Sebenarnya, Kanaya Thalita Prasetya bukanlah satu-satunya gadis cantik yang kutemui di sekolah. Tapi jika aku mengatakan dia tidak cantik, tentu saja aku berbohong. Seiring berjalannya waktu dan intensitas pertemuan, aku jadi semakin yakin, bahwa kemungkinan besar 'buyutnya buyut' Naya itu pasti ada yang turunan Arab. Maksudku, Naya memiliki paras cantik khas perempuan timur tengah, yang tidak kutemukan pada wajah orang tua maupun kakaknya.
"Setelah dilihat-lihat, aku baru sadar, ternyata kamu mirip orang timur tengah." Ucapku dalam perjalanan menuju sekolah.
Naya mendadak tersipu-sipu, "Itu artinya aku cantik dong?" entah itu berupa pertanyaan atau pernyataan, yang jelas, dia berucap sambil merapikan bergo-nya seperti salah tingkah.
"Kenapa begitu?" Tanyaku.
"Ya 'kan perempuan timur tengah itu terkenal cantik-cantik."
Aku menggaruk tengkuk leher yang sama sekali tidak gatal, mencoba mencari jawaban terbaik. "Ya gak gitu juga." Oh, ayolah, terlalu berat jika aku harus mengakui kecantikannya secara langsung. "Maksud aku, mungkin kah kamu adalah keturunan para pedagang Arab yang datang ke Indonesia waktu itu?"
"Mana kutahu." Sahutnya.
"Tapi kak Adit matanya agak sipit." Kataku lagi.
"Terus kamu kira kalau kak Adit juga keturunan para pedagang Cina yang waktu itu datang ke Indonesia?" Aku tertawa atas ucapan Naya yang memang benar kupikir begitu.
Dari perkenalan pertama hingga usia anak SMP, obrolanku dengannya tidak pernah menyinggung perkara yang serius. Seserius-seriusnya obrolan, mungkin hanya sebatas membahas makanan yang ujung-ujungnya mengundang pertikaian yang tidak penting. Oh ya, kami bersekolah di SMP 1 Nusa. Sekolah umum berbasis islam dengan gelar Standar Nasional. Aku memilih sekolah itu atas rekomendasi dari bapak yang berprofesi sebagai penjual sayur kecil-kecilan di pasar sedari pagi hingga siang hari, dan akan menjadi guru ngaji di sebuah madrasah pada malam hari.
Tadinya ia memintaku untuk masuk pesantren, namun aku menolak. Sebab aku belum siap dengan berbagai mata pelajaran yang biasanya disuguhkan kepada para santri. Ya, sebagaimana bapak yang mendalami ilmu agama, dia juga ingin anak-anaknya demikian. Jadilah aku menuruti kemauan bapak yang ini. Setidaknya, aku tetap belajar mata pelajaran umum meski tata tertib di sekolah sangat menjunjung tinggi nilai-nilai islami. Sedikitnya hal ini bisa dilihat dari diwajibkannya para siswi untuk mengenakan bergo, mengingat di tahun itu sangat jarang sekali sekolah yang mengeluarkan aturan yang sama. Selain itu pembagian kelas yang memisahkan murid laki-laki dan perempuan, dan masing-masing dari laki-laki dan perempuan tidak boleh saling mengunjungi kelas tanpa alasan yang jelas, kecuali di kantin sebab kantinnya hanya ada satu.
Saat ditanya akan melanjutkan ke SMP mana oleh Naya, aku menjawab dengan pasti. "Satu Nusa."
"Kenapa?"
"Disuruh bapak."
"Ya udah, aku juga."
"Apa?"
"Mau sekolah di sana."
"SMP satu Nusa?" tanyaku sekali lagi, dan Naya mengangguk. "Yakin?" kali ini aku ingin lebih memastikan.
"Iya, aku mau ikut kamu." Begitulah Kanaya. Selalu mengikutiku bahkan dalam hal pendidikan.
Aku sendiri tak menyangka bisa berkenalan sejauh ini dengannya. Semua gara-gara pohon jambu milik pak RT. Di hari-hari berikutnya setelah aksi konyolku terciduk oleh Naya, aku semakin berteman baik dengannya, dengan dia si gadis cengeng yang memiliki kebiasaan mencubit atau menarik rambutku baik dalam keadaan senang maupun kesal. Omong-omong soal tarik menarik, aku jadi teringat saat satu bulan pertama kami menyandang status pelajar SMP.
"Aduh!" Aku sedikit meringis ketika tiba-tiba saja rambutku ditarik seseorang dari belakang. Tak perlu bertanya-tanya siapa dia, aku sudah tahu, satu-satunya makhluk di dunia ini yang berani melakukan itu ialah Kanaya. "Apaan sih, Nay?"
"Kamu kok gak nungguin?" protesnya karena hari itu kami tidak berangkat bersama. Lebih tepatnya, aku pergi duluan.
Aku kembali mengunyah makan siang ku. "Habisnya kamu lama. Jadi aku tinggalin."
"Jahat banget!" Dengan wajah ditekuk dan bibir yang sedikit dibuat maju, Naya menduduki kursi tepat di seberangku.
"Iya, iya, maaf. Lagian, kalau aku bilang bangun pagi ya bangun pagi." Aku mengalah untuk meminta maaf.
"Ya, 'kan, semalam aku begadang gara-gara bikin peta." Jelasnya sambil membuka kotak makan yang ia bawa.
"Udah selesai?" Naya menggeleng. "Belum. Kamu mau bantu?"
"Boleh, tapi nanti pulang sekolah aku ada ekstrakurikuler."
"Gak pa-pa, biar nanti malam aku ke rumahmu."
Aku mengangguk, "Oke."
"Sekalian kerjain tugas matematika ya, kerajinan juga."
"Kok ngelunjak, ya?" yang kulihat setelah itu ialah cengiran khasnya yang entah sejak kapan menjadi salah satu hal yang selalu kuingat hingga kini. "Kan sekalian, Sal."
Sesuai apa yang sudah dibicarakan, malam itu Naya mendatangi rumahku untuk mengerjakan tugas sekolah. Jarak rumah kami sebenarnya tidak terlalu jauh. Hanya saja rumah Naya berada di kompleks perumahan elit, sedangkan rumahku berada di kawasan gang kecil yang bisa dikatakan sedikit kumuh, rawan anak brandalan, dan terdiri dari rumah-rumah usang yang ukurannya jauh lebih kecil dari rumah mewah Naya.
Aku yang kelelahan sebab baru pulang mengikuti ekstrakurikuler sepak bola, harus dengan sabar membatu Naya mengerjakan tugasnya. Tak main-main, jauh dari kata bercanda, dia benar-benar membawa setumpukan tugas untuk aku kerjakan.
"Kenapa banyak banget?!" Tanyaku menahan pekik.
"Ini tugas yang harus selesai bulan ini, Sal."
"Belum ada yang selesai satu pun?" Naya menggeleng, dan aku pasrah. Melihat sorot matanya yang memelas, aku selalu tidak punya alasan untuk menolak. Mungkin, aku terlalu menyayanginya. Sama seperti aku menyayangi adikku sendiri.
[]
A/N: Terimakasih sudah bersedia membaca... Cerita ini mengandung konten religi, ditulis dengan alur mundur. Jadi jangan bingung sebab banyak flashback ya... Semoga penasaran dengan kelanjutannya :)
KAMU SEDANG MEMBACA
Maaf Telah Mencintaimu
RomanceAku tak pernah berpikir buruk mengenai cinta yang tak terbalas. Karena bagaimanapun kita sama-sama jatuh cinta, hanya saja jalanku dalam mencintainya terlalu terjal, landai, dan menukik tak terkira-kira. ~Faisal