When Draco has Gone

9.7K 357 16
                                    

Semburat tipis jingga mulai menggantung diantara cirrus-cirrus. Mengubah mereka yang semula perak menjadi emas. Warna-warna itu perlahan lenyap digantikan hitam pekat tatkala sumber cahaya itu perlahan tenggelam.

Tak ada yang angkat bicara diantara kami berdua. Tatapan kami sama, menikmati sunset yang menakjubkan ini. Hingga ketika surya telah seutuhnya sembunyi, pemuda di sampingku angkat bicara,

"Sunset yang indah. Kau tahu, aku sebenarnya ragu kalau kita dapat menikmati pemandangan seperti ini lagi. Kurasa, ini yang terakhir kalinya aku memelukmu sambil menatap sunset."

"Apa maksudmu?" tanyaku terheran-heran. "Bukannya kau sudah berjanji kau akan selalu bersamaku? Ataukah semua janjimu itu hanyalah salah satu dari sejuta kebohonganmu padaku?" lanjutku dengan nada kesal.

"Well, mungkin aku tak dapat menepati janjiku itu. Tapi soal kebohongan itu, perlu kau ketahui, aku hanya pernah membohongimu sekali, bukan sejuta kali. Kau terlalu melebih-lebihkan, Hermione."

Ia mengucapkan kalimat terakhir dengan sedikit kekehan. Mataku menyipit mengawasinya.

"Aku mencintaimu, Hermione," tiba-tiba ia berkata seperti itu di tengah keheningan setelah perdebatan kecil kami.

"Kenapa tiba-tiba kau berkata seperti itu?" jawabku dengan mengernyitkan dahi.

"Aku hanya mengungkapkan perasaanku."

"Kau begitu aneh, Malfoy."

Kemudian aku merasakan tangan pemuda disampingku melingkar di pinggangku, lalu menarikku merapat kepadanya. Iris kami menatap ke kanvas hitam yang kini telah penuh dengan kerlap-kerlip indah.

"Kau tahu namaku berasal darimana?" ucap Draco.

"Tentu saja, Ferret. Namamu berasal dari salah satu rasi, Rasi Draco yang berarti naga dari bahasa latin."

"Apakah kau tau letak rasi itu?"

"Ya."

"Bagus. Kalau begitu, jika kau merindukanku saat aku jauh, tataplah rasi itu. Dan mungkin kau bisa meringankan rasa rindumu."

"Tanpa kau tahu, Draco, aku sudah melakukan itu. Saat kau harus bekerja di luar negeri dan meninggalkanku, aku selalu menatap rasi Draco. Yah, untuk menghilangkan rinduku, dan itu cukup berhasil."

"Kau cerdas sekali, Hermione. Aku mencintaimu."

"Kurasa kau semakin aneh, Draco. Kau terus mengungkapkan perasaanmu kepadaku sejak tadi. Kau jadi melankolis sekali." Lalu aku terkikik, dan aku juga mendengar Draco tertawa lirih.
Ketika malam semakin larut, kami beranjak dari bukit tempat kami duduk sejak tadi. Karena hanya memakai dress tipis tanpa jaket, aku merasa kedinginan sekali.

"Aku kedinginan, Draco."

"Kalau begitu, kita bisa minum cappuccino dulu."

"Hm... cappuccino? Kurasa cukup hangat. Tapi kau tahu dimana kafe dekat sini?"

"Tentu saja, sayang."

"Kau tahu, Draco. Aku tak suka saat kau memanggilku sayang atau panggilan lainnya."

"Eh? Kenapa?" Ia mengernyitkan dahinya.

"Entahlah... sedikit alay, mungkin?" Lalu aku merapatkan diri di tubuh hangat Sang Pewaris Keluarga Malfoy itu. Ia hanya terkekeh pelan lalu mengecup puncak dahiku.

Kami berjalan di sepanjang trotoar Kota London dengan tawa yang selalu pecah di sela-sela perbincangan kami. Hingga saat aku terkejut karena Draco berhenti mendadak, aku sadar kami sudah berada di kafe yang Draco maksud. Tulisan berbunyi "Cygnus Kaffe" menggantung di atas pintu bangunan tersebut. Draco menarikku masuk, lalu kami duduk di salah satu kursi kosong. Kafe ini memiliki latar warna krem, dengan meja dan kursi berwarna putih.

Dramione Short StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang