bermalas-malasan saat latihan. Ini tidak seperti dunia akan hancur keesokan harinya dan ice dipaksa untuk bertahan hidup hanya dengan kekuatannya. Mengapa Ice tak dapat hidup seperti orang kaya pada umumnya? Yang hanya tau bermalas-malasan dan menghabiskan uang keluarga mereka. Jika menghabiskan uang dan bermalas-malasan terlalu berlebihan, maka Ice tak masalah jika dirinya diminta untuk mewarisi bisnis keluarga mereka. Setidaknya kehidupan sebagai seorang pebisnis jauh lebih santai dibanding hidup sebagai pengganti sang Kakek. 

Bahkan terkadang dia berharap jika dia tak dilahirkan di keluarganya.

...

Entah untuk keberapa kalinya hari ini Ice menggerutu, menyampaikan ketidakpuasannya pada Ayah dan Ibunya. Sementara kedua orang yang dimaksud hanya mengabaikan gerutuan Ice. Ibu menggunakan jemarinya untuk membuat Ice berhentik menunduk. Sementara sang ayah menepuk punggungnya dengan maksud agar dia berdiri tegak. Terlebih kini mereka tengah berada di kuil sang Pahlawan. Ice paham maksud mereka, sebagai satu-satunya cucu Jenderal, dia harus terlihat berwibawa di depan semua orang—walau Ice tidak menyukai gambaran seperti itu.

Hari ini mereka tengah merayakan peringatan akan kedamaian yang dibawa oleh sang Pahlawan. Sang Kakek tengah memberikan pidato tentang kebanggaan mereka terhadap Pahlawan juga aspirasi lainnya yang menuai sorakan penuh semangat dari semua orang. Ice memutar bola matanya malas, dia sudah terlalu sering mendengar pidato yang diucapkan oleh sang Kakek, malah mungkin dia telah menghafalnya. Memilih untuk menyibukkan dirinya sendiri, Ice menatap patung besar dari sang Pahlawan yang berdiri dengan gagah di depan pintu kuil. Wajah pria pada patung itu ditutupi oleh janggut kasar dan rambutnya dibuat berantakan. Tubuhnya juga terlihat besar dan berotot seperti seorang pria kasar. Dia seperti gelandangan. Ice tak tau apakah itu memang gambaran asli sang pahlawan atau pematung hanya ingin melebih-lebihkan. Satu-satunya yang menurut Ice asli adalah api pada tangan sang Pahlawan.

Terlepas dari dirinya yang menjadi penerima berkat Roh Api, Pahlawan berhasil membuktikan dirinya mampu melindungi orang lain dan bukan hanya menghancurkan. Mungkin ini ada kaitannya dengan Roh istimewa yang memberkatinya. 

Roh Angin.

Dijelaskan dalam buku-buku bahwa berkat dari Roh Anginlah yang mampu membawa Pahlawan menuju kemenangannya.

AquamarineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang