06. HE SAYS SHE IS A WHORE
* * *
"Kenapa kamu sendiri yang menahan aku pergi, Roar?"
Roar tidak menyahut. Dia masih berdiri, tak bergerak, seolah terpaku pada titik fokus yang tak terlihat di depannya. Lova ingin menangis, ingin merobek jarak hampa yang kian melebar di antara mereka. Namun, dia tahu menangis takkan mengubah apa pun. Dia butuh jawaban, butuh kepastian.
"Salah aku apa, Roar? Apa salah aku sampai kamu benci sama aku?" Lova melangkah, mendekati sosok yang begitu akrab namun kini begitu jauh. Matanya mencoba mencari isyarat, namun wajah Roar tetap tersembunyi. "Kasih tau aku alasan kamu benci sama aku, Roar?! Aku perlu tau!"
Lova mengamati gerakan tubuh Roar yang perlahan memutar badannya. Wajahnya yang sebelumnya tersembunyi, kini terbuka dalam pandangan Lova. Mata mereka bertemu, namun Lova menahan tangis yang siap tumpah detik itu juga. Roar, tidak menyadari betapa hati Lova telah dijatuhkan, seperti seorang pemain yang tidak pernah merasakan bagaimana rasanya menjadi korban. Dia telah meminta Lova menjauh, tetapi kemudian malam itu, ia sendiri yang menariknya kembali dalam permainan yang rumit.
"Gue bisa kasih sepuluh alasan kenapa gue benci sama lo." Roar menjawabnya dengan suara rendah yang ia harap dapat membuat Lova takut. Dan itu berhasil, Lova terkejut ketika sepuluh alasan itu terlalu banyak bagi Lova yang awalnya hanya orang asing bagi Roar. "Dan lo gak akan senang dengar ini, Lova."
"Sepuluh?" bisiknya, mencoba menelan kenyataan pahit yang menyelinap di hatinya.
"Ya, kenapa?" tanya Roar lagi. "Kurang banyak buat lo sadar gue benci sama lo?"
Lova tak bisa menjawab. Dia hanya bisa mengangguk. Namun, Lova tidak ingin menyerah begitu saja. Dia tidak akan membiarkan kebencian ini mengalahkan hatinya. Dia mencari keberanian yang tersisa, memutuskan untuk menghadapi kenyataan yang memilukan.
"Nggak, itu udah banyak." Lova menjawabnya. "Kamu bisa sebutin sepuluh alasan itu sekarang. Aku mau dengar sekarang, Roar."
Roar menautkan alisnya ketika mendengar keberanian Lova. Cewek itu baru saja menantang Roar untuk mengatakan sepuluh alasan ia membenci Lova. Itu mudah untuk Roar katakan sekarang juga tapi Roar tidak akan pernah mengatakannya ke Lova, hanya ia yang tahu dan itu sudah cukup.
Tanpa menjawab pun Roar langsung membalikkan badan lagi. Siap meninggalkan Lova dengan pikiran-pikiran dengan pertanyaan yang ada di kepala perempuan itu. Roar tidak peduli dan sikapnya yang kasar ke Lova sudah lebih dari cukup. Ia juga tidak ingin mengingat kejadian semalam ketika ia balas mencium cewek itu. Seolah-olah itu adalah sebuah hal yang spesial dan tentu saja itu hanya menurut Lova.
"Oke aku akan pergi menjauh dari kamu, Roar," gumamnya, langkahnya terhenti di ambang keputusan yang ia harap bisa mengubah segalanya.
Roar menghentikan langkah ketika mendengar keputusan Lova sesuai yang ia harapkan. Namun ia tahu tidak mungkin Lova akan menyerah begitu saja dan saat Roar menatap cewek itu lagi, tatapan fokus Lova masih mengarah padanya. Dia seolah sudah siap menerima apa pun yang akan Roar katakan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Jika Cinta Tidak Pernah Ada
RomanceRoar, si bintang basket kampus, terperangkap dalam konflik dengan penggemar setianya, Lova. Pertemuan-pertemuan mereka membawa keduanya pada hal tak terduga. Roar yang membenci Lova. Sementara Lova yang terus mengejar Roar. Ini bukan tentang cerita...