"Dalam setiap pecahan cermin batin, tersembunyi kekuatan untuk menjadi lebih baik. Kita hanya perlu melihat melewati retakannya untuk menemukan keindahan yang sejati."
***
Cipratan air hujan yang jatuh mengenai ujung-ujung kakinya, hembusan angin dingin yang menerpa paras cantiknya, bersama dengan segelas teh hangat yang sejak tadi diseduhnya. Ia menatap kosong lalu lalang kendaraan, memorinya seakan menarik paksa mengingat jalan kenangan ini. Ya, tak jauh dari jalan ini sekitar satu kilometer terletak rumah paling meneduhkan milik pria yang Rania kagumi bertahun-tahun lamanya. Sejenak ia mendesah, memejamkan mata dan menarik napas dalam, berusaha kembali pada kenyataan saat ini, membuang perasaan aneh yang mengganjal dalam hatinya.
"Mbak! Ayo ke seberang jalan, kita sholat dhuhur dulu di Mushola POM itu." Panggil sang adik, Tiara namanya. "Itu Bapak sudah di sana, biar Ibu di sini menunggu barang-barang kita". Lanjutnya menjelaskan. Seketika bayangan masa lalu Rania ikut buyar bersamaan dengan ajakan Tiara, anak perempuan kedua bapak ibu yang terpaut lima tahun usia dengannya.
Rania mengangguk pelan, lalu bangkit dan mengambil mukenanya. Kemudian, mereka menerobos rintiknya hujan menuju Mushola.
***
Rania Zakiyah, seorang wanita muda berusia seperempat abad yang merupakan putri sulung dari keluarga sederhana dengan aura kelembutan yang nampak namun justru terlihat rapuh. Matanya yang cokelat sedikit gelap mencerminkan kebijaksanaan dan kelembutan hatinya, tetapi juga menampakkan jejak ketidakpastian dan keraguan yang tersembunyi di dalamnya.
Warna-warna soft dipilih untuk ia gunakan sebagai tone outfit pakaiannya sehari-hari. Tampil dengan sederhana dan seadanya tanpa perhiasan atau make up yang mencolok seakan menjadi ciri khas dan mencerminkan kepribadiannya yang rendah hati. Dari caranya berpakaian itu justru memancarkan aura kelembutan dan kehangatan sehingga tak jarang menarik perhatian orang-orang di sekitarnya.
Sayangnya, tidak semua orang terpikat dengan kelembutan dan kehangatan dalam diri Rania. Athaya salah satunya, Rania tak mampu menarik perhatian pemuda soleh itu. Dia adalah sosok yang Rania harap-harap akan menjadi pelengkap kehidupannya kelak.
Bukan tanpa alasan, Rania hampir menjatuhkan hatinya dalam kurun waktu yang tidak sebentar pada seorang anak Adam itu. Athaya Azhar lengkapnya, namanya begitu indah untuk sekadar diucapkan maupun didengar oleh Rania. Sosok laki-laki yang telah lama memikat hati Rania hanya dengan kepribadian yang hangat, namun berkarisma.
Postur tubuhnya yang tinggi tegap terlihat gagah dan kuat, dengan tatapan mata yang tajam namun juga meneduhkan seakan menyiratkan penuh kebaikan dan pengertian. Pada wajahnya terukir ekspresi kebijaksanaan dan kedewasaan, menunjukkan bahwa ia adalah sosok yang bijaksana dan bertanggung jawab. Senyum manisnya yang ramah mampu menghipnotis orang-orang di sekelilingnya merasa aman, nyaman, dan dihargai keberadaannya. Tak heran, jika bukan hanya Rania yang mengaguminya, tapi hampir sebagian kaum hawa di sekitarnya juga pernah menaruh hati pada pria ini dalam diam.
Bahkan hanya dengan gaya berpakaian Athaya yang rapi namun terlihat santai saja sudah cukup enak dipandang, sebab mencerminkan kepribadiannya yang ramah dan mudah bergaul. Padahal, ia jarang memperhatikan penampilannya namun selalu tampil dengan keterbukaan dan sikap yang penuh percaya diri.
Di mata Rania, sosok Athaya seakan tak ada celah kekurangan, terlebih wawasan luas Athaya seakan mampu mengimbangi pola pikir Rania. Namun yang paling menarik dari Athaya adalah kepribadiannya yang hangat dan perhatiannya yang tulus terhadap orang di sekitarnya. Ia adalah sosok yang selalu siap mendengarkan dan memberikan dukungan dalam hal kebaikan kepada siapa pun yang membutuhkannya. Keberadaannya seakan memberikan kedamaian dan kebahagiaan bagi mereka yang berada di dekatnya, termasuk Rania yang mengaguminya dengan segenap hati meski rasanya seperti sepihak.
***
Ruangan berukuran 4x4 meter dengan nuansa cream pada dindingnya, tidak cukup luas namun juga tidak terlalu sempit. Duduk seorang perempuan berhijab hampir senada dengan cat tembok kamarnya di tepian kasur. Memandang kosong ke arah luar jendela yang terbuka lebar. Menampilkan cahaya senja yang mulai memudar, meninggalkan jejak-jejak warna jingga dan ungu di langit yang terhampar luas di depannya. Pemandangan menenangkan kala menjemput sang surya berganti itu tidak cukup mampu mengusir bayang-bayang kepingan masa lalu yang tidak sengaja kembali merayap dalam hatinya.
Ia merasa terjerat dalam keheningan yang menyiksanya. Jari-jemari yang lentik dan mulai kurus itu memegang secarik foto yang sudah lama tersimpan rapi dalam laci. Potongan polaroid itu adalah gambaran dari bagian dirinya yang menyakitkan, hingga kini terus menghantuinya seperti bayangan yang tak pernah pergi meninggalkan langkah kaki.
Rania memandang bukti dokumentasi penyakitnya dengan mata yang nanar dan tatapan kosong, ia meresapi setiap detail rasa sakit yang dialaminya. Wajah mudanya yang penuh harapan, senyumnya yang tulus merekah, dan keteduhan yang terpancar dari matanya kini semuanya luruh tergantikan rasa putus asa yang menjalar. Bibirnya bergetar menahan isak tangis yang siap berjatuhan membasahi pipinya, perasaan sesal dan kesal menyeruak di dalam hatinya.
Mata cokelatnya masih terpaku dan enggan untuk beralih pada objek lain. Seakan ia merasakan tengah memandang sebuah pecahan cermin batin yang hancur. Setiap retakan di dalamnya adalah kenangan yang menyakitkan, kegagalan yang memilukan, dan ketidakpastian yang melumpuhkan. Dan di antara retakan-retakan itu, Rania merasa dirinya seperti terperangkap, tidak mampu melangkah maju ke arah masa depan yang lebih cerah.
Rania merasa harapannya kian pupus, sebab besar kemungkinan apa-apa yang telah diusahakan selama bertahun-tahun tidak akan terwujud menjadi nyata. "Lantas akan seperti apa dan bagaimana masa depanku nanti? Apakah akan ada seseorang yang mau dan mampu menerimaku dengan uluran tangan terbuka? Meski ternyata aku bukanlah perempuan yang sempurna, perempuan yang istimewa, dan aku berbeda tidak seperti perempuan-perempuan sehat lainnya di luar sana." monolog Rania dalam hati. Rentetan pertanyaan dan pernyataan itu cukup menyesakkan dada dan jika suara pilunya terdengar telinga orang lain barangkali mampu mengundang belas kasihan mereka padanya.
Entah sudah berapa banyak tetesan air mata yang jatuh dan ia biarkan luruh membasahi wajah putih pucatnya, entah sudah berapa kali matanya bengkak dan hidungnya memerah, entah sudah berapa lama isakan tangisannya terdengar memuakkan di telinganya sendiri sebab keputusasaan. Rania merasa terjebak dalam pusaran gelap yang menghimpitnya tanpa ampun. Di hadapannya, masa depan tampak tak berujung, seakan menggantung di atas kepala dengan benang yang semakin tipis dan siap putus kapanpun. Setiap langkah yang dia ambil terasa seperti melawan arus deras yang tak terkendali, membuatnya semakin terbenam dalam jerat ketidakberdayaan diri yang menekannya.
Di tengah gejolak emosinya yang belum mereda sepenuhnya, Rania berusaha meraih secercah harapan yang tersisa. Ia menyadari, bahwa kehidupan akan terus berjalan, tidak peduli seberapa sakit menjadi dirinya. Meski dengan langkah kaki yang tertatih-tatih kala melewati retakan-retakan cermin batin, ia harus mampu menahan perihnya untuk menjemput kebahagiaan di ujung jalan sana.
***
Jangan lupa vote, comment dan follow ya guys!!! :-D
KAMU SEDANG MEMBACA
Pecahan Cermin Batin
Romance"Tiara, Mbakmu itu udah pinter, cantik, karirnya bagus, sikapnya baik banget, ke adiknya juga loyal. aku penasaran apa ya kira-kira ujiannya Mbak Rania?" Celetuk Zahra, teman Tiara. "Jodoh, itu ujiannya Mbakku." Jawab Tiara dengan mantap. *** Ini te...