V. Easily

4 0 0
                                    

Tiga bulan telah berlalu. Begitu cepat dan tak terhitung.

Tapi tak peduli seberapa cepat waktu berlalu, Aria masih menanti hari dimana ia akan benar-benar bisa menyembuhkan lukanya yang saat ini masih "basah" akibat ditinggal sang ayah.

Kala ia mengira lukanya sudah mengering, selalu ada hal yang membuatnya menangis setiap kali teringat tentang pria yang dipanggilnya dengan sebutan "Papa" itu. Janji-janji yang belum terpenuhi, rencana yang ingin ia wujudkan, serta tentu saja, kenangan-kenangan dari masa lalu (terutama dari masa kecilnya) yang tak bosan muncul setiap kali Aria tengah termenung atau bahkan memiliki sesuatu untuk dikerjakan.

Kata-kata Damar benar adanya. 

Berurusan dengan yang namanya duka memang nggak pernah mudah.

Tapi sampai kapan? Sampai kapan ia harus hidup dengan menyedihkan seperti sekarang?

Aria sudah sangat lelah menjalani berbagai aktivitas di siang hari. Dan saat malam tiba, ia justru lebih sering terjaga hingga dini hari. Semuanya berakhir saat Aria akhirnya tertidur karena kelelahan menangis.

Sejujurnya, senyum yang ia tunjukkan kepada orang-orang yang ditemuinya pun tidak sepenuhnya tulus. Aria jelas butuh tenaga ekstra supaya tetap terlihat ramah. Sebab, mustahil juga baginya untuk terus-terusan terlihat tidak memiliki semangat untuk hidup, meski kenyataannya memang itu yang dirasakan olehnya akhir-akhir ini.

Sama halnya seperti pertemuan pertamanya dengan Damar tempo hari. Air matanya ia tahan setengah mati supaya tidak sampai terjatuh dan terlihat cengeng di depan orang tak dikenal.

Tapi anehnya, pertemuan kedua mereka di keesokan hari terasa berbeda.

Semuanya mengalir dengan mudahnya. Ia tak perlu berusaha keras untuk menampilkan sisi terbaiknya saat sedang berinteraksi di hadapan banyak orang. Pertama kalinya dalam beberapa bulan ini, Aria tak merasa sendiri.

Ia ingat bagaimana dirinya bisa menceritakan banyak hal yang berkaitan dengan ayahnya sembari disertai senyum serta gelak tawa saat sedang bersama Damar.

Laki-laki tersebut seperti mampu menyerap kesedihannya untuk dibuang entah kemana walau hanya sementara. Dunianya tak lagi semuram biasanya.

◦ ❖ ◦

Kemarin, sekembalinya Aria dan juga Damar dari kegiatan jalan-jalan singkat mereka, jas yang dibawa oleh pria itu ke toko jahit juga sudah selesai diperbaiki. 

Damar terlihat sumringah saat Bi Ira menyerahkan jas milik sang ayah yang ia minta untuk dikecilkan saat datang pagi tadi. Aria ikut senang mengetahui hal tersebut.

Perfect timing. Bukan apa-apa, ia hanya turut berbahagia saat tahu Damar tidak harus menunggu lebih lama. Meski sejujurnya, hatinya merasa sedikit sedih. Karena berarti, waktunya bersama Damar telah selesai untuk hari ini.

"Makasih banyak sudah ajak saya jalan-jalan," ujar Damar dengan senyumnya yang menenangkan. "Bu, saya juga makasih karena sudah dibantu perihal bajunya. Jadinya berapa?" tanyanya lagi setelah beralih dari Aria ke Bi Ira.

Sesudah wanita lanjut usia itu menyebutkan nominal uang tertentu, Damar lantas mengeluarkan dompetnya dan mengambil selembar uang seratus ribuan.

"Tolong simpan kembaliannya. Anggap saja tanda terima kasih saya karena sudah dilayani dengan amat sangat baik, sekaligus diajak berjalan-jalan oleh Aria hari ini."

"Loh, Le? Ini terlalu banyak-"

"Dam, astaga! Apaan sih, gak usah-"

Aria dan Bi Ira bersahut-sahutan memprotes aksi Damar yang terkesan cukup berlebihan. Akan tetapi, Damar juga enggan mengurungkan niatnya. Ia sama sekali tidak keberatan untuk membayar lebih, murni karena ia merasa senang dengan pelayanan di toko jahit Aria.

Home Is Where You AreTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang