Has it really been the same for over 200 years? Pt.4

4 1 0
                                    

"H-HAH, APA....??!!!", teriakanku yang keluar dari mulutku secara tiba - tiba, tampaknya menghasilkan bunyi yang lebih keras dari dugaanku. 

Dengan kedua tangan yang menepukkan meja sekaligus badan yang maju ke depan untuk menghadap Let, gerak - gerikku dapat menarik perhatian beberapa murid untuk mengubah pandangannya ke arahku. Meski kesadaran akan suaraku sendiri sudah tampak saat kata itu diucapkan, namun keheningan yang perlahan memusat padaku lah yang menjadi katalis agar tindakan lebih lanjut segera kulakukan. 

"Ehm...", segera kugerakkan tubuhku dengan perlahan pada posisi semula. 

Berdiam sebentar seolah menunjukkan bahwa seruan tadi hanyalah kesalahan kecil, tampaknya yang lain pun segera menghiraukannya. 

"Hah, apa - apaan tadi?", hembusan nafasku berpusat pada rasa malu bercampur bingung yang masih kurasakan. 

Di depanku pun tampak Let yang hanya mengalihkan pandangannya pada meja dengan rasa yang malu juga. 

"Oh ya-", suasana yang bergeser kini kembali terpasang pada topik yang semula. 

"D-dia beneran keluar...?!!", gerakan yang sama namun dengan volume yang lebih kecil kembali kulakukan. 

"A-aku ngga tau juga. Kan udah kubilang kalau aku cuma pernah liat di di TV beberapa kali". 

Perkataannya seolah membangunkan pikiranku yang masih sedikit buram. Memikirkan mengenai namanya seolah membuat segala yang ada di sekitarku menjadi tidak berarti. 

"Oh, iya....", helaan nafas diikuti dengan senderan punggungku pada kursi yang memundurkannya ke belakang sedikit. 

"Kamu bener - bener penasaran sama Kei Hoshikawa itu ya?". 

"Gitulah....", jawaban yang kuberikan masih penuh dengan keraguan. 

"Aku tau kamu udah bilang kalau kamu ngga mau omongin soal dia, cuma untuk masalah kayak gini, apa kamu mau bilang alesannya?". 

Tatapan yang sama masih belum berubah meski setelah kalimat itu ia ucapkan. 

"Mungkin kalau aku tau soal hubunganmu sama Kei itu, aku bisa bantu...?", ia sendiri pun tidak yakin dengan tawarannya sendiri. 

Namun dengan perkataannya itu, kedua bola mataku segera bergeser menatap dirinya. 

"Ya, memang bakal lebih baik kalau aku bilang sih". 

Sepertinya kepasrahan akan situasi ini sudah menyerang diriku secara langsung. 

"Gimana kalau kita bicarain soal ini pas istirahat nanti?". 

"Boleh", Let mengangguk setuju sebelum perlahan membalikkan kepalanya ke depan. 

Seolah memiliki indra kedelapan yang aneh, tampaknya di adalah makhluk pertama yang menyadari kehadiran guru yang baru saja memegang gagang pintu. 

"Berdiri!! Memberi salam!", perkataannya yang tegas segera mengagetkan semua murid yang tidak memperhatikan gerakan kecil yang terjadi di depan. 

Walau begitu, hal yang amat aneh bukanlah ketidaksadaran semua makhluk akan situasi ini. Namun kejelian Let yang bahkan baru dapat kuikuti sekitar dua detik setelah dirinya sadar. 

"Selamat pagi bu Nani!!!", kesorakan dari sekitar tiga puluh murid dapat memeriahkan ruang kelas menjadi keributan yang seragam. 

"Selamat pagi anak - anak. Selamat datang di semester kedua kalian". 

(–) 

Hari Senin memang terkenal sebagai hari yang amat meresahkan bagi banyak makhluk. Meski awalnya aku sendiri pun tidak memahami pemikiran itu secara sesungguhnya, namun pengenalan materi matematika baru pada hari pertama semester kedua dapat mengkonfirmasi kejengkelan mereka akan hari yang terkutuk ini. Bahkan kalau dibandingkan dengan pelajaran lain yang tampaknya sama sulit, tidak dapat kubayangkan penderitaan apa yang harus kualami nantinya. 

Fanciful MonogatariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang