Bapak dan Emakku

2 0 0
                                    

Keduanya dilahirkan di Desa yang sama, jauh melewati danau, tiga hutan, dan gunung, Sundari yang dikenal berparas cantik dan di kata-katakan akan menjadi ronggeng itu memilih menikah, karena menari ia tak lihai, hanya bila ia berjalan melewati kerumunan, atau menghadiri perkumpulan, para lelaki akan dibuat melongo karena badannya yang gempal montok, dan wajahnya yang hitam manis, ia terlahir dari keluarga cukup terpandang. Ayahnya bekerja sebagai juru tulis di Kelurahan, yang langsung mendapat bayaran dari pemerintah kota.

Ia memilih menikah dengan seorang lelaki pendek, kurus, tanpa reputasi baik di Desa bernama Asep Suryadi.
Dikatakan gadis itu kena pelet, karena keluarga Asep Suryadi dikenal dengan keluarga tukang pelet. Dari Ibu, Nenek, Uwak, sampai Bibi, ada saja yang mampu menyareati sampai menyuwuk dan memasangkan susuk.

Namun pernikahan mereka tetap terjadi, direstui oleh bapaknya sang Juru tulis itu dengan catatan harus membawa mahar seharga sepuluh kerbau. Keluarga tukang pelet itu pun menyetujui, tentu dengan guna-guna, dibawakan mahar seharga bayi kerbau, diterima dengan suka hati, seperti menerima uang sebanyak sepuluh kerbau.

Pesta pun digelar di balai raya, dekat balai desa, hanya orang-orang tertentu dan berduit yang mampu menyewa tempat itu untuk hajatan. tak tanggung-tanggung keluarga Sundari menyewa grup dangdut yang dipimpin Bung Barjo, dangdut koplo yang sangat tenar pada masa itu di Daerahnya, dan pemimpinnya itu adalah anak muda tampan berbakat yang jadi rebutan para perawan Desa, serta merta acara pesta pernikahan Asep Suryadi dan Sundari begitu ramai didatangi orang.

“Asep Suryadi ketiban bulan, lihat si Sundari, cantiknya bukan main, kalau bukan karena permainan sihir, tidak akan kesampaian tujuh turunan.”

Tak ada satu pun yang menimpali, seluruhnya sedang asik melongo melihat Biduan yang sedang memutarkan pinggul sambil bernyanyi, sesekali mengambil saweran dan bergoyang semakin genit.

Pemuda itu bernama Dul Rozi, anak Sanudin juragan beras, satu-satunya yang kuliah di Desanya, bapaknya yang kaya menginginkan Sarjana Pertanian dalam keluarganya, untuk mengurus sawah yang berhektar, serta kebun lada dan karet. si Bungsu itu yang terpilih, sebetulnya ia telah bertunangan dengan anak pak lurah, namun karena sikapnya yang seperti buaya, ia sering main dan berkencan dengan siapa pun Perawan yang ia suka.

Biduan itu mulai memanggil-manggil Namanya, biduan genit dan matre yang sangat mengenali laki-laki berduit, ia hanya tersenyum melambaikan tangan, setidaknya dihadapan banyak orang ia tak mau bermain api, apalagi pak lurah sedang melirik nya dengan tajam dari ujung tenda. Ia malah berdiri, bergegas meninggalkan pesta setelah berpamitan pada Asep Suryadi dan Sundari.

Orang-orang masih tersihir dengan acara yang begitu meriah, serta hidangan yang mewah dan lezat, hingga tengah malam mereka terpaksa dibubarkan oleh linmas dan keamanan, menandakan selesainya acara pesta. Mereka pulang dengan perut kenyang dan bahagia, dalam kurun waktu puluhan tahun terakhir tidak pernah terjadi lagi pesta semeriah itu di Desanya.

Pengantin baru itu difasilitasi rumah dan kebun milik Jayadi, ayah Sundari. Mereka menempati rumah kedua yang ada di belakang rumah utama, ia juga memberikan sepasang kambing untuk diternakan, kebun itu dimanfaatkan sundari menanam jagung manis dan Singkong. Yang tak perlu waktu lama langsung berbuah dan siap panen, Sundari yang sejak masih gadis terkenal sangat rajin mampu menghasilkan uang yang lumayan untuk keperluan sehari-hari dari keripik singkong yang ia buat dan jajakan ke warung-warung sekitar.

Entah siapa yang berbicara, hingga sampai pula ke telinga Asep Suryadi, orang-orang membicarakannya dan mengatainya sebagai benalu, lelaki pemalas yang kerjanya hanya tidur seharian, mereka memuji-muji Sundari yang memang sudah keturunan kaya dan rajin berusaha, berbeda dengan dia yang pekerjaannya hanya mengerjai orang melalui teluh dan santet. Murung Asep Suryadi setiap hari, pada kenyataannya ia tak bisa dan tak pernah memiliki Ilmu santet dan sebagainya, kesabarannya kian habis ketika suatu hari Jayadi memergokinya sedang menghisap kretek sambil bersantai dengan kopi dan pisang goreng, sedangkan Sundari sedang panas-panasan mencabut Singkong di kebun, terlontarlah sebuah sindiran yang melukai hati.

“Memang betul yang orang bilang, kau ini benalu. Tak tahu malu, kau biarkan istrimu Lelah mencari duit, banting tulang. Sedang kau enak-enakan menjadi tuan.”

Saat itu Jayadi langsung pergi tak memberikan kesempatan untuk menjawab, orang-orang semakin sering mencacinya, sebagai seorang Suami dan kepala rumah tangga, ia seolah tak memiliki harga diri dihadapan semua orang, hanya Sundari yang tak peduli dengan perkataan orang-orang, wanita itu tetap menghargainya sebagai Suami dan melayaninya sepenuh hati.

“Rasanya, saya malu terhadap keluarga besar mu, Sundari.”

“Mengapa mesti malu pada keluarga sendiri?”

“Bagaimana menurut mu bila aku pergi saja ke kota untuk bekerja?”

“Kau begitu tersinggung dengan perkataan orang-orang, hingga kau mau meninggalkan ku hanya karena malu. Padahal bila mau kau bekerja, kau bisa gembalakan kambing yang hanya dua ekor di kandang, atau kebun itu masih ada beberapa petak untuk menanam kacang atau membuat kolam ikan.”

“Aku tak bisa bila hanya memanfaatkan pemberian orang, aku ini kepala keluarga. Seharusnya aku bisa membuat mu tak usah melakukan apa-apa.”

Keduanya berdiam tak saling berucap lagi, masing-masing dengan pemikirannya dan keinginannya, bagi Sundari, selama ia suka melakukan apa-apa segalanya bukan masalah, ia begitu suka memasak, berkebun, ia suka menata barang-barang dan perabot, namun dalam hatinya terbesit malu pada keluarga, sebetulnya bukan tidak pernah orang menanyakan Asep Suryadi padanya, hampir setiap kali ada kesempatan berkunjung mereka akan berbisik dan seolah merasa iba padanya, namun ia hanya berkata Rezeki di tangan Tuhan.

“Alangkah lebih baik difikirkan saja dulu.”

Namun hati terlanjur sakit, wajah terlanjur merah penuh malu, Asep Suryadi membulatkan tekad, ia akan pergi ke Kota untuk mencari pekerjaan, apapun yang terjadi, ia hanya akan pulang bila membawa duit yang banyak untuk Sundari, mungkin sebulan dua kali, atau bila perlu setahun dua kali, ia akan rutin mengirimi duit dan pakaian, juga barang-barang yang akan disukai Sundari.

Namun pada kenyataannya tidak semudah membalikan telapak tangan, ketika besok Asep Suryadi akan pergi ke Kota, Sundari justru hamil, menambah beban fikiran Asep Suryadi, dan tak tega rasanya meninggalkan.

“Aku akan rutin mengirimi surat, dan bila aku sudah menerima pekerjaan, setiap minggu akan ku kirimi juga duit untuk pergi ke Bidan.”

“Padahal kita masih bisa hidup dengan apa yang ada. Tapi yasudahlah, mau bagaimana lagi? Aku harus hidup sendiri mengurus calon anakmu ini.”

“Sayang, semua ini demi kau dan juga anak-anak kita.”

“Heleh, karena kau membesarkan malu juga. Tidak apa-apa, pergilah, paling-paling besok bila aku ngidam tak kesampaian, jangan salahkan bila anak mu ileran saat dilahirkan.”

Dan pergilah Asep Suryadi ke Terminal Bus sebelum ayam berkokok pertama kali, pagi-pagi itu dengan Andong serta beberapa barang bawaan, diantar oleh Sundari dan Bapaknya, Jayadi. Mereka berpisah untuk beberapa saat, keduanya sempat berpelukan dengan erat, sekali Asep Suryadi mengecup kening Sundari dan terlihat matanya berkaca-kaca, sedangkan Sundari sudah menangis sejak di dalam andong tadi. 

“Jangan terbawa suasana. Cepatlah balik melihat bini dan calon anakmu.”

“Saya titip Sundari, Pak.”

“Dia anakku, tak perlu dititip-titip.”

Tapi walaupun begitu, Jayadi tetap merangkulnya, terbesit sebuah harap, semoga jika ia pulang dapat merubah suasana. Dan Bus jurusan Kota itu pergi, dalam samar sinar Fajar pagi yang menyelimuti duka sepasang suami istri.

“Selamat tinggal, Sundari.”

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 27 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Anak-Anak Laut Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang