01. Kepulangan

5 2 0
                                    

Ruangan audith yang biasanya sepi lenggang kini riuh akan kabar kepulangan gus Ozyan, putra pertama dari kyai Isak yang sudah 4 tahun tinggal di Eropa bersama sang istri, simpang siurnya beliau berdua kembali karena mematuhi dawuh dari kyai Isak yang hendak menyampaikan sesuatu kepada putra sulungnya, gus Ozyan.

Tidak terkecuali Nayla, gadis berjilab pink muda itu tampak semangat menatap jendela audith yang menampakkan halaman ndalem yang luas, berjaga-jaga jika ada mobil asing yang datang, karena jujur, ia saja tidak tahu rupa putra sulung kyai Isak, keberangkatanya ke Eropa baru saja 4 tahun yang lalu, dan ia baru singgah di pesantren ini 3 tahun silam.

"Kamu ngapain sih Nay disitu, sini deh mending nyemak hafalanku, nanti mau setoran ke ummi soalnya."

"Bentar ya Ra, nanggung banget nih, kayaknya bentar lagi gus Ozyan dateng deh, aku penasaran banget sama dia." Nayla kembali menatap jendela, sedangkan Ara, tak segan segera menyubit lengan gadis itu.

"Istigfar Nayla! Udah punya istri, mau kamu pepet? Istrinya cantik, ning juga, sanadnya baik, hafidzah, hayooo pake jalur apa nanti kamu?" sarkasnya disertai kekehan.

"Ih naudzubillah, ya enggak lah Ra, aku juga tau kali orang kaya aku gak pantes sama yang begituan, tapi kalo ngomongin tentang sanad, sanadku juga baik, langsung dari nabi adam, hehe," cengirnya tak berdosa.

Arana menggeleng, lalu segera menarik tangan Nayla keluar dari ruangan audith, mereka berjalan menuju kearah ndalem. "Dari pada kamu banyak omong, mending kita setoran, udah jam 3 soalnya, takut ummi udah rawuh."

Nayla berdecak sebal, Arana memang terlalu baik jika berteman dengan orang sepertinya, tapi ya sudahlah, hitung-hitung untuk alarm pengingat, ia tetap bersyukur Allah sudah mengirimkan manusia baik seperti Ara.

Benar saja, baru menginjakkan kaki di teras ndalem, sudah terdengar saja suara Adinda yang sedang setoran ke Ummi, itu tandanya beliau sudah rawuh, hilang sudah keinginan Nayla untuk menunggu kepulangan gus Ozyan, perasaan gugupnya justru muncul karena hari ini, adalah setoran terakhir sebelum ia khatam al quran, 30 juz.

"Kamu dulu apa aku dulu Nay?" tanya Arana menawarkan.

"Kamu duluan aja Ra, nanti aku belakangan, ada yang mau dibicarakan sama Ummi soalnya, takutnya kamu nunggu lama," balas Nayla dengan senyum gugupnya.

"Setoran kamu sampe mana sih Nay? Kan aku jadi kepo, kamu sih gak pernah hafalan di kamar," sungut Arana, gadis cantik itu berdecak sebal.

"Udah sana maju, udah habis antriannya, kapan-kapan aja kalo emang udah khatam aku bakal syukuran kok," balas Nayla yang mendapat tatapan tak percaya dari Arana.

Jujur, selama ini Nayla tidak pernah mengizinkan siapapun menyentuh al qurannya, mushaf itu khusus untuknya, dan ia juga tidak mau teman-temannya mengetahui sampai dimana hafalan yang ia setorkan pada ummi, karena dawuhnya ummi, jika suatu hal dapat mengandung ke iri hatian, dan bisa saja berdampak buruk pada kamu kedepannya, mending hal itu disembunyikan saja, dan Nayla menyembunyikan hafalannya, ia takut teman-temannya iri dan menimbulkan 'ain untuknya, naudzubillah.
.
.
.
.

"Sodaqollahul'adzim."  Nayla mengadahkan tangannya, mulai membacakan doa khataman yang pernah ia baca dulu sewaktu ia khatam al quran bin nadzor, sungguh kebesaran Allah hingga sekarang ia bisa membaca doa itu lagi, bedanya kali ini ia membaca untuk khataman bil ghoib.

Ummi Laila menatap Nayla yang sudah basah karena air mata, lalu memeluk erat gadis didepannya, Nayla adalah santri pertama yang dapat menuntaskan hafalannya ketika ia masih dipesantren, lalu baliau mengingat nadzar yang pernah ia buat dengan kyai Isak waktu pertama kali membangun pesantren ini.

"Terimakasih Nayla, ummi sangat bangga sama kamu, kamu kesayangan ummi, akhlak kamu sangat mencerminkan wanita muslim yang shalihah." Ummi mengecup kepala Nayla, mengusap lembut pundak gadis itu.

"Aamiin ummi, terimakasih, semoga jasa ummi kelak dibalas oleh Allah," ucap Nayla menunduk.

"Nak, setelah lulus kamu hendak kemana?" tanya Ummi pelan, beliau tahu pertanyaan ini berat untuk dijawab oleh Nayla.

"Nayla tidak tahu Ummi, Nayla tidak punya siapa-siapa lagi, kalau pun harus pindah, Nayla akan ngekost dan cari kerja, agar tetap bisa kuliah," jawab Nayla sekenanya, itu pun jika ia mampu dan Allah mengizinkan, batinnya perih berucap.

Ummi Laila menatap iba, beliau menggenggam tangan Nayla erat, menyalurkan kekuatan disana, Nayla hanya dapat tersenyum dan menunduk lagi.

"Ummi sayang sama kamu Nayla, kamu tinggal disini saja ya, di ndalem, ummi akan kuliahin kamu, sampe kamu bener-bener bisa menggapai cita-cita kamu, kamu gak usah khawatir, segala biaya hidup kamu akan ditanggung, mau, ya?" Binar harap wanita berumur 45 tahun itu membuat Nayla tercekat, ia kembali menangis, terisak, tersedu-sedu, ia bimbang hendak memilih jalan yang mana.

Disatu sisi ia ingin sekali menerima ajakan dan tawaran ummi Laila yang tampak sangat tulus menyayanginya, namun disisi lain ia sangat sungkan dan tidak enak hati kepada ummi Laila dan kyak Isak karena selama tiga tahun ini ia selalu menumpang dan merepotkan keduanya, dan sekarang, ia diminta untuk terus tinggal di pesantren ini, lebih tepatnya di ndalem, dengan janji ia akan dikuliahkan pula, apakah patut seorang murid diperlakukan seperti ini oleh gurunya?

"Nayla, ummi gak maksa, kamu bisa memikirkannya lagi tawaran ummi kali ini, tapi masih ada tawaran yang gak akan bisa kamu tolak, semua ini sudah menjadi nadzar Ummi dan Kyai Isak, maaf ya jika terkesan memaksa, tapi ini yang terbaik untuk kamu."

Nayla mendongak, menatap ummi Laila dengan nafas yang masih menderu, detak jantungnya kini tak beraturan, apa tawaran yang dimaksut oleh ummi Laila? Mengapa ia tidak boleh menolaknya? Tidak biasanya ummi Laila memberikan tawaran yang sedikit memaksa seperti ini.

"Kalo boleh tahu, apa ya Ummi?" cicit Nayla.

"Kamu akan menikah Nayla."

Deg. Ada perasaan aneh yang tiba-tiba hinggap, tubuh Nayla seakan jatuh dalam inti bumi, jantungnya berdegup kencang, bibirnya kelu, tak dapat berucap satu patah kata pun. Ia membeku, kepada siapa ia dinikahkan?

"De-dengan siapa ummi?"

Ummi menatap sungkan, "Dengan anak sulung saya Nayla, Ozyan, maka dari itu hari ini dia kembali dari Eropa, karena kyai Isak sudah bernadzar dulu, kelak santri pertama yang dapat menyelesaikan hafalannya, akan kita nikahkan dengan putra kita, dan waktu itu ummi sedang mengandung Ozyan."

Lidah Nayla kelu, tubuhnya lemas mendapati kenyataan yang ia saja bingung hendak bersyukur atau tidak, ia adalah seseorang yang masih jauh ilmu agamanya, dan menjadi seorang ning adalah perkara berat, banyak beban yang akan dipingkul diatas pundak, lagipula, ia akan menikah dengan seseorang yang sudah beristri, dan sebagai wanita ia tidak ingin menyakiti hati wanita lain pula.

"Ummi, saya masih jauh dari ilmu agama, dan gus Ozyan sudah menikah bukan?"

"Tidak usah fikirkan itu Nayla, semua tergantung kamu siap atau tidak." Nayla terdiam, ia kalah telak, ummi benar, semua tergantung pada dirinya sekarang.

"Assalamualaikum."

Dan ditengah keheningan tersebut, datang seseorang yang justru sekarang tidak ingin Nayla temui.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 31 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Elegi NaylaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang