"Ingatlah untuk hidup."Saat itu tengah sore yang cerah, matahari bersinar terang di langit biru cerah, memancarkan cahaya hangat ke pepohonan dan bangunan di bawahnya. Saat Garviell duduk di tepi atap roftop, kakinya menjuntai, memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam, membiarkan angin sejuk menyapu wajahnya. Leher remaja laki-laki itu terdapat kalung berbentuk salib di lehernya. Satu-satunya suara yang terdengar hanyalah gemerisik dedaunan di pepohonan dan suara kicauan burung di kejauhan, menciptakan simfoni alam.
"Misalnya nih, kalau gue jatuh ke bawah mati gak ya?"Garviell membuka kelopak matanya mendengar pernyataan dari kawannya, Felix, yang memiliki khas gaya alis belah di bagian kanan. Dia menoleh ke kiri lalu beralih melirik ke bawah. Mereka sedang di lantai tiga.
Baru saja Garviell akan menjawab tapi suara lain mendahuluinya, "Menurut Lo?" Itu Arthur, dia berbicara sambil mengerutkan keningnya.
Remaja yang bertanya sekarang terlihat berpikir. Garviell merangkul pundak Felix, "Kenapa? Lo mau uji coba?"
"Ngaco, gue masih mau hidup."
Garviell menoleh lagi ke bawah, "Kayaknya mati sih, kalau Lo beruntung pasti hidup lagi.. tapi dalam keadaan cacat."
"Bangsat! Amit-amit jabang bayi. Nyesel gue nanya sama kalian berdua." Felix melepaskan rangkulan dengan memakai tenaga karena kesal, sehingga membuat Garviell hampir terjatuh. Untungnya kedua orang itu memegang tangan kanan kiri miliknya.
"Woah! Lix.. "
Felix juga terkejut, "Apa? Gue gak sengaja, sumpah, El."
"Dikit lagi lo mati."
Garviell langsung melepaskan tangannya dari kedua orang itu. Omongan Arthur memang nyelekit, tapi tak apa seorang Garviell sudah terbiasa.
"Balik-balik." Kata Garviell, yang artinya kembali ke kelas.
Baru saja Felix akan berbalik, tangannya menyenggol kaleng soda miliknya yang dia simpan di sampingnya, lalu jatuh ke bawah.
"Bangsat! Woi ulah siapa ini?!" Teriak remaja dari bawah sana, naasnya masih memiliki isi walaupun setengah sehingga membasahi kepalanya.
Ketiganya saling bertatapan dan buru-buru minggat dari sana dengan berlari.
Pintu kelas XI-3 terbuka, mendapati keadaan di dalam kelas sangat ricuh. lihat saja, di barisan depan atau sekumpulan cewek sedang menyibukkan diri dengan dengan memakai make-up. Yang lebih parah di antara sekumpulan itu ada satu cowok yang rambut depannya sudah di ikat dan wajahnya sudah di beri makeup tipis-tipis, dan wajahnya terlihat tertekan.
Bagian belakang, para anak cowok terlihat sedang tertawa karena salah satu dari mereka kemarin di kejar orang gila, ada juga yang bernyanyi sambil berdiri di atas meja. Terlihat juga ada satu siswa yang sedang berbaring di atas loker yang memang panjang pas untuk badannya sembari memainkan game di ponsel.
Ketiga sekawan itu terlihat menghela nafas bersamaan. Garviell menggaruk tengkuknya yang memang gatal lalu melirik ke arah Arthur sang ketua kelas, "Sing sabar." Sambil menepuk punggung kawannya dan bergabung dengan yang lain.
Felix memegang pundak Arthur sambil memasang wajah tengil, "Kurang ramai? Tenang saja ada bapak Felix yang akan membantu," Lalu melangkah lebar naik ke atas meja, "Kumaha barudak?"
Sebenarnya Felix bukan asal Sunda ataupun Jawa, dia mengetahui kata-kata itu dari Sadam, salah satu penghuni kelas ini, "Yoi!" Ternyata seisi kelas memang sepemikiran bahkan menjawab kompak.
Garviell mengambil gitar yang ada di bangku mejanya, yang memang ia belum kembalikan ke ruangan seni. Remaja itu menggeser kursi untuk ia dudukkan, menyilangkan kakinya untuk memangku gitar. Jemari panjangnya mulai memetik gitar dan menghasilkan suara yang enak di dengar. Salah satu siswa-Leo, mengetuk-ngetuk meja, lalu semuanya mulai bernyanyi.
Kirain akan bernyanyi lagu barat atau lagu mellow, malahan nyanyi dangdut yang berjudul goyang dumang. Bahkan ada yang menari-nari tidak jelas.
Arthur yang masih berdiri di depan pintu itu memasang raut datar, alisnya menukik lalu menghela nafas.
"Seharusnya dulu gue gak ngajuin diri jadi ketua kelas."
KAMU SEDANG MEMBACA
TURBULENCE
Short StorySebuah perjalanan untuk menemukan jawaban atas tanda tanya masa muda Sepertinya dunia menyuruhku untuk menyerah saja Apakah ada yang mendengarkan? Hanya kegelapan yang tak ada habisnya Garviell hanya anak yang ingin berkuasa atas hidupnya, tanpa ad...