Secangkir teh hangat dan juga cheesecake tertata rapi di meja putih bundar itu. Bersama dengan laptop yang terbuka menampilkan kontrak dengan penerbit atas karya pertamanya yang berhasil dilirik oleh penerbit ternama. Sabita Gamma Elkairo kerap disapa Gamma oleh pembacanya. Dan di novel pertamanya ini juga ia menggunakan nama tengahnya itu sebagai nama penanya.
"Sabita, sorry gue telat," teriak seorang gadis berambut pendek dari jarak yang tak jauh dari kursinya duduk.
"Santai aja, Namira. Gue juga masih baca kontraknya kok."
"Jadi? Gimana, ada yang perlu direvisi gak kontraknya?"
"Gak ada. Udah pas sama apa yang gue jelasin kemarin. Jadi, gue bisa tanda tangan sekarang. Done. Udah gue kirim lagi ke email lo ya."
"Woo sat set banget. Terima kasih jakka-nim." Keduanya tertawa. Namira adalah staf penerbit yang menangani naskah cerita Sabita selain itu juga memang keduanya berteman sejak menggunakan rok abu.
"By the way, lo udah dengar beritanya?" Sabita menoleh, menantikan berita apa yang dimaksud. Namira menilai dari ekspresi yang dikeluarkan kalau Sabita belum mendengar berita ini.
"Si Sakha bakal buka pameran hasil fotonya disini. Di kota ini. Gue sama anak-anak yang lain dapat undangannya, lo gak dapat? Atau belum sampai ke lo kali ya?"
Sakha. Nama itu yang selalu dirindukan setiap malamnya. Nama yang selalu menjadi bahan coretannya itu. Yang selalu dijadikan ide menjadi untaian diksi rindu. Semua masa bersamanya selalu terputar di kepalaku. Masa terbaik kala itu. Arshaka Biantara.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eternity
RomanceMotor matic itu mengitari pusat kota, membawa sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara. Bersama, bersenandung seakan esok semua akan berakhir. Seakan esok tidak ada lagi waktu untuk dihabiskan berdua. "Kamu tau? Sekarang-saat ini perasaanku persi...