"RIN!"
Mata dari seorang gadis berambut merah panjang itu tiba-tiba terbuka dengan lebar. Ia menatap bayangannya sendiri di kaca rias yang berada di depannya. Ekspresinya percampuran antara kaget dan bingung. Terlebih ketika ia melihat para pelayan berusaha menata rambut dan meriasnya.
Orin kembali membuka matanya di kamarnya sendiri dalam keadaan sedang dirias oleh para pelayannya. Bayang-bayang sang Ayah yang menebas pedang ke lehernya masih teringat jelas di memorinya. Apakah ini surga?
Orin langsung terperanjat begitu mengingatnya. Ia bangkit dari duduknya dan memutar balikkan tubuhnya supaya dapat melihat para pelayannya dengan seksama. Gadis itu berusaha menjauhkan tubuhnya dari mereka dengan ekspresi ketakutan.
"Ilusi apakah ini?" tanyanya. "Apakah kalian malaikat yang akan membawaku?"
Para pelayan itu saling berpandangan dengan bingung. "Nona, apa yang Anda bicarakan? Kami sedang menyiapkan Nona untuk kepergian Nona ke perguruan tinggi siang ini. Tuan Besar sudah memerintahkan untuk mengadakan jamuan terakhir sebelum kepergian Nona. Nyonya besar dan Tuan Muda juga hadir. Apakah Nona lupa?"
Mata biru terang itu melihat mereka dengan panik. Gadis muda itu tiba-tiba berlari keluar meninggalkan para pelayannya yang belum selesai meriasnya. Namun ia tidak peduli. Ia harus berusaha memastikan ini bukanlah ilusi.
Ketika ia sampai di pintu depan, ia dapat melihat butler keluarga mereka sedang mengkoordinasi barang bawaannya untuk menuju perguruan tinggi, sebuah adegan yang ia ingat betul terulang delapan tahun sebelum kematiaannya.
Tubuh gadis itu bergetar begitu memori buruk dari kehidupan masa lalunya kembali terulang di kepalanya.
"Orinnete?"
Suara berat itu mengalihkan fokusnya seketika. Orin menolehkan kepalanya dan mendapati kakaknya, Owen tengah melihatnya dengan tatapan bingung.
"Owen," panggil Orin balik dengan suara bergetar.
Gadis itu berlari menuju kakak sulungnya kemudian memeluknya dengan erat.
"Terima kasih." Ujarnya dengan lirih. "Terima kasih karena selalu menemaniku."
Orin merasakan kebahagiaan yang teramat dalam karena Owen menjadi orang pertama dari antara anggota keluarganya yang ia lihat setelah ia kembali.
***
"Hmm? Kenapa adikku matanya sangat sembap, hmm?"
Onyx, kakak laki-laki kedua Orin tengah menatap gadis berambut merah itu dengan alis mengerut.
"Apa kau khawatir akan merindukanku karena me—"
Plak!
Ucapan pria itu langsung terhenti tatkala Orin menampar keras pipinya.
"H-Hei! Kau ini kenapa!? Sakit tau!" seru Onyx sambil mengusap pipinya sendiri dengan bibir mengerucut.
"Itu bayaran karena kau meninggalkanku." Orin mendecih pelan kemudian berjalan ke bangku miliknya di meja makan.
"Meninggalkanmu? Sejak kapan aku meninggalkanmu? Bahkan aku selalu pamit jika hendak pergi ke akademi! Setiap akhir pekan aku juga selalu pulang!" protes Onyx, tak terima.
"Di mimpiku, kau meninggalkan ku saat aku mau dihukum mati. " Orin memutar bola matanya kesal.
"Mimpimu mengerikan sekali, adikku." Ujar Onyx dengan alis mengerut. Pria itu duduk di bangku sebelah Orin. "Jangan lupa berdoa sebelum tidur."
Mendengarnya, membuat Orin tertegun. Jika apa yang ia alami tersebut bukanlah mimpi, maka Ayahnya tidak akan datang pada perjamuan ini. Seperti yang ia ingat pada mimpi itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Red Strings
FantasyOrinnette kembali mengulang jalan hidupnya yang berakhir mengenaskan. Saat ia berusaha mengubah jalan hidupnya yang kelam, tanpa disangka, ia menemui dirinya terperangkap dalam peristiwa-peristiwa baru yang tak pernah ia alami sebelumnya. Namun, ket...