III. Damaria

5 0 0
                                    

Bis yang ditumpangi Aria untuk pulang malam itu menjadi saksi bisu dari kesedihannya.

Sebelumnya, ia buru-buru pergi meninggalkan pria di depan toko bukan karena takut atau pun enggan berbincang lebih lama. Melainkan karena dirinya yang sudah tak sanggup menahan air matanya agar tidak menetes.

Semoga saja, orang itu tak menyadari matanya yang sempat berkaca-kaca. Dia pasti akan sangat bingung jika Aria tiba-tiba saja menangis tanpa mengetahui alasan yang sebenarnya.

Pertahanan Aria pun runtuh sepenuhnya sesaat setelah masuk bis. Tidak sedikit jumlah kursi yang tak berpenghuni. Meski begitu, wanita tersebut langsung mengambil tempat duduk di baris belakang dan hanya melihat ke arah jendela sepanjang perjalanan.

Sepinya penumpang tidak membuat Aria bisa bebas mencurahkan isi hati dan juga emosinya begitu saja. Ia tetap berusaha keras agar tangisannya jangan sampai terdengar oleh siapa pun.

Kendaraan itu terus melaju sementara dirinya terisak di kursinya. Kedua pipinya basah berkat air matanya yang sudah rembes sejak tadi.

Aria benar-benar diliputi emosi yang bercampur aduk saat ini. Seakan tak punya pilihan lain, ia hanya bisa menangis selagi berharap setiap air mata yang mengucur mampu meringankan sedikit beban yang ada di hati juga pundaknya.

Ia pikir dirinya sudah baik-baik saja. Tapi yang terjadi malah sebaliknya.

Rasanya sulit untuk sekadar menghentikan tangisnya. Ia lelah harus terus berhadapan dengan luka beserta kehilangan yang telah merenggut kebahagiaannya.

Setiap tarikan napas bahkan terasa membebani.

"Pa, aku ternyata belum bisa tanpa Papa."

◦ ❖ ◦

Jalanan di kawasan Gajah Mada memang tak pernah berubah. Bagi Aria yang sudah akrab dengan kawasan tersebut semenjak masih kecil, rasanya jelas tak asing dan cenderung menjadi biasa saja seiring dirinya bertumbuh dewasa.

Tapi bagi mereka yang tidak "hidup" berbarengan dengan lingkungan yang sama, kemungkinan besar akan menganggapnya sebagai sesuatu yang cukup luar biasa.

Seperti halnya Damar, laki-laki yang semalam datang untuk mengecilkan jas ayahnya dan bertemu Aria di depan toko mendekati jam tutup. Pagi ini, ia kembali menyusuri kawasan Gajah Mada demi mendatangi toko jahit Aria. 

Kendaraan roda empat yang dibawa Damar sengaja ia parkirkan agak jauh karena takut menghalangi area depan toko yang juga merupakan badan jalan.

Hal itu dilakukan olehnya bukan tanpa alasan. Sebelumnya, Damar pernah punya pengalaman kurang menyenangkan karena "sembarangan" parkir sampai terkena omelan sang pemilik usaha yang merasa dirugikan dengan adanya mobil di depan toko mereka.

Mobilnya dianggap menghalangi toko dan juga orang-orang yang hendak berbelanja.

Sungguh, Damar sama sekali tidak berniat untuk melakukan hal itu. Lagi pula, ia juga bukannya sengaja parkir disana layaknya orang yang tak tahu adab. Ia parkir karena sekalian berhenti untuk membeli sebungkus rokok, tapi pemilik toko lebih dulu memintanya untuk memindahkan mobil sesegera mungkin dengan cara yang tidak bisa dibilang ramah juga.

Peristiwa itulah yang membuat Damar lebih berhati-hati sekarang.

Tak apa ia harus mengerahkan sedikit tenaga untuk berjalan dari pada harus menghadapi sikap serupa yang ditunjukkan oleh pemilik toko yang ditemuinya tempo hari.

Alhasil, pagi ini Damar menyusuri kawasan Gajah Mada dengan berjalan kaki. Tentu saja, sambil masih menenteng kantong kresek biru berisi jas ayahnya.

Sesampainya di toko, ia melihat dua orang pria dan wanita yang tampak sudah cukup berumur. Mereka menyapanya dengan ramah, dan Damar tentu saja menyambutnya dengan cara yang sama.

Home Is Where You AreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang