Dua bulan lamanya semenjak Solar menjadi bagian dari para mahasiswa di universitas favoritnya. Segala jerih payahnya dalam belajar terbalas, kampus impian ia dapatkan, dan mendapat nilai tertinggi di sekolahnya. Orang tuanya bangga kepadanya, ia juga diberi segalanya oleh orang tuanya-dari ruang laboratorium pribadi di rumahnya hingga kebun hidroponik di halaman belakang rumahnya. Ya, Solar adalah anak orang kaya. Semua terasa lengkap, kepintaran, keuangan, rasa pantang menyerah, pengendalian diri, berpikir kritis, semuanya ia miliki dan kuasai. Kecuali satu, bersosialisasi.
"Untuk apa bersosialisasi dengan seseorang jika kau tidak butuh apa-apa darinya?" Begitu yang ada di pikirannya. Selagi tidak penting, untuk apa dibicarakan? Dikarenakan mindset-nya yang seperti itu, Solar hanya memiliki tiga teman. Selebihnya ia menganggapnya kenalan.
Seusainya kuliah, Solar berencana mencari tempat peristirahatan yang damai untuk mengerjakan tugasnya. Ia malas untuk bersepeda pulang ke kos, apalagi siang ini cuacanya cerah, lebih baik pulang nanti saja.
"Teman ya...agak susah mencari teman. Apalagi orang-orang di sini terlihat mencurigakan semua" batin Solar sembari melihat sekitarnya yang penuh dengan orang-orang. Ruang yang disebut ruang 13 dengan jumlah 34 mahasiswa itu dibuyarkan oleh dosen mereka. Orang-orang memasukkan alat tulis mereka ke dalam tas dan segera berjalan keluar sembari berbincang-bincang bersama temannya. Kecuali Solar. Solar masih duduk di bangkunya, ia masih terbawa lamunan siang. Sepuluh menit berpikir dan melamun, ia pun segera keluar dari kelas. Solar pun berjalan dan menuruni tangga hingga mendapati dirinya berada di depan pintu masuk kampus.
"Males balik ke kos. Enaknya ke mana dulu ya?" batinnya sembari melihat sekeliling.
Dua bulan lamanya, namun jujur Solar masih tidak tahu pasti denah di wilayah kampusnya. Universitas favoritnya ini sangatlah luas, dan ia tidak punya waktu untuk menjelajahinya. Baiklah, Solar pun membulatkan tekadnya untuk menjelajahi wilayah kampus-dimulai dari bagian belakang gedung kampus.
Halaman belakang gedung kampus adalah taman. Taman yang tampaknya sudah tak terawat, gulma menjalar ke pohon-pohon besar yang berada di tengah taman, kursi-kursi dan meja yang di atasnya tergenang air hujan dan embun pagi, rerumputan yang terus memanjang karena jarang dirapikan, dan ayunan. Taman itu sepi, sunyi, tentram. Tempat yang cocok untuk bercengkerama dengan alam.
Solar bukan tipe pencinta alam yang terlalu. Ia dengan senang hati akan bersantai di sana, jika nyamuk tak menjadi halangan. Ia pun berjalan memutar ke jalan yang belum ia tempuh. Kawasan bagian kiri kampus.
Bagian kiri kampus hanya ada pepohonan yang besar. Solar memutar jalan lagi, lalu berhenti di wilayah bagian kanan kampus. Ramai. Orang-orang yang tidak langsung pulang ke kos mereka namun menetap di gazebo dan tempat nongkrong. Pastinya Solar tidak mau berada di sana.
Solar teringat bahwa di gedung kampus ini, ada lantai di bawah tanah yang tak lagi dipakai. Ada batasan berwarna hitam dan kuning yang membatasi antara lantai bawah dengan lantai satu.
Sejak awal, Solar tak pernah mengaku bahwa ia anak yang baik dan tidak akan melanggar peraturan. Ia hanya mengakui dirinya bahwa ia rajin. Hanya itu. Dikarenakan niat dan kakinya yang mulai lelah berjalan ke sana kemari, maka ia pun memasuki gedung kampus dan menghampiri tangga menuju lantai bawah.
Ia menyingkirkan plastik hitam-kuning di hadapannya. Ia menuruni anak tangga, namun tak sampai ujung tangga. Ia membersihkan anak tangga di bagian tengah dengan tisu yang ia ambil dari sakunya, lalu ia duduk di anak tangga itu kemudian mengeluarkan bukunya.
Nanti saja menjelajah ke lantai bawah, saat ini Solar ingin mengingat kembali penjelasan yang diterangkan dosen tadi.
Satu jam berada di sana, Solar masih nyaman walau harus menggunakan senter ponsel untuk menerangi sebagian buku. Pencahayaan di tempat ini redup. Meski begitu, sangat nyaman. Suara keheningan, gelapnya pandangan di hadapannya, permukaan halaman buku yang diterangi cahaya ponsel, ia dan dirinya yang-
Krek!
Solar terdiam. Matanya membulat menatap ke depan. Gelap, hitam, dan meninggalkan sekilas bau debu. Solar mengatupkan mulutnya rapat-rapat, ia menutup bukunya sembari dengan pandangan yang lurus ke depan dan berjaga-jaga.
Sesosok muncul dari balik gelapnya lantai bawah tanah.
"A-"
Sekilas Solar ingin berteriak, namun terhenti ketika yang muncul dari gelap adalah seorang pemuda dengan jaket dan topi hitam.
Solar dan pemuda itu menatap satu sama lain, saling mengidentifikasi. Solar melihat bawah ke atas pemuda itu, dan pemuda itu melihat dari bawah ke atas Solar. Mereka berdua jadi merasa canggung.
"Orang ini kenapa sih? Please pergilah dari sini" batin Solar sembari menatap tajam pemuda tersebut. "Tunggu, apa yang dia lakukan di lantai bawah?"
Pemuda itu, menatap santai dan datar ke Solar. Solar merasa sedikit tersinggung dengan tatapannya, seakan-akan pemuda di hadapannya itu meremehkannya.
"Kenapa kau ada di sini?"
"Justru seharusnya aku yang bertanya, apa yang kau lakukan di sini?" balas Solar dengan nada menyinggung.
Pemuda itu melihat ke belakang Solar. Segel berwarna hitam-kuning masih terpasang di tempatnya, menjadi tanda larangan untuk memasuki lantai bawah. "Lebih baik kau jangan berada di sini. Bahaya"
Solar masih menatap pemuda itu dengan tatapan tajam. Ia tidak mengatakan apa pun, ia memasukkan bukunya ke dalam tas lalu menaiki anak tangga hingga melewati perbatasan.
Oh, tentunya Solar tidak benar-benar pergi dari sana. Setelah ia berbelok, ia bersembunyi di balik dinding tangga. Ia berusaha mendengarkan suara dari pemuda tersebut. Sayup-sayup terdengar suara hentakan kaki pemuda itu mulai memudar. Keluarlah Solar dari tempat persembunyiannya, ia mau kembali ke tempat duduk anak tangga yang nyaman itu.
Puk!
"Sudah kubilang, kau jangan berada di sini"
Tubuh Solar menabrak pemuda tadi. Solar sempat terkejut, tapi rasa kesalnya mengalahkan rasa kagetnya. Ia pun mundur beberapa langkah dan berusaha melihat lebih dekat pemuda itu. "Memangnya kau siapa melanggarku masuk ke sana?"
"..."
Kena kau, pemuda itu terdiam. Solar yakin, pasti orang ini tidak mau dirinya mengambil tempat persembunyiannya.
"Toh, kau bukan orang penting di sini, kan? Urus dirimu sendiri sana" Solar menepis pemuda itu, ia kembali melewati segel hitam-kuning dan duduk di tengah anak tangga seperti tadi. Solar dapat mendengar dari jauh suara decakan pemuda itu. Ia senang bisa mengusir orang aneh itu dan kembali pada dunia belajarnya.
***
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
STAIRS | Halilintar x Solar Fanfiction | Boboiboy Galaxy
FanfictionSolar, mahasiswa baru yang pintar dan cerdas di antara kalangan para mahasiswa lainnya adalah orang yang introvert. Sejak saat ia bersekolah dasar, ia jarang berkomunikasi dengan teman-teman sebayanya dan lebih memilih untuk membaca buku dan bereksp...