1. Badai Petir

207 27 2
                                    

Sejam berlalu, suara notifikasi terdengar dari ponsel Solar. Solar menghentikan bacaannya, ia mengambil ponsel dari sakunya lalu melihat bar notifikasi pada ponselnya.

 Solar menghentikan bacaannya, ia mengambil ponsel dari sakunya lalu melihat bar notifikasi pada ponselnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Males banget ke sana..." batin Solar sembari berdiri. Ia pun pergi dari tempat peristirahatan barunya itu, menuju ke kafe kampus.

Setibanya di kafe kampus dengan berjalan kaki, Solar dapat melihat dari jauh temannya yang sedang duduk bersama dengan seseorang sambil tertawa bersama. Duri sedang bersama seseorang yang tidak ia tahu. Perawakan orang itu sama seperti Duri, periang. Yah, Solar tidak peduli dengan siapa saja yang berteman dengan Duri. Meski begitu, tak ada salahnya berkenalan dengan seseorang itu. Solar menghampiri Duri.

"Hai" sapa Solar ke Duri yang sedang berbagi sempol dengan orang di sebelahnya.

"Solar, halo!!" Duri membalas sapaan Solar. "Pas banget, ini kak Taufan—temen dari kampus C. Tadi pagi aku tidak sengaja menabraknya dengan sepeda, hehe...lalu ya kami berteman. Seru orangnya!"

Solar tidak terkejut dengan antusiasme Duri, ia lebih terkejut tentang bagaimana Duri bisa berteman dengan korban tabrakan dengan dirinya sebagai pelaku tabrakan. "Hai, aku Solar" sapa Solar sembari melambaikan tangannya dengan lemas ke Taufan.

"Haloo" Taufan tersenyum lebar, ia membalas lambaian tangan Solar.

"Jadi tadi kamu mau bahas apa?" tanya Solar kepada Duri, tanpa berbasa-basi.

"Oh iya," Duri mengeluarkan ponselnya, lalu ia menunjukkan layar ponselnya ke Solar. "Malam ini ada acara makan-makan yang diadain sama kating, mereka mau kenalan sama kita"

"Ini yang ikut siapa saja?"

"Banyak. Ada aku, kak Taufan, Yaya, Ying, Gopal, kak Ais...ya intinya banyak lah, kamu ikut aja!"

Solar hanya mengangguk-angguk sembari mengingat-ingat kembali siapa saja orang-orang yang disebutkan oleh Duri. "Wajib ikut kah?"

"Ini acara buat kenalan sama kating lho, yakali kamu lewatin. Toh, bisa aja nanti dapet 'info' berguna" ujar Taufan, mendukung ajakan Duri.

Solar meraba dagunya. "Bener juga. Aku tidak punya kenalan kating, jadi agak susah mengetahui budaya dan sistem sosialita di univ ini".

"Ikut please, nanti aku ke sana bareng siapa kalau gk sama kamu..." Duri memohon-mohon seakan berdoa ke dewa.

"Bareng Taufan kan bisa?"

"Ya tapi dia kan bareng saudaranya"

"Oh? Punya saudara?"

Taufan mengangguk. "Kami kembar tiga. Yang brojol duluan namanya Halilintar, yang kedua aku, terus yang ketiga Gempa"

Solar mengangguk-angguk lagi.

"Nanti pas lagi acara kalian santai-santai aja ya sama kami, kami bukan kating yang senioritas kok"

"Ah, maaf tadi saya memanggil kak Taufan dengan tidak sopan" ucap Solar sembari membungkuk sedikit. Ia baru menyadari bahwa sejak tadi Duri memanggil Taufan dengan sebutan "kak", menjadi kemungkinan besar bahwa Taufan lebih tua dari mereka.

"Santai ajaa" Taufan tersenyum lebar. "Well, see you jam tujuh ya. Jangan molor lho" Taufan pun berdiri, lalu pergi sambil melambaikan tangan ke Solar dan Duri.

***

Matahari kembali menutupi diri di antara kedua gunung, menandakan sore hari. Duri harus cepat-cepat kembali ke kosnya karena ada tugas kelompok yang belum diselesaikan, yang menyisakan Solar sendirian di kafe kampus. Solar masih belum ingin kembali ke kosnya. Kos yang ia tempati itu sangat berisik, apalagi saat malam hari. Jika bukan suara desahan wanita, suara musik keras bergenre metal rock pasti terdengar jelas tepat di sebelah kamar Solar. Tidak hanya dia, pasti semua orang juga kesal jika berada di posisinya.

Jadi daripada kembali ke kos-kosannya yang berisik, Solar tetap berada di kafe kampus sendirian. Sebenarnya, masih ada orang-orang yang berada di kafe—tapi jika tidak ada teman pastinya tidak ada bedanya dengan sendirian, bukan?

Seperti yang biasanya ia pesan jika berada di kafe kampus, Solar memesan kopi susu. Selagi menunggu, ia membaca bukunya lagi. Buku yang ia baca saat ini adalah buku mengenai Mekanika kuantum, ia membuka kembali pelajaran yang pernah ia pelajari semasa sekolah menengah atas. Ia tidak mau melupakan pelajaran yang ia senangi semasa SMA itu. Tak lama menunggu, pesanan Solar datang.

Cuaca saat ini terbilang mendung, pertanda akan hujan. Angin sudah mulai berembus dengan kencang, dan tampak pohon-pohon bergoyang ke kanan dan ke kiri mengikuti arah angin berpacu.

"Hmm kopi susu yang masih panas, cuaca mendung dengan sinarnya yang redup, dan hawa sejuk ini....rasanya pas sekali" batin Solar sembari menyeruput kopi susunya. "Entah apa yang bisa melebihi kesempurnaan ini—"

Angin yang sangat kencang tiba-tiba menerpa wajahnya, membuatnya sedikit menggeleng ke kiri. BRAK! Tak sampai di situ, angin juga menerbangkan daun-daun kecil dan besar hingga menjatuhkan pot tanaman di sisi kafe kampus. Hujan rintik-rintik mulai memadukan angin kencang itu, sehingga membuat halaman-halaman di buku Solar mulai membalikkan dirinya disertai dengan diserapnya sedikit air hujan.

"Badai."

Solar sangat menyesal telah berpikir bahwa semua akan berjalan sesuai dengan keinginannya. Pada dasarnya, dunia tidak akan pernah berjalan sesuai dengan kemauan kita. Meski begitu, bukan berarti manusia akan menyerah begitu saja, bukan? Setidaknya itu yang Solar pikirkan.

Entah kenapa, terlintas suatu tempat dalam benak Solar: tangga menuju lantai bawah tanah. Tempat yang baru saja ia temukan nyaman siang tadi. Kalau sedang badai hujan, pasti tempat itu menjadi sunyi dan gelap. Solar bisa memakai lampu flash ponsel, dengan begitu ia bisa membaca buku di sana.

Sebenarnya Solar takut akan kegelapan. Alasan kenapa ia bisa bertahan dengan kegelapan ruangan yang selalu menyertainya, karena ia merupakan tipe orang yang fokus pada satu tujuan. Jadi, dengan membaca buku sebagai pengalih perhatiannya, ia tidak mempedulikan lingkungan sekitarnya. Pada keadaan ini, Solar memusatkan seluruh perhatiannya seakan alam semesta berpusat pada buku di hadapannya.

"Kalau aku terobos langsung ke gedung kampusku, pasti bisa sih. Basah dikit gak ngaruh" batinnya sembari memasukkan bukunya ke dalam tasnya dan menggantungnya di pundak kiri.

Dengan segala keyakinan, Solar bangkit dari kursi, berjalan ke tepi ruang kafe dan langsung berlari ke arah gedung kampus. Ini semua demi kenyamanan membaca buku. Seakan-akan buku adalah kekasihnya.

Ia memasuki gedung kampus. Solar mengacak rambutnya yang lepek karena air hujan, kemudian memeriksa isi tasnya. Aman. Bukunya tidak basah, isi tasnya tidak basah.

Tanpa basa-basi lagi, ia langsung mendatangi tangga penghubung lantai satu dengan lantai bawah tanah untuk kesekian kalinya.

Seseorang yang sangat tidak diharapkan oleh Solar, menunjukkan diri dengan posisi sedang duduk menyandar dinding di tengah tangga.

"Sudah kuduga. Pasti kamu akan kembali ke sini"

***

TBC

STAIRS | Halilintar x Solar Fanfiction | Boboiboy GalaxyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang