Hujan lebat membuat ruangan yang sempit penuh dengan nuansa dingin.
"Harus hari ini, Bang." Seorang pria paruh baya yang mengenakan sarung dan peci yang sebelumnya bolak - balik disebuah ruangan remang - remang kembali duduk menghadap laki - laki tua yang wajahnya sudah menunjukkan kelelahan berpikir.
"Tidak bisa, Saleh. Kita belum siap untuk merubah banyak hal. Kita tertinggal untuk sebuah percepatan." Mata laki - laki yang sayu tersebut ternyata masih memancarkan aura perjuangan, walaupun sudah redup sinarnya.
"Bang, kita ini bukan ketinggalan, rakyat kita sengaja ditinggalkan!" Saleh memukul meja, meja yang dimana Saleh dan laki - laki tersebut duduk.
"Untuk agama yang kamu cintai sangat dalam, Istighfar kamu!"
Saleh yang semula warna mukanya merah padam, kini mengeluarkan air hangat dari kedua matanya. Ia berdiri dan duduk di pojok ruangan, seperti dalam posisi mengantuk layaknya siswa baru yang baru saja menyelesaikan kitab kuning. Wajahnya kembali menguning.
"Saleh, saya tahu kamu risau. Tapi ini bukan satu - satunya cara. Pendidikan yang baik hari ini masih menjadi barang mewah, kamu ngerti politik karena lingkungan kamu membentuk dan mendukung kamu. Kalau semuanya dilakukan hari ini, rakyat bingung. Kekacauan sudah mulai terjadi-"
"Bang, untuk semua hormatku atas perjuangan abang, kita sudah tidak bisa menunggu. Mau berapa banyak lagi orang gugur demi ide - ide yang kita perjuangkan selama ini?" Saleh yang semua menunduk menaikkan kepalanya.
"Saleh, mereka gugur bukan karena ide yang mereka tawarkan, mereka gugur karena cara melawan mereka." Laki laki tersebut membalas dengan datar, Saleh pun kaget.
"Sepertinya, abang yang harus istighfar. Mereka itu adik - adik abang, rekan - rekan saya, bahkan ada yang lebih muda dari saya. Yang seharusnya tugasnya adalah menulis, berkelana cari ilmu, bukan teriak - teriak seperti saya." Saleh berdiri, muka merah meronanya muncul kembali.
Laki - laki tua tersebut berdiri, kemudian duduk diatas meja, menatap lamat - lamat Saleh. Sebelum berbicara, dia mengambil gelas yang airnya sudah tinggal sepertiga karena hentakan tangan Saleh yang membuat air tersebut keluar.
"Karena saya tahu mereka wafat bukan karena ide, maka itu saya merasa bukan hari ini. Setiap mereka disholatkan, atau prosesi masuk peti, atau yang lain, teriris hati saya. Saya menghadap orangtua mereka untuk menenangkan atau mengucapkan belasungkawa dan perkataannya selalu sama, apa salah anak saya?"
Saleh kemudian duduk lagi mengusap wajahnya yang sudah tidak bisa terkendali karena air matanya akan turun lagi. Laki - laki tersebut jongkok menghadap Saleh.
"Saya tidak tahu Saleh, tidak tahu jawabannya. Sepanjang malam, berbulan - bulan saya memikirkan. Apa salah anak mereka, dari mereka bahkan ada yang terlampaui emosional sampai bicara, kenapa bapak masih memakai sepatu dan bisa membuka hingga kaos kaki sementara anak saya terbujur kaku dan bahkan memakai celana dalam tidak bisa? Hancur saya Saleh."
Laki - laki tua tersebut kemudian terduduk, antara ambruk emosionalnya atau memang sudah tua saja.
"Saya tidak tahu Saleh, tidak tahu apakah yang dilakukan adalah mutlak kebenaran atau kita punya alternatif lainnya. Yang pasti, kesedihan mereka tidak berujung. Jika kita menang hari ini, terus bagi mereka selanjutnya apa? Kemenangan yang sama dirasakan oleh kita? Jika selanjutnya mereka dikenang atas sikap heroiknya oleh banyak orang, terus yang diharapkan oleh orangtua mereka apa? Bisa saja yang diharapkan orangtua mereka adalah menjadi seniman, insinyur, atau bahkan menjadi montir. Hidup bersama hingga tua. Saya lelah, Saleh."
Laki - laki ternyata memang sudah ambruk secara emosional, bukan hanya tua. Dia mulai menangis. Sementara ada suara ketuk pintu dari luar.
"Pak Hazeer, Gus Saleh? Baik - baik saja kan?" Suara seorang pemuda dari balik ruangan memastikan keadaan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Messenger, The Announcer, and The Choosen One
Science FictionSeorang mantan Walikota dan Direktur Jenderal Lembaga Khusus United Nations dikabarkan masuk bursa Cawapres Untuk Pemilihan Presiden 2026. Sosoknya diminati oleh banyak Capres, membuat dia harus berkolaborasi lagi dengan kedua sahabatnya sewaktu SMA...