02. Something Behind The Window

126 24 4
                                    

Kamar no. 8 adalah tempat tinggal yang menampung tiga mahasiswa semester 6 dari Universitas Glasgow, yaitu Darren Villada dari prodi Filsafat; Steven Elder dari prodi Sastra Inggris; dan Benavent Rankin dari prodi Psikologi. Ketiganya adalah sahabat karib sejak kecil dan mereka menyogok kepala asrama agar bisa tinggal sekamar.

Mereka bertiga—memang tak pernah satu pendapat, sering bertengkar, dan saling menjelekkan. Tapi begitulah bagaimana mereka mengungkapkan rasa kasih sayang satu sama lain.

Mulai semester ini, Darren tidak lagi tinggal di asrama karena permintaan neneknya. Selama libur panjang ia sibuk mengurus kepindahan dan kedua sahabatnya harus ikut terlibat dalam proses itu.

Hari ini adalah jadwal yang sudah mereka tetapkan untuk mengangkut barang-barang Darren ke rumah, tapi karena semalam Darren sempat mengalami kecelakaan, Steven dan Benavent harus mengerahkan tenaga mereka dua kali lipat karena tangan Darren terluka. Setibanya di tempat tinggal baru Darren, mereka pun saling membantu untuk menata barang.

Darren berencana untuk menggunakan kamar orang tuanya sebagai kamar barunya, karena kamarnya yang lama terlalu kecil dan didesain untuk anak-anak. Sekarang ia adalah pemuda matang yang tubuhnya sudah bongsor, dan butuh tempat yang lebih leluasa.

Setelah semuanya beres, Darren, Benavent, dan Steven berkumpul di kamar sambil menikmati pai makaroni bersama. Setelah melahap satu sendok besar, Benavent bercerita. "Aku jadi ingat, dulu aku pernah mencuri pai makaroni milik Steven dan ia mendorongku hingga aku jatuh menggelinding dari tangga. Rumah ini menyimpan banyak memori masa kecil kita, Darren!"

"Lalu kepalamu bocor dan setelah itu kau bilang tak mau berteman dengan Steven lagi," lanjut Darren.

"Dan nyatanya, kita memang tidak berteman sampai sekarang. Ya, kan, Venn?" tambah Steven.

Steven dan Benavent melakukan high-five, saling setuju. Benavent menambahkan lagi. "Benar. Kita hanya rekan. Ya, kan? Rekan."

"Ckckck, rekan macam apa yang kemana-mana selalu berdua," Darren terkekeh dan hanya bisa geleng-geleng kepala.

Ketika Benavent dan Steven melanjutkan adu argumen mereka terkait kejelasan hubungan antara keduanya, Darren tak mau ikut campur dan lanjut menikmati makanannya. Sambil mengunyah pai nya perlahan, Darren menatap ke arah jendela kamar yang tertutup rapat, lengkap dengan teralis yang terkunci oleh dua gembok.

Jendela itu adalah satu-satunya jendela di ruangan ini, dan sejak kecil ia tahu bahwa jendela di kamar orang tuanya itu tak pernah dibuka. Sirkulasi udara hanya mengandalkan ventilasi. Sejak kecil Darren tak pernah penasaran dengan hal itu, namun kali ini, ia sadar bahwa itu agak janggal. Mengapa jendela itu seperti sengaja dikunci rapat?

Karena Darren melamun terlalu lama, Benavent dan Steven ikut menoleh ke arah jendela. Steven sampai bertanya, "apa yang kau lihat?"

Tanpa melepas pandangannya, Darren menjawab. "Jendela itu ... tak pernah dibuka dari sejak aku kecil. Dulu itu tidak terasa aneh, tapi kok sekarang aku jadi penasaran mengapa jendelanya harus ditutup serapat itu? Nenek juga tak pernah memintaku untuk membongkarnya."

Keadaan menjadi hening sejenak. Benavent sampai bergerak maju, merapatkan posisi duduk mereka dan mulai berbisik. "Pasti ada suatu rahasia ..."

Pernyataan itu sempat membuat Darren berspekulasi secara rasional, seperti mengira wilayah tempat tinggal itu banyak pencuri atau perampok. Tapi kemudian pemikiran realistis Darren dipatahkan oleh kata-kata Steven.

"Apa kalian ingat tentang legenda iblis dibalik jendela saat kita masih kecil?"

"Heshh opini macam apa itu." Mendengar hal berbau takhayul membuat Darren hampir melayangkan satu piring pai makaroni ke wajah Steven. Untungnya Benavent membantu menghadang.

THE HOLLOWS | yeonjunTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang