Arsyraina || 18

38 17 81
                                    

Written by HasrianiHamz

••°••

Sudah setengah jam pesanku terkirim, tapi tak juga ada balasan hingga sekarang. Ke mana Rasyad? Apa mungkin ia kelelahan sehabis aksi tadi? Ya, bisa jadi. Aku hanya terus memikirkan seperti itu agar tak ada kesempatan bagi rasa khawatir berlebihan datang mengusai.

Lama menunggu balasannya, akhirnya aku memilih kembali ke kamar untuk mengistirahat diri. Rasanya pikiranku memang sedang ingin diistirahatkan setelah dibuat kacau seharian.

Aku pikir setelah merebahkan tubuh, mataku akan ikut tertutup. Nyatanya tanganku masih juga memainkan benda persegi yang pintar ini. Seharian memang aku tidak sempat membuka semua pesan yang masuk. Mungkin ini bisa jadi pengantar tidur, meski rasanya mustahil tidur di awal malam seperti ini karena memang sudah terbiasa dengan jam tidur tengah malam.

Saat keasyikan membuka story teman-teman dan senior satu persatu, tidak sengaja aku menemukan unggahan bang Dion. Salah satu lelaki yang kukenal ketika di acara musyawarah saat itu. Semua story hari ini memang sama, tidak jauh dari dokumentasi aksi demonstrasi yang beberapa memasang wajah terluka dan sedikit berdarah. Wajarlah, 'kan memang pelaksanaannya se-Indonesia, jadi teman-teman dari cabang lain pun pasti ikut semua. Namun yang aneh--oh maaf bukan aneh--tetapi karena dia lain dari pada yang lain. Kulihat dari unggahan lelaki satu ini adalah ...

"Kader yang me-meninggal?"

Mataku membulat membacanya. Jadi, benar ada yang sampai meninggal? Seketika aku teringat dengan perkataan Rasyad malam kemarin.

"Aksi ini aparatnya satu komando dari atas, dipastikan kantor DPRD dan Polres dijaga seketat mungkin. Jangankan luka, kemungkinan terbesarnya akan ada beberapa massa yang dikorbankan untuk menakuti mahasiswa yang lain."

Aku menggeleng mencoba menepis semua pikiran buruk tentangnya. Tidak mungkin, aku yakin dia pasti baik-baik saja, hanya belum sempat memberi kabar sampai sekarang. Namun, sesuatu dari dalam hati seakan menolak itu semua. Kemungkinan terburuknya, dia pasti terluka.

Ah, dari pada pusing sendiri memikirkannya, lebih baik langsung saja kutanyakan. Dan, inilah aku ketika terdorong oleh perasaan khawatir. Aku meneleponnya, tak dijawab. Kucoba mengirim pesan singkat, tak juga ada balasan.

Rasyad ...
Masih aksi kah sampe sekarang?
Sudah boleh pulanglah, besok aja dilanjut 😂

Bagi yang pernah di posisiku, merasa cemas tapi tak kunjung terjawab. Sudah pasti tahu, apa yang tersembunyi di balik emoticon tertawa seperti itu. Ya, aku menyembunyikan kekhawatiran yang teramat besar.

Ketika berhadapan langsung dengan orangnya pun, mungkin aku akan tertawa terbahak-bahak di depannya. Padahal tak ada yang tahu seberantakan apa suasana hati saat ia tak ada kabar.

Hampir dua jam lamanya aku menunggu, sekarang jam sudah menunjukkan pukul 22.46 akan tetapi ponsel itu belum juga menunjukkan tanda akan adanya notifikasi atau dering telepon.

Rasyad, kamu di mana?

Aku tersentak kaget ketika mendengar notifikasi pesan, refleks tanganku meraih benda pipih yang sedari tadi tergeletak di sampingku. Lagi-lagi, aku tertipu oleh harapanku sendiri. Mungkin hanya aku yang terlalu mencemaskannya. Sementara dia di sana malah bersikap biasa saja.

Aku tersenyum, lebih tepatnya menertawakan diriku sendiri. Aku siapa? Mengapa harus sekhawatir ini pada orang yang belum tentu memiliki kecemasan yang sama. Kembali aku mengetik pesan untuknya, hanya permintaan maaf karena mungkin telah mengganggunya. Kemudian aku non-aktifkan ponsel setelah memastikan pesanku terkirim.

Hukum dalam RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang