4

37K 1.5K 0
                                        

“Ck, gitu aja kalah,” sindir Shiren dengan santai, berdiri dengan tangan terlipat, memandangi Kevan yang baru saja kalah dalam balapan melawan Haikal, ketua geng Vernas.

“Lo gak usah ngeledek. Emang lo bisa menang balapan? Kalau enggak, mending diem.” Kevan mendengus, wajahnya penuh kekesalan.

Rian yang berada di samping Kevan menimpali, “Lagian lo ngapain bawa si Queen Bully ke sini?”

“Disuruh nyokap. Gue juga males, tapi disuruh, ya bawa aja,” sahut Kevan cuek.

Tanpa banyak bicara, Shiren melangkah ke arah motor Kevan dan menyalakan mesinnya. “Pinjem motor lo,” katanya singkat.

“Hah?! Eh—WOI!” Kevan belum sempat menarik napas, Shiren sudah meluncur ke arena balapan di depan markas Black Blood, membuat semua mata tertuju padanya.

“Berulah lagi tuh anak,” gumam Ten sambil menggeleng pelan.

“Turun! Lo ngapain? Lo gak bisa bawa motor, apalagi balapan!” Kevan mengejar, panik.

Shiren menoleh dengan tenang, “Gue bakal tunjukin cara menang balapan.”

Dia mengeluarkan segepok uang dari dalam tas kecilnya dan menaruhnya di atas kap mobil terdekat. “Ini, seratus juta buat taruhan.”

Haikal yang masih duduk di atas motornya tersenyum remeh.

“Punya apa lo buat ditaruhin?” Tanya Shiren

“Gini aja kalau gue menang, gue ambil motor lo dan dua ratus juta uang lo. Deal?”

“Motor gue?” Haikal tertawa meremehkan.

“Lo yakin, cewek manis?”

Shiren menaikkan satu alis. “Lo yang harusnya mikir dua kali. Gue gak main-main.”

“Oke deh, demi lo, gue kasih semuanya kalau kalah,” balas Haikal dengan senyum menggoda.

Shiren memakai helm full-face, mengunci pandangan dengan Haikal.

Kevan mendesah berat. “Gila… beneran dia mau balapan.”

“Bakal kalah lah, dia mana bisa,” komentar Marchel.

Rian ikut nyengir. “Mending dia tidur aja di rumah, biar gak bikin onar malem-malem.”

Shiren tiba-tiba berseru, “BERISIK LO BERDUA! Cowok bacot mending sikat gigi dulu!”

Ten dan Rian langsung diam, menahan tawa.

Sementara itu, Renal—anggota Vernas—mendekati Haikal. “Lo yakin, Kal? Motor lo, cuy.”

“Gue gak bakal kalah. Gue tahu jalanan ini kayak punggung tangan gue sendiri,” balas Haikal penuh percaya diri.

“Gue saranin lo turun, Shiren. Ini bukan tempat lo,” ucap Marchel, mencoba bersikap bijak.

Shiren menatap tajam. “Cewek lo juga di sini, Marchel. Nggak gue liat lo suruh dia pulang.”

Marchel terdiam. Jiva, yang berdiri di sampingnya, hanya menunduk.

“Dia beda sama lo,” gumam Marchel pelan. “Dia ada gue yang jagain.”

“Gue juga ada Kevan,” Shiren membalas cepat.

“Jangan sok melindungi satu cewek dan ngeremehin cewek lain.”

“Lo nggak usah gangguin Jiva,” ucap Rian, nada suaranya meninggi.

“Gini aja, biar adil,” Shiren menyeringai.

“Kalau gue kalah, gue gak ganggu Jiva lagi. Tapi kalau gue menang, lo bertiga—Rian, Marchel, Ten—harus nurut semua omongan gue selama seminggu. Gimana?”

Ten menyipitkan mata. “Kok cuma kita?”

“Kevan sodara gue, Jendra ketua kalian. Lo bertiga yang paling cerewet, jadi pas lah.”

Mereka saling pandang. Keyakinan mereka berkata, Shiren bakal kalah. Gampang. Deal.

“Oke, kita setuju,” kata Rian.

“Rekaman aktif. Jangan ngelak,” ujar Shiren sambil menyalakan ponselnya.

“WOI! JADI NGGAK NIH?” teriak Haikal dari arena.

“Iya, skuyy!” Shiren menjawab santai, lalu mulai mengarahkan motornya ke garis start.

“SATU... DUA... TIGA!”

Dua motor melesat seperti peluru. Haikal langsung tancap gas, meninggalkan Shiren di belakang. Semua penonton bersorak menyebut namanya.

Tapi Shiren tak panik. Ia melaju dengan tenang, santai, memperhatikan tiap sudut jalanan.

“Ck. Gitu doang? Sumpah, gue doain bensin lo abis,” gerutunya sambil mulai mengejar.

Tiba-tiba—WUSSHH!—Shiren menyusul dengan manuver tajam, mendekati Haikal secara perlahan tapi pasti.

Haikal menoleh. “SIAL! Kok dia bisa deket?!”

“Woi! Cepetan! Katanya jago!” teriak Shiren sambil tertawa. Ia menancap gas penuh, kini sejajar dengan Haikal.

Garis finish sudah di depan mata. Haikal panik, menggenggam gas makin erat. Tapi Shiren sudah mencondongkan tubuhnya ke depan, mempercepat laju dengan teknik yang sempurna.

WUUUUSSSHHHH!!!

Shiren melintasi garis finish lebih dulu.

Dia menang.

Semua terdiam.

Black Blood dan Vernas sama-sama ternganga. Tak ada yang menyangka.

“Gue... menang.” Shiren turun dari motor dan menghampiri Haikal yang masih terpaku.

“Kunci motornya,” ucapnya tegas.

Guan, salah satu anggota Vernas, langsung menuding, “Curang dia! Lo pasti pake trik!”

“KALAU KALAH YA KALAH! GA USAH BACOT!” Shiren membentak, matanya menyala.

Bisma mau ikut menuduh, tapi Shiren melotot. “Mulut lo mau gue robek?!”

Haikal mengangkat tangan, menghentikan mereka. “Udah. Dia menang. Gue akui.”

Dia menyerahkan kunci motornya. “Lo beda dari cewek lain.”

Shiren tersenyum miring. “Gue juga suka cowok yang gentle. Mana duitnya.”

Setelah menerima dua ratus juta dari Haikal, Shiren kembali ke Black Blood.

“SEJAK KAPAN LO BISA BALAPAN?!” tanya Ten.

“LO YAKIN GAK CURANG?” seru Rian.

“Kevan, kok lo diem aja?!”

“WOI! BERISIK!” Shiren memijit pelipisnya. “Gue mau pulang. Nih motor lo, Kevan. Gue udah punya motor sendiri sekarang.”

Kevan masih menatapnya tajam. “Kita belum selesai ngomong.”

“Besok aja. Kepala gue mumet.”

Dan dengan satu gerakan cepat, Shiren menyalakan motor barunya, melaju pergi sambil meninggalkan decak kagum, tatapan penasaran, dan... awal dari konflik yang jauh lebih besar.










*
*
*
*
*

 Istri Untuk Anak Manja (End)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang