Bab 3

121 25 0
                                    

Sinar matahari membungkus kota Jakarta. Ledib Wijaya Wahyuda turun dari Grab Bike yang ia pesan setelah masuk ke pekarangan sekolahnya.

Hari ini adalah hari pertama mereka belajar di SMAN Paraduta, setelah dua hari mengikuti kegiatan MPLS.

Ledib turun dari motor dan berjalan memasuki sekolahnya. Ia melihat murid-murid yang berlalu-lalang di sekitarnya. Mereka semua membawa koper besar, dan banyak tas. Bagaimana tidak, mulai hari ini mereka akan tinggal di asrama yang difasilitasi oleh sekolah.

Sedangkan Ledib hanya membawa backpack hitamnya. Ia terlalu malas pagi ini. Dan akan mengambil barang-barang nya pada sore hari.

Saat sedang berjalan di koridor, tiba-tiba Kevin merangkul nya dari belakang. Ledib agak kaget, tapi ia tetap melanjutkan langkahnya.

“Kenapa?” tanya Ledib kepada Kevin yang masih merangkulnya.

“Lo… nggak bawa barang-barang?” Ledib menggeleng kepalanya pelan.

“Gue ambil pas sore.” Jelas Ledib. Kevin lalu mengangguk paham dan mereka terus berjalan ke arah kelas mereka.

Ledib sedikit kaget karena di kelas
benar-benar kosong, kecuali satu orang yang sedang duduk di dekat jendela.

Kevin menepuk pundak Ledib dan langsung menghampiri orang itu.

“Kra,” Kevin memanggil Cakra.

Yang dipanggil menoleh dan tersenyum, Ledib pun mengikuti Kevin yang duduk di depan Cakra.

“Mana barang-barang lo?” Kevin bertanya kepada Cakra.

“Udah gue beresin kemarin.” Kevin dan Ledib mengangguk paham.

“Di mana emang asrama kita?” Ledib sebenarnya belum tahu pasti, di mana letak asrama yang akan mereka tinggali.

“Di belakang sekolah, dekat kolam renang.” Cakra menjawab sambil memperhatikan Ledib. Ia tak tahu mengapa pagi ini Ledib sangat terlihat menarik baginya.

Cakra menggelengkan kepalanya pelan, dan mengalihkan fokusnya dengan bertanya kepada kevin.

“Kalo lo?” tanya Cakra kepada Kevin.

“Udah gue taruh, tapi belum diberesin.” Ledib menghela nafasnya panjang, yang membuat kedua insan di depannya memperhatikan Ledib.

“Jadi, gue doang yang belum?” Ledib menidurkan kepalanya diatas meja. Sedikit menyesal tidak membawa koper-koper besarnya tadi.

“Entar gue bantuin,” kata Cakra dengan tenang.

“Lo kira lo doang, gue juga bakal bantuin kok!” Kevin tersenyum kepada Ledib.

Bel berbunyi nyaring, siswa-siswi  berbondog-bondong masuk kedalam kelas. Ledib dan Kevin akhirnya mengambil kursi yang tadi mereka pakai. Sedangkan Cakra duduk di belakang mereka dengan satu orang lelaki di sampingnya.

Saat kelas sudah pas terisi penuh dengan murid, Guru pun datang, ia mengenalkan dirinya dengan nama “Nama Ibu, Suri Bijaya. Salam kenal semuanya.” Murid menanggapinya dengan anggukan pelan.

Akhirnya mereka memulai pelajarannya dengan tenang. Ternyata Guru ini tidak galak, pikir Ledib.

Kamu harus tahu, Frame kacamata merahnya sangat terlihat walaupun dari jauh, rambutnya yang disanggul ke atas dan wajahnya yang lumayan judes, membuat para murid-murid takut pada awalnya.

Tapi syukurnya, dengan dua jam bersama Guru ini, tak ada satu kata pun yang ke luar dari mulut Guru itu yang membuat hati mereka sakit.

Bel berbunyi sekali lagi, Ibu Suri pun menutup kelasnya dan ke luar.

Dua Kaki, Yang Berusaha Berdiri.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang